Thursday 25th April 2024,

Kegelisahan Kiai Afif, Khawatir Santri yang Keluar Pesantren Tak Membuka Kitabnya Lagi

Kegelisahan Kiai Afif, Khawatir Santri yang Keluar Pesantren Tak Membuka Kitabnya Lagi
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Muhammad Taufiq Maulana

Menulis tentang guru mulia, Kiai Afifuddin Muhajir, tidak cukup dengan ungkapan yang tertulis di beberapa lembaran saja. Atau mungkin tidak ada ungkapan yang mampu mewakili sosok sederhna bersahaja itu. Sungguh, banyak sisi kemuliaan dari beliau. Terlebih tentang kealimannya yang diakui hingga kancah internasional.

Dr. KH. Afifuddin Muhajir

Saya tidak akan membahas lebih panjang tentang sosok mulia tersebut. Saya hanya ingin memberi kata kunci, semoga ini mewakili: akhlak mulia, ‘alim ‘allamah, sederhana, teladan dalam segela dimensinya.

Saya salah satu santri Ma’had Aly Marhalah Tsani (S2) angkatan ketujuh (2005-2015). Selama sembilan tahun di Ma’had Aly tentu menyaksikan bagaimana sosok yang sangat peduli kepada ilmu dan selalu mengapresiasi karya santri. Beliau dosen di Ma’had Aly yang istiqamah mengajar di kelas. Pengajian pun demikian, istiqamah mengisi pengajian kitab di mushala pesantren. Kecuali memang uzur, tidak mengajar.

Kiai Afifi yang sangat peduli pada kitab, banyak kisah yang menceritakannya. Salah satu hal yang paling saya ingat, kegelisahan Kiai Afif kepada alumni pesantren adalah santri yang pulang kerumahnya lupa pada ilmunya, karena kitabnya tidak dibuka lagi. Inilah yang selalu menjadi kegelisahan beliu kepada alumni pesantren.

Santri yang tidak membuka kitabnya lagi ketika pulang kekampung halamannya, sebagai salah satu tanda bermanfaatnya ilmu kepada masyarakat atau tidak. Seharusnya, seorang santri yang memang identik dengan kitab kuning, jangan sampai meninggalkan kitabnya meski sibuk dengan profesinya. Inilah yang diharapkan Kiai Afif kepada seluruh santri setelah keluar dari pesantren.

Pernah Kiai Afif menanyakan salah satu santri Ma’had Aly yang bagus ketika berbicara di forum. Kiai Afif tidak menanyakan siapa dia atau dari mana dia, tapi yang ditanyakan, “Bagaimana bacaan kitabnya, bagus ya?” Saking pedulinya kepada keilmuan yang referensinya kitab, beliau menanyakan dasar keilmuan seseorang yaitu bisa atau tidak membaca kitab.

Saat saya pamit hendak berhenti dari pesantren, saya curhat bertanya kepada beliau, “Bagaimana jika masyarakat meminta saya untuk ngisi pengajian, sementara ilmu saya pas-pasan, Kiai?”

Lalu Kiai Afif menjawab, “Kan karena ngisi pengajian itu yang membuat ilmu kita bertambah. Sebelum berangkat memberi pengajian, kan belajar dulu. Dengan begitu, dengan sendirinya ilmu bertambah”.

Demikianlah nasihat Kiai Afif kepada saya. Jawaban beliau sesungguhnya lebih kepada, bahwa ilmu itu tidak hanya dipelajari ketika di pesantren saja. Bahkan ketika pulang ke masyarakat, tetap belajar sambil lalu berbagi ilmu kepada masyarakat. Selain itu, beliau memberi motivasi, tidak ada yang tidak bisa jika masih ada kemauan untuk tetap belajar. Sekaligus juga agar tetap membuka kitab.

Kemudian, tentang Kiai Afif sangat mengapresiasi karya, kisahnya begini; Pada tahun 2014 saya mencoba menerbitkan buku dari coretan saya di laptop. Buku yang sesungguhnya tidak ada apa-apanya jika dihadapkan kepada beliau. Namun, saya beranikan diri untuk memberikan satu buku ke Kiai Afif. Meski sebenernya saya merasa minder jika buku oretan saya itu dibaca beliau. Tapi ternyata, ketika saya memberikan ke beliau, kata yang terlontar, “Taufiq bisa nulis?”. Saya hanya mengatakan, “Masih belajar, Kiai. Mohon bimbingan dan koreksi dari Kiai”

Demikian pengalaman pertama memberanikan diri memberi buku kepada Kiai Afif. Buku kedua terbit, begitu juga saya tetap memberanikan diri memberikan satu buku kebeliau. Ungkapan Kiai Afif untuk mengomentari buku kedua itu tidak langsung ke saya, beliau menyampaikan kepada salah satu staff Ma’had Aly, “Taufiq kereatif ya, sudah bisa menulis buku lagi”.

Saya mendengar dawuh Kiai Afif dari teman staff itu, sungguh senang luar biasa. Kesenangan itu membuat saya lebih semangat lagi untuk terus berkarya dengan menulis dan diterbitkan menjadi buku. Apresiasi tersebut telah membuat saya menerbitkan buku hingga 13 buku. Buku yang terakhir Fikih Muslim Bali yang pastinya sudah saya serahkan kepada beliau.

Lagi-lagi, Kiai Afif mengapresiasi. Karena buku Fikih Muslim Bali merupakan buku yang terbit dari latar belakang keilmuan Ma’had Aly, yaitu Fikih, maka buku saya yang ke-13 ini menjadi contoh agar alumni Ma’had Aly bisa menulis buku tentang Fikih sesuai kondisi sosial masyarakat tempat alumni Ma’had Aly bertempat tinggal.

Mungkin demikian yang bisa saya tulis tentang sosok guru mulia, Kiai Afif, selama saya menjadi santri beliau. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

(Penulis adalah Founder Aswaja Dewata/Alumni Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »