Wednesday 09th October 2024,

Duet Rais ‘Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah dari Masa ke Masa

Duet Rais ‘Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah dari Masa ke Masa
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan mayoritas terbesar warganya di Indonesia bahkan dunia, hingga saat ini organisasi yang didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 NU telah berganti tampuk kepemimpinan diantaranya merupakan pejabat sementara (Pjs), sedangkan untuk ketua umum tanfidziyah sudah berganti lima kali.

Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari adalah pemimpin pertama dengan sebutan Rais Akbar, beliau berguru kepada Kyai Shaleh Darat, Syaikhana Khalil Bangkalan, Kyai Ya’qub Siwalan, dan di Mekkah beliau berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Mahfudz At Tarmasi, Sayyid Abbas Al Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqag dan lainnya. Beliau adalah seorang pejuang yang mencintai tanah air, aplikasinya adalah saat meletusnya Resolusi Jihad di Surabaya. Beliau mempimpin NU mulai 1926 – 1947 berduet dengan KH. Hasan Gipo yang masih kerabat dari Sunan Ampel. Pada masa itu KH. Hasan Gipo adalah seorang saudagar keturunan Arab dan beliau  banyak membantu NU utamanya dibidang perekonomian.

Kemudian dilanjutkan oleh KH. Abd. Wahab Chasbullah akan tetapi berganti istilah menjadi Rais ‘Aam beliau berduet dengan KH. Hasan Gipo hingga tahun 1952. Kyai Wahab seorang pejuang dan orator ulung, pendapat-pendapatnya sering diterima oleh Presiden RI pertama Ir. H. Soekarno. KH. Abd. Wahab Chasbullah berguru juga kepada Syeikh Mahfudz At Atrmasi dan Syaikhana Kholil Bangkalan. Tahun 1952 posisi ketua umum dilanjutkan oleh Dr. KH. Idham Chalid yang yang berasal dari Kalimantan Selatan pada usia yang relatif muda yiatu 34 tahun, beliau dikenal sebagai seorang politisi terpandang pada masa orde lama dan tercatat sebagai “Bapak” Partai Persatuan Pembangunan (PPP). KH. Idham Chalid adalah ketua umum terlama hingga tiga periode mulai dari tahun 1952 sampai tahun 1984.

Pada tahun 1972 posisi Rais ‘Aam kemudian dilanjutkan oleh KH. Bisri Syansuri  kelahiran Pati, beliau beguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Sholeh Darat, KHR. Asnawi Kudus, KH. M. Oemar Rembang, KH. Hasyim Asy’ari, dan di Mekkah beliau berguru kepada Syeikh Muhammad Baqir, Syeikh Ibrahim Madani dan lainnya. Beliau juga dikenal aktif di dunia politik yang menempatkan beliau sebagai Ketua Majelis Syura PPP.

Hingga pada tahun 1980 dilanjutkan oleh KH. M. Ali Maksum yang beguru kepada ayahnya sendiri yaitu KH. Maksum Lasem, KH. Dimyathi Termas, dan lainnya, beliau dikenal dengan sebutan Munjid (kamus bahasa Arab) berjalan karena kepandaiannya menguasai bahasa Arab. Di tahun 1984 Rais ‘Aam dilanjutkan oleh KH. Achmad Shiddiq seorang arsitek tunggal rancangan NU kembali ke khittah 1926 dengan tulisan “Khittah Nahdliyah” yang kemudia berduet dengan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur yang belajar kepada beberapa masyayikh di pesantren diantaranya KH. Ali Maksum Krapyak, KH. Chudhari Tegal Rejo, dan lainnya. Gus Dur adalah seorang reformis, baik di tubuh NU maupun pada level Negara, yang kemudian beliau terpilih menjadi Presiden RI keempat setelah Prof. B.J. Habibie. Pada tahun 1991 Rais ‘Aam dijabat sementara oleh Prof. AGH. Ali Yafie  setelah wafatnya KH. Achmad Shiddiq, beliau yang berasal dari Donggala bersamaan itu juga adalah Ketua Umum MUI Pusat.

Di tahun 1992 Rais ‘Aam dilanjutkan oleh Ajengan KH. Ilyas Ruhiat yang berasal dari Tasikmalaya, dikenal santun dan rendah diri. Saat elite politik bersitegang pada Munas Lampung 1992 beliau lah yang menjadi ‘siger tengah’ (tokoh moderat) yang mengembalikan keutuhan jam’iyah dan jama’ah NU. Kemudian tahun 1999 Rais ‘Aam Prof. Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz seorang kyai yang dikenal produktif mengeluarkan berbagai kitab dan buku, antara lain buku beliau adalah ‘Fiqih Sosial’. Beliau dengan gagasannya mentransformasi pemikiran tentang fiqih yang tidak lagi terbatas berkutat pada masalah halal-haram, melainkan juga menggali makna sosial dari ajaran fiqih tersebut.

Tahun 1999 Ketua Umum Tanfidziyah dilanjutkan oleh KH. A. Hasyim Muzadi pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, beliau seorang tokoh NU yang mengadbikan diri di NU sejak usia 22 tahun. Kyai Hasyim Muzadi adalah penggagas PCINU yang tersebar di 24 negara, seperti Amerika, Inggris, Jepang, dan Timur Tengah. Beliau juga dipercaya menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Kemudian Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj melanjutkan tampuk ketua umum pada tahun 2010 berduet dengan KH. M.A. Sahal Mahfudz. Kyai Said berguru diberbagai pesantren seperti PP. KHAS Kempek, PP. Lirboyo, Kediri, PP. Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta dan melanjutkan studi akademik di Arab Saudi. Beliau dikenal dengan pemikirannya yang dianggap nyeleneh dalam ceramahnya oleh sebagian orang, dimasa beliaupun NU mengeluarkan sebuah istilah yang menjadi sorotan dunia dengan istilah “Islam Nusantara”.

Ditahun 2014 Rais ‘Aam dijabat sementara oleh KH. A. Mustofa Bisri atau yang dikenal dengan Gus Mus setelah wafatnya KH. M.A. Sahal Mahfudz. Gus Mus seorang kyai yang juga dikenal sebagai budayawan, dalam dawuh-dawuhnya yang tersebar di media sosial sangat menyejukan dan menginspirasi banyak orang. Tak heran jika kemudian Gus Mus dianugerahi penghargaan yap Thiam Hien  tahun 2017 karena dinilai memiliki perhatian yang besar terhadap perjuangan dan tegaknya nilai-nilai HAM.

Dan pada Muktamar ke- 33 di Jombang Rais ‘Aam Tahun 2015 kemudian dijabat oleh Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin yang berasal dari Tanara, Banten. Beliau dikenal sebagai seorang ekonom syari’ah dan ahli fiqih yang terampil, dalam hal yang sama beliau mengusung ide kemaslahatan yaitu sebuah adagium yang potensial menghambat pendaratan kemaslahatan dan menahan laju dinamisasi pemikiran Islam. Tepatnya berdasarkan Rapat Pleno tahun 2018 beliau mengundurkan diri dikarenakan menjadi Cawapres dari Presiden RI Joko Widodo.

Kemudian tampuk kepemimpinan Rais ‘Aam 2018 atas restu Mustasyar PBNU KH. Maimoen Zubair yang dibacakan melalui sepucuk surat hingga sekarang agar dilanjutkan oleh KH. Miftachul Akhyar pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Kedung Tarukan, Surabaya. Beliau berguru diberbagai pesantren di Jawa seperti PP. Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang, PP. Sidogiri, Pasuruan, PP. Al Ishlah, Lasem, Rembang.

Syahrial Ardiansyah

Ketua PC LTN NU Kota Denpasar

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »