Tuesday 23rd April 2024,

Harmonisasi Hindu-Muslim di Jembrana-Bali Melalui Tradisi Male

Harmonisasi Hindu-Muslim di Jembrana-Bali Melalui Tradisi Male
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Oleh: Dr. Saihu, M.Pd.I

Tulisan membahas tentang bagaimana urgensi dari ‘urf yang terwejantahkan melalui tradisi male sebagai sarana dakwah Islam yang inklusif pada daerah minoritas Muslim di Jembrana-Bali. Hal ini penting untuk diwejantahkan, karena ‘urf yang biasa disebut “tradisi” hakikatnya sangat penting dalam penetapan hukum Islam. Menurut al-Qarafi, dalam berdakwah, para mujtahid harus mengenal ‘urf atau tradisi suatu masyarakat lebih dahulu sebelum memberikan fatwa hukumsehingga tidak berseberangan dengan kemaslahatan umat. Arti penting ‘urfsalah satunya dapat dilihat dari apresiasi Islam atas tradisi yang telah ada pada masyarakat Arab sejak sebelum kedatangannya. Islam lahir di tengah suatu budaya dan sistem nilai, bahkan di tengah kepercayaan dan praktik keagamaan yang telah semarak. Semua itu justru menjadi miliu dan memberikan “konteks” bagi kelahiran Islam. Urgensi ‘urfsemakin terasa ketika Islam memasuki dunia non-Arab. Islam yang “terbungkus” budaya Arab berhadapan dengan budaya dan tradisi yang berbeda. Tidak jarang, para tokoh agama justru gagap melihat keragaman budaya dan tradisi luar sehingga cenderung menganggapnya sebagai “sesat” dan tidak islami. Yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa Islam yang benar dan murni adalah “Islam yang bercorak Arab”.

Untuk konteks Indonesia, ‘urf disamakan maknanya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal yang ada di masyarakat dapat dijadikan sebagai mekanisme sosio-kultural yang diyakini dan telah terbukti ampuh sebagai sarana dalam menggalang persaudaraan dan solidaritas antar warga yang telah melembaga dan mengkristal dalam tatanan sosial dan budaya. Lebih jauh, ‘urf, dalam tulisan ini akan disebut sebagai kearifan lokal (lokal wisdom), dapat diartikan sebagai pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas, dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Kendati demikian, masih banyak ditemukan pandangan yang mengecilkan arti dan peran serta kearifan lokal dalam menciptakan toleransi antar komunitas yang berbeda. Fenomena akhir-akhir ini di Indonesia,‘urfsering diabaikan dan dikalahkan oleh makna harfiah teks yang menjadi pusat rujukan penetapan hukum dengan berlindung di balik jargon kembali pada Alquran dan Sunnah yang umumnya dianut oleh aliran literal konservatif atau salafi-wahabiyang memandang hukum Islam sebagai sesuatu yang rigid dan tidak bisa diubah karena berasal dari Tuhan. Padahal, melalui ‘urf atau kearifan lokal, hukum Islam akan lebih bersifat kontekstual, sehingga Islam akan lebih bersifat dinamis sesuai dengan kondisi sosial kultural yang dalam perkembangan selanjutnya akan membuat hukum Islam menjadi lebih humanis.

Menurut kelompok ini, masyarakat muslim yang menjadikan kearifan lokal sebagai sarana untuk berinteraksi dengan komunitas yang berbeda agama dan budaya sering disebut sebagai kelompok sinkretis yang menggabungkan ajaran agama Islam dengan kepercayaan lain atau sebagai masyarakat yang belum menjalankan syariat Islam secara kaffah. Penghargaan mereka terhadap lingkungan alamnya disalah pahami sebagai bentuk paham yang dipengaruhi oleh animisme atau sebagai perbuatan syirik yang dilarang agama. Padahal hal ini tidaklah semuanya benar, karena Kearifan lokal atau ‘urfatau local wisdom adalah inti tradisi masyarakat yang “diakui” sebagai milik bersama, dinilai patut, dikenal makna positifnya, dan terbukti efektif dalam mempertahankan keberlangsungan dan keharmonisan bermasyarakat.

Tolok ukur yang harus ditetapkan dalam mempertimbangkan kearifan lokal adalah humanisasi. Dengan menjadikan humanisasi sebagai tolok ukur, ini berarti bahwa apresiasi terhadap kearifan lokal atau ‘urfatau local wisdom mempromosikan inti ajaran agama yang bersifat universal. Bukankah tujuan utama syariat yang diformulasikan para ahli fikih berupaya untuk memelihara akal, jiwa, harta benda, kehormatan diri, dan agama, maka dengan ini kearifan lokal sangat terkait dengan humanisasi karena hal ini menyangkut perlindungan hak asasi manusia dan kebutuhan dasarnya. Humanisasi adalah ajaran dasar Islam sebagai shari’at al-rahmah,yaitu tuntunan yang memadukan antara kebenaran dan kasih sayang, antara memaafkan dan bertindak dengan makruf (mempertimbangkan kebaikan yang diakui masyarakat), antara ‘azimahdan rukhah, antara hanifiyahdan samah. Sejalan dengan ini, ajaran dasar Islam memberikan kemudahan manusia, memelihara kemaslahatan umum, dan memperhatikan kondisi lingkungan dimana kearifan lokal tersebut implementasikan sehingga menjadi sebuah proses pendidikan yang mengarah kepada pembentukan karakter masyarakatnya.

Bagi masyarakat Muslim di Jembrana, ber-Islam melalui kearifan lokalbertujuan untuk membantu dan atau menciptakan generasi dalam mengembangkan semua unsur potensi pribadinya, baik itu intelektualitas, spiritualitas, moralitas, sosialitas, maupun rasionalitas, serta dapatmenguatkan solidaritas antar umat beragama, sekaligus menjawab pendekatan dakwah yang rigid sehingga pada praktiknya banyak menghilangkan nilai-nilai keunggulan budaya, agama, serta kearifan lokal yang ada di masyarakat. Aktivitas ini dimulai dari lingkungan keluarga dengan banyak menanamkan konsep-konsep, gagasan, dan nilai-nilai, serta pandangan hidup masyarakat Jembrana yang tertuang dalam filosofi Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan) meliputi: Parahyangan (menjalin hubungan baik dengan Tuhan), Pawongan (menjalin hubungan baik dengan sesama manusia), dan Palemahan (menjalin hubungan baik dengan alam semesta). Pandangan hidup ini diajarkan kepada seluruh anggota keluarga yang pada tataran selanjutnya masing-masing dari mereka akan saling mengoreksi satu sama lain, apabila ada dari anggota keluarga yang tidak melaksanakan filosofi hidup tersebut.

Terdapat sebuah kaitan yang erat antara budaya dan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat Jembrana sebagai solusi pengokohan kerukunan umat beragama, salah satunya adalah tradisi male.Tradisi male berasal dari tradisi umat Islam di Jembrana. Sekalipun tradisi male merupakan tradisi yang berasal dari Islam, namun dalam pelaksanaannya selalu melibatkan umat Hindu. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang dalam pelaksanaan tradisi ini, karena memang umat Islam di Jembrana sangat terbuka terhadap keanekaragaman. Meminjam istilah dari AzyumardiAzra, umat Islam Jembrana bisa dikatakan sebagai “Islam with a smiling face” yaitu Islam yang penuh damai, moderat, sehingga tidak ada masalah dengan modernitas, demokrasi, HAM, perbedaan-perbedaan agama, budaya, dan kecenderungan-kecenderungan lain di dunia modern.

Tradisi Male merupakan bentuk ritual keagamaan yang dilakukan oleh setiap keluarga dan masyarakat Muslim di Jembrana, yaitu ketika masyarakat Muslim Jembrana memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Maulid dan male merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas ritual-nya bagi masyarakat Jembrana. Male adalah telur yang direbus dengan tidak mengupas (menghilangkan kulit luar) yang dirangkai sedemikian rupa dalam berbagai bentuk yang memiliki nilai estetika dan filosofi keagamaan yang tinggi. Bentuk male ada yang berupa “pajegan” atau bentuk lainnya dengan menusukkan puluhan telur rebus ke batang pohon pisang yang dihiasi kertas warna warni, ada juga yang menyerupai kapal-kapalan, pepohonan (bonsai), dll. Rangkaian atau bentuk telur ini, oleh masyarakat Muslim Jembrana disebut dengan male.

Ritual ini dimulai dengan berkeliling kampung sambil membawa telur yang telah dibentuk dengan berbagai corak atau sesuai dengan selera yang diinginkan pembuatnya, seperti pura, perahu, masjid, rumah, bonsai dan lain-lain yang diarak oleh umat Muslim dan Hindu. Ketika mengarak male,biasanya umat Hindu menggunakan pakaian adat Bali yang di sebut pager uyung(pakaian kaum kesatria adat) yang dalam perjalanannya mengelilingi kampung, male tersebut diringi dengan pembacaan asrakal, yaitu membaca solawat serta puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw sambil menabuh rebana.

Setelah selesai mengelilingi kampung, kemudian male atau telur yang telah dihiasi tersebut, dikumpulkan di dalam masjid sambil diiringi bacaan solawat. Telur yang dihiasi dan diwarnai, lalu ditusuk bambu kemudian ditancapkan ke pohon pisang sehinga terlihat pohon pisang berbuah telur (pajegan) yang dipajang saat maulid. Setelah seluruh male dipajang, para jamaah bersenandung solawat secara berjamaah dilanjutkan dengan membaca syair solawat diba’ yang berisi tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW sebagai tanda pengungkapan rasa cinta mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Selanjutnya pembacaan doa menjadi acara penutup sebelum telur-telur dibagikan kepada masyarakat yang hadir di sana. Ketika telur dibagikan masyarakat sangat antusias untuk mendapatkan male, walau harus berdesak-desakan dan berebut, mereka percaya bahwa mereka akan mendapat berkah serta keselamatan dari male yang telah didoakan oleh para ulama atau rohaniawan tadi.

Tradisi memperingati maulid Nabi Muhammad SAW dengan male, menjadi sebuah tradisi di Jembrana yang memiliki makna-makna edukatif-filosofis, antara lain: Pertama, telur yang sudah direbus dan diwarnai diletakkan di tempat (ember) plastik atau bakul kemudian ditutup daun pisang, sebagiannya lagi ditancapkan di batang pohon pisang. Tradisi ini hakikatnya mengandung makna-makna filosofis. Analogi-nya adalah “ayam berasal dari telur dan telur berasal dari ayam”. Analogi ini bermakna bahwa telur mengingatkan setiap manusia kalau hidup itu ada awal dan akhir. Jika dilihat dari bentuknya, telur terdiri atas tiga fase, meliputi kulit telur, putih telur, dan kuning telur. Jika dihubungkan dengan kehidupan manusia, fase kulit telur dimaknai sebagai lahir, fase putih telur sebagai hidup, dan fase terakhir yaitu kuning telur sebagai akhir kehidupan.

Dalam penjelasan lebih lanjut, kulit telur merupakan simbol Iman, putih telur simbol Islam, dan kuning telur merupakan simbol Ihsan. Putih telur juga melambangkan kesucian dan keagungan, sementara kuning telur melambangkan keemasan, dan warna-warna lain seperti merah dan biru yang mewarnai kulit telur saat maulid sebagai lambang kegembiraan. Jadi telur yang ditusuk saat maulid melambangkan bahwa Iman, Islam, dan Ihsan, harus disatukan dan ditegakkan ke atas berdasarkan kalimat tauhid “la ila ha illa allah muhammad rasul allah”. Telur yang ditusuk bambu melambangkan adanya kelurusan, kekuatan, dan keteguhan, layaknya pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi. Walhasil, berangkat dari tradisi male pada maulid Nabi Muhammad Saw diharapkan menanamkan karakter bagi Muslim Jembrana untuk selalu tegak, lurus, dan konsisten dalam meneladani akhlak Nabi Muhammad Saw sebagai manusia ter-mulia dan paling berbudi luhur.

Kedua, pohon pisang yang padanya ditancapkan telur saat maulid juga memiliki makna filosofi. Allah Swt berfirman “Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak maka perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pula) kematangannya”. Al-Qur’an kemudian menyebutkan bahwa pisang sebagai salah satu buah-buahan surga berada di antara pohon bidara yang tidak berduri dan pohon-pohon pisang yang bersusun-susun buahnya. (QS.56:28-29). Firman ini yang menggambarkan bahwa pohon pisang dan buahnya harus dijadikan ibrah, karena memiliki khasiat dan kegunaan yang banyak. Buah pisang dapat menyehatkan usus dengan menghilangkan sembelit, selanjutnya daun pisang dapat digunakan sebagai alas, penutup, dan atau pembungkus makanan atau juga bisa dipakai sebagai payung. Daun pisang yang sudah digunakan dan mengering atau tangkai daun yang sudah kering dapat pula dimanfaatkan manusia sebagai bahan bakar atau simbol pemicu bagi bahan bakar kayu yang lebih kuat. Ini bermakna pemberi semangat bagi manusia untuk menjalani kehidupan seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, batang pisang yang dipenuhi serat-serat yang panjang dapat dimanfaatkan manusia untuk tali-temali yang dipintal, sebagian lagi digunakan sebagai pita-pita untuk bahan anyaman, juga dapat digunakan sebagai benda-benda pakai, seperti; tas, dompet, sarung bantal kursi dan lain-lain. Batang pisang yang sudah lapuk dapat dimanfaatkan sebagai penyubur tanah pertanian. Ini semua menggambarkan agar melalui tradisi male, manusia mampu menjadikan dirinya bermanfaat untuk sesamanya dan untuk makhluk lain. Pohon pisang tidak mau mati sebelum melahirkan tunas-tunasnya, artinya pohon pisang memberikan gambaran yang baik mengenai alih generasi, begitu pula jika dikontekstualisasikan dalam pergantian kepemimpinan (suksesi), maka pohon pisang telah mengajarkan kepada manusia agar menyiapkan kaderisasi sebagai bentuk regenerasi.

Keempat, Setandan buah pisang jika diperhatikan ternyata bergantung pada ares yang berada di dalam pohon pisang. Jadi ares tersebut identik dengan isi pohon pisang. Filosofi pisang dari kacamata tafsir spiritual, ares mengisyaratkan sebagai Arsy (singgasana Allah Swt) yang identik dengan hati atau kalbu seorang Muslim yang bersih dan bening. Dalam makrifat tasawuf, hati orang mukmin yang bening bisa merupakan Arsy-nya, sebab di alam semesta ini tidak ada yang mampu menampung Allah kecuali “bersemayam” dalam bersih dan beningnya hati seorang Mukmin, sebagaimana dikabarkan dalam hadits Qudsi bahwa Allah berfirman, “Bumi dan langit-Ku tidak ada yang mampu menampung Aku, tapi hati hamba-Ku yang berimanlah yang menampung-Ku. Dari sini dapat dipahami bahwa ares yang bisa menghasilkan buah pisang tempatnya di dalam pohon pisang, berarti untuk mendapatkan ares, maka harus membuka pohon pisangnya, melepas satu per satu kulit pada pohon pisang yang membungkus ares.

Begitu pula dengan hati manusia yang bening harus diupayakan menjadi bersih dan terbebas dari kotoran penyakit-penyakit hati atau sifat-sifat buruk dan hati seperti itulah yang menjadi tajalli-Nya Allah atau tempat bersemayam-Nya. “Hati itu bagaikan Arsy (singgasana-Nya) dan dada adalah kursinya hal itu menunjukkan, bahwa yang dimaksud hati adalah sesuatu dibalik daging sanubari. Selain itu pohon pisang juga mempunyai daun yang bisa dipakai sebagai payung atau perlindungan dari guyuran air hujan dan terik panas matahari, maksudnya adalah manusia harus dapat melindungi dan mengayomi sesama seperti diisyaratkan oleh daun pisang yang dapat melindungi segala kondisi.

Selain memiliki makna-makna edukatif-filosofis, tradisi male juga mengandung nilai-nilai luhur yang dibutuhkan dalam rangka menciptakan kehidupan yang harmonis dan humanis. Nilai-nilai luhur itu antara lain: nilai etika, estetika, dan nilai sosial. Implementasi dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari: Pertama, nilai etika. Proses arak-arakan bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai khususnya warga yang beragama Hindu (umat mayoritas), bahwa umat Muslim mohon izin sedang melaksanakan kegiatan peringatan hari besar keagamaan yang dalam perjalanannya tidak hanya diikuti oleh umat Muslim, tetapi umat diikuti oleh Hindu, bahkan banyak dari proses arak-arakan dikawal oleh pecalang (polisi adat Bali); Kedua, nilai estetika. Nilai estetika dalam tradisi male dapat dilihat melalui bentuk atau model male itu sendiri yang mengandung nilai seni yang tinggi. Bentuk nilai seni lainnya adalah dalam pembacaan asrakalan pada saat male itu di arak keliling kampung. Dengan menggunakan pakaian hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu peserta pawai seolah-olah hanyut ke dalam suasana arak-arakan; Ketiga, nilai sosial. Nilai sosial yang terdapat dalam tradisi male ini adalah sebagai sarana berbagi makanan kepada masyarakat luas, baik mereka yang beragama Islam ataupun mereka yang beragama Hindu.

Uniknya, dalam tradisi ini tidak dibatasi oleh umat Muslim saja, tetapi banyak dari umat Hindu yang mengikuti prosesnya. Telur sebagai bahan utama dari male di bagikan kepada seluruh peserta Maulid Nabi dengan tanpa memandang perbedaan agama. Aktivitas seperti itu adalah bentuk nyata dari tradisi masyarakat Jembrana yang secara sadar bersama-sama untuk hidup rukun dalam keberagamaan. Potret yang terjadi di Jembrana adalah wujud dalam implementasi dari dakwah Islam menggunakan sarana ‘urf atau kearifan lokal. Mereka sadar bahwa mereka berbeda dari segi agama, tetapi perbedaan agama bukanlah menjadi sekat atau suatu yang dapat menghalangi untuk hidup rukun bersama-sama dalam membangun peradaban atau menciptakan sebuah masyarakat madani antara umat Islam dan Hindu di Jembrana.

Jika dilihat lebih jauh, sejak masa kelahirannya, agama Islam agama telah mengalami perjumpaan (encounter) dan terlibat secara intends dengan beraneka ragam keyakinan dan agama. Terhadap adanya pluralitas tersebut, Islam memberi prinsip dasar bahwa pluralitas merupakan sunnah Allah. Karenanya, setiap Muslim seharusnya memanfaatkan pluralitas itu sebagai sarana untuk saling mengenal, saling belajar, dan saling berlomba untuk memperoleh kebaikan (fastabiq al-khayrat). Interaksi dan komunikasi dengan kelompok yang berbeda, hendaknya dilakukan dengan penuh penghormatan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, dan tetap mengembangkan solidaritas kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah).

Akhirnya, melalui tradisi ini, dapat menumbuhkan rasa untuk saling memperhatikan dan memahami sehingga terbangun karakter individu yang memiliki pandangan yang luas, meliputi pengetahuan (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan (moral action). Masyarakat jembrana juga merasa tidak ada perbedaan dalam berinteraksi sosial. Yang membedakan diantara mereka hanya agama saja. Tetapi melaui aktivitas ini perbedaan agama diantara mereka tidak menjadi jurang pemisah dalam berinteraksi dan hidup bersama ditengah-tengah masyarakat yang berdampak pada banyaknya umat hindu yang ingin mengenal Islam lebih dalam lagi. Selain itu, ‘urf atau kearifan lokal(male),menanamkan sekaligus mempertajam pandangan hidup sehingga mengarah pada asosiasi, Integrasi, komplementasi, dan sublimasi yang kuat ditengah-tengah masyarakat yang multikultural.

(Penulis adalah Dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »