ASWAJADEWATA.COM |
“Santri harus mampu ‘memvisualisasikan’ identitas kesantriannya kepada masyarakat. ‘Pemvisualisasian’ atau penampakan identitas kesantrian tersebut hendaknya ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar di atas panggung.” demikian dawuh Kiai Fawaid, sebagaimana dalam buku Wejangan Kiai As’ad dan Kiai Fawaid.
Dawuh Kiai Fawaid, “Santri harus mampu ‘memvisualisasikan’ identitas kesantriannya kepada masyarakat,” mengandung pesan penting tentang bagaimana santri menampilkan jati diri mereka secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif psikologi komunikasi, hal ini menekankan pentingnya komunikasi non-verbal, perilaku, dan tindakan nyata sebagai sarana utama untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Komunikasi efektif terjadi ketika pesan yang disampaikan konsisten antara kata-kata, tindakan, dan konteks. Identitas kesantrian tidak cukup hanya disampaikan melalui ceramah atau simbol, tetapi harus dibuktikan melalui perilaku sehari-hari. Santri menjadi simbol nilai-nilai Islam yang harus terlihat dalam etika, moralitas, dan interaksi sosial. Perilaku sehari-hari mereka menjadi pesan non-verbal yang lebih kuat daripada retorika.
Masyarakat cenderung menilai identitas seseorang dari kesan awal yang didapatkan. Penampilan, akhlak, dan interaksi santri memainkan peran kunci dalam membentuk persepsi masyarakat tentang pesantren. Perilaku santri yang mencerminkan nilai-nilai Islam memengaruhi bagaimana masyarakat menerima atau menolak pesan yang mereka bawa.
Identitas kesantrian dibangun melalui interaksi simbolis antara santri dan masyarakat. Pemvisualisasian ini adalah bentuk komunikasi yang membangun makna melalui tindakan nyata, seperti tolong-menolong, mengajarkan agama, atau menjaga akhlak di ruang publik.
Di era digital yang disruptif dan penuh hoaks, tantangan bagi santri adalah menampilkan identitas kesantrian mereka secara konsisten di dunia nyata dan virtual. Identitas kesantrian harus tetap tercermin dalam aktivitas di media sosial. Misalnya, santri harus menyebarkan pesan damai, bijak dalam menanggapi isu, dan menghindari penyebaran hoaks.
Santri dapat memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan nilai-nilai pesantren seperti kejujuran, kesederhanaan, dan toleransi, yang menjadi bagian dari citra positif mereka.
Santri harus memiliki kemampuan berpikir kritis untuk memverifikasi informasi sebelum membagikan atau menanggapi. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral mereka sebagai pembawa nilai kebenaran.
Santri perlu terampil menggunakan teknologi untuk mendukung dakwah, seperti membuat konten edukatif berbasis agama yang menarik dan faktual.
Bagaimana peran santri dalam era digital? Santri Salafiyah Syafi’iyah dapat memainkan peran sebagai agen perubahan yang mendidik masyarakat tentang pentingnya akhlak, literasi media, dan toleransi. Membentuk komunitas digital berbasis nilai-nilai pesantren untuk melawan arus negatif yang sering muncul di dunia maya.
Santri dapat menggunakan platform digital untuk menyampaikan pesan agama melalui metode kreatif seperti video pendek, podcast, atau infografis. Perilaku online dan offline harus sejalan. Kesalahan di media digital dapat merusak citra santri dan pesantren.
Dengan demikian, dalam perspektif psikologi komunikasi, dawuh Kiai Fawaid menegaskan pentingnya perilaku nyata sebagai bentuk komunikasi paling efektif. Identitas kesantrian harus terlihat dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan nilai-nilai pesantren melalui tindakan yang konsisten dan autentik.
Di era digital yang penuh tantangan, santri Salafiyah Syafi’iyah perlu memanfaatkan media digital secara bijak, berpikir kritis, dan tetap menjaga akhlak Islam. Mereka harus menjadi pelopor dalam melawan hoaks, menyebarkan pesan damai, dan menunjukkan bahwa identitas kesantrian dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, baik di dunia nyata maupun maya.
Sukorejo, 2 Januari 2025
Penulis: Syamsu A Hasan
(Penulis buku Wejangan Kiai As’ad dan Kiai Fawaid)