ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Muhammad Taufiq Maulana
Salah satu keistimewaan ulama ahlussunnah waljama’ah adalah selalu menjaga hati, menjaga prasangka dan memberi tanggapan yang bijak kepada orang yang berbeda. Bahkan kepada orang yang menyalahkan dan menyesatkan dirinya.
Tentu hal ini karena ulama kita memang berdasarkan kepada ilmu, bukan ego atau hawa nafsu. Menyikapi perbedaan dengan ilmu akan melahirkan ilmu. Tetapi jika disikapi dengan ego dan hawa nafsu akan mengakibatkan perdebatan hingga hujatan dan permusuhan.
Sebagaimana yang diteladankan oleh Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, beliau tetap husnuzzhan kepada kelompok yang hobi menyalahkan, menyesatkan dan mengafirkan. Dalam kitab Mafahimnya, Sayyid Muhammad dawuh tentang kelompok takfiri itu,
لعل نيتهم حسنة من دافع واجب الامر بالمعروف والنهي عن المنكر
Namun, Sayyid Muhammad Alawi memberi koreksi kepada cara dakwah mereka yang mudah mengafirkan orang lain. Menurutnya, klaim takfir mereka merupakan tindakan grasa-grusu. Dan mereka tidak menyadari bahwa realisasi amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan hikmah (bijaksana) dan mau’izhatul hasanah (nasihat yang baik).
Kesalahan fatal kelompok takfiri adalah memaksakan pahamnya diterima dan diikuti orang lain. Lebih fatal dan termasuk tindakan juhala’, menvonis sesat dan kafir kepada orang yang berbeda dengan kelompoknya. Hanya karena berbeda pendapat, padahal perbedaanya dalam masail khilafiyah/furu’iyah.
Dalam ajaran Islam ada masail ushuliyah dan furu’iyah. Inilah yang tidak disadari oleh kelompok takfiri. Berbeda pendapat dalam masail furu’iyah di kalangan ulama itu wajar dan dimaklumi. Kita diperbolehkan mengikuti hukum yang diyakini kebenarannya tanpa menyalahkan hukum furu’iyah yang lain.
Sekedar catatan ngaji kitab Mafahim.
Wallahu a’lam.