Tuesday 10th September 2024,

KAI 13000 Km

Aswaja Dewata March 6, 2021 perspektif No Comments on KAI 13000 Km
KAI 13000 Km
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Yuri Mahatma

Pada awal abad 20, tepatnya 1928, Indonesia yang saat itu masih koloni Belanda,  memiliki  rel kereta api sepanjang 7.464 km.  Pembangunannya secara bertahap dilakukan oleh pemerintah dimulai sejak 1864 atas kebutuhan baik sebagai sarana angkutan logistik yang massif untuk hasil bumi yang akan di ekspor ke Eropa, juga untuk mobilisasi pasukan dan alat perangnya. Selain itu Kereta Api juga menjadi symbol peradaban modern paska revolusi Industri. Hampir semua negara-negara penjajah berbondong-bondong kompak membangun rel dan serta kereta baik di negara sendiri maupun di negara jajahan demi efisiensi dan gengsi. Tak terkecuali di Indonesia. Belanda dengan bangganya membangun rel kereta api yang menjadi terpanjang kedua di Asia di masa itu setelah Jepang.

Bedanya bila di Indonesia perkeretaan dibangun oleh pemerintah kolonial, maka di Jepang mengawali dengan mengimpor kereta dan rel dari negara-negara barat, untuk kemudian ditiru teknologinya, dan seperti biasa, bangsa Jepang sebagai bangsa yang amat pakar dan detail dalam meng-copy, dapat menyaingi atau bahkan lebih unggul dari produk yang ditiru. Sejak saat itu hingga kini Jepang memiliki Panjang rel atau lintasan kereta api sepanjang 27000 km yang membentang di seluruh negeri, yang mana 80 persennya adalah subway atau lintasan bawah tanah, lengkap dengan segala kenyamanan (ketepatan waktu, kebersihan dan fasilitas) dan keamanan bagi pengguna. Bahkan kini Jepang adalah yang terbaik. Mengungguli negara maju manapun dalam hal perkereta apian.

Raksasa ekonomi baru, China, tidak mau ketinggalan. Mereka kini sudah mampu memproduksi sendiri perkereta apian mereka dan telah memiliki rel sepanjang 91.000km, disusul India 35.000 km. Lebih panjang dari Jepang. Maklum negara mereka juga jauh lebih besar wilayahnya, walau demikian dari segi kenyamanan dan keamanan Jepang masih jauh lebih unggul. Lantas dimana posisi perkereta apian Indonesia?

Dari 7464 km yang kita miliki pada 1928, seiring beralihnya penjajahan oleh Belanda menjadi dijajah Jepang, beralih pula fungsi utama kereta api kita dari semula untuk mengangkut hasil bumi menjadi melulu angkutan perang. Jepang begitu cepat dahsyatnya memobilisasi alat perangnya menggunakan jalur ini, alih-alih kereta kita menjadi tambah maju sebagai alat transportasi publik serta logistik. Bahkan lebih parah lagi, Jepang membongkar sekitar 400km rel  kita untuk dipindahkan ke Burma dengan tujuan sama yaitu mobilisasi alat perangnya di Burma.

Sepeninggal Jepang, babak baru bagi kita sebagai bangsa yang baru merdeka, setelah luluh lantak secara mental dan fisik, serta bokek alias tak punya duit, Kereta api kita memang beralih kembali menjadi sarana transportasi publik dan logistik. Namun karena kendala finansial serta SDM, menambah panjang jalur rel atau memperbaiki kualitas adalah mimpi di siang bolong. Jadilah Kereta api kita ala kadarnya. Yang penting berfungsi, tak usah pengen macam-macam. Bahwa kereta masih bergulir saja, itu sudah amat baik.  Masyarakat boleh naik tanpa aturan. Yang penting bayar. Anda boleh bawa kambing, bawa kaleng krupuk sebesar tanki air, bergelantungan di atap atau “ ndelosor” sambil ngorok dilantai silahkan saja. Semua dimaklumi secara kolektif. Sementara Jepang pada tahun 1964 sudah meluncurkan revolusi di dunia perkereta Apian dengan produk Shinkansen-nya, Kereta Peluru atau bullet train yang mencengangkan dunia.

Jaman orde baru? Haaassh, males membahasa era ini. Intinya Perkereta Apian kita bergeming maju tidak mundur tidak. Sangat ajeg! Berpuluh tahun tak ada perubahan. Seperti kata Mahbub Djunaidi, bukan hanya kualitas kereta dan penumpang yang tidak berubah. Bahkan Nasi goreng di kereta kita bisa dijadikan contoh bagaimana standard dipegang teguh dan tak pernah berubah. Asin tidak, gurih juga tidak,  ditambah sepotong telur ceplok yang ukurannya juga tak pernah berubah. Jangan tanya enak apa enggak, karena itu pertanyaan diluar standar. Pokoknya semua serba stabil, sestabil mengalirnya rejeki upeti ke pemimpin dan pejabatnya.

Jaman bergulir. Sekarang ini telah ada usaha-usaha nyata oleh pemerintahan Jokowi. Tak berlebihan juga kalau presiden yang satu ini disebut-sebut sebagai bapak infrastruktur Indonesia. Berbagai fasilitas digenjot secara jor-joran sampai kadang lupa punya duit berapa. Jalanan beribu-ribu kilometer, bendungan, bandara serta pelabuhan. Sepak terjangnya lumayan dahsyat sampai-sampai negara-negara jiran terkaget-kaget sekaligus cekatan lihat peluang siapa tahu bisa dapat proyek. Tidak mengapa hutang kalau untuk hal baik apalagi untuk kepentingan orang banyak.  Bukankah untuk emas kawinpun halal dan sah dengan berhutang.

Demikian pula dengan perkereta apian kita. MRT, LRT serta revitalisasi rel yang sudah lama tidur kembali diaktifkan. System tiket serta “sopan-santun” naik kereta mulai ditegakkan, juga faktor-faktor keselamatannya. Bahkan Kementrian perhubungan menargetkan untuk bisa memiliki 13000 KM rel atau jalur KA di tahun 2030. Sebuah target dan niatan yang mulia. Inginnya ke depan moda transportasi ini menjadi pilihan utama masyarakat dalam bepergian baik dalam kota maupun ke luar kota. Gengsi dan kemewahan fasilitas digenjot agar “imej” naik kereta beranjak dari untuk golongan menengah bawah menjadi moda untuk segala kalangan. Kendala pasti ada. Terutama pastinya hal pembebasan lahan yang amat rentan di geser-geser ke isu politik.

Isu terakhir yang paling hangat adalah diangkatnya KH.Said Aqil Siradj yang punggawa PBNU itu menjadi Komisaris PT KAI. Sepintas aneh memang, seorang Ulama besar NU yang pastinya tidak terlalu berkecimpung di dunia manajemen transportasi tiba-tiba diangkat (dan juga mau diangkat) menjadi komisaris. Padahal mungkin pengalaman beliau tentang ini  hanya sebatas naik kereta Cirebon-Jakarta atau ke kota-kota lainnya di Jawa dalam rangka berguru dan “sowan” ke pondok-pondok. Itupun mungkin sebatas di masa mudanya saja. Hal ini menjadi hangat bukan hanya di kalangan mereka yang sejak dulu dengki sama NU yang menjadikan ini sebagai peluru untuk menyerang dan mencibir, namun juga di kalangan intern NU sendiri banyak yang “sedih” namun terpaksa “nrimo” karena ketaatan mereka kepada ulama. Sedikit yang berani berkomentar pedas mengkritik secara langsung karena hal ini memang belum membudaya di kalangan Nahdliyin, kecuali saat mejelang Muktamar.

Apa kira-kira alasan Eric Thohir yang Menteri BUMN “meminta” Kiyai Said untuk menjabat sebagai komisaris PTKAI, dan apa kira-kira alasan Kiyai Said mau menerima jabatan tersebut? Hanya mereka berdua yang tahu.

Namun secara “Husnudzon” kita reka-reka saja. Bisa jadi karena Erik melihat untuk mengembangkan PT KAI, apalagi mencapai target 13000 km di tahun 2030 akan diperlukan pembebasan lahan yang sama sekali tidak sedikit. Negosiasi akan berjalan alot dan sukar. Diperlukan seorang figur yang dapat menenangkan rakyat tentang pentingnya proyek. Figur yang dihormati oleh mayoritas masyarakat, terutama muslim menengah bawah yang paling potensial terkena “pembebasan”.

Sedangkan dari sudut pandang Kiyai Said, bisa jadi beliau menerima jabatan ini agar bisa juga memperjuangkan hak-hak rakyat secara adil,agar bisa menjadi solusi bagi rakyat pengguna kereta api yang berpuluh juta jumlahnya. Agar menjadi pribadi “Wasathiyah” yang bisa menelorkan solusi yang memenangkan semua pihak agar pemerintah dan rakyat bahu membahu bukan selalu dihadap-hadapkan. Siapa tahu juga karena kecintaan beliau kepada NU dan pondok pesantren, beliau juga bisa mempersuasi agar nantinya stasiun-stasiun kereta kecil diantara stasiun besar, dibangun dekat dengan pondok-pondok, supaya civitas pondok yang ribuan jumlahnya itu, tidak perlu lagi naik omprengan  atau ojek lagi untuk ke stasiun. Cukup berjalan kaki atau naik sepeda tentu ini juga mulia.

Tak usah tanya dan mereka-reka yang “Suudzon” ya! Karena itu bukan standar Nahdliyin. Kami semua menjauhi  itu. Selamat mengabdi Kiyai, sehat wal afiat selalu. Teriring doa dari kami.

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »