ASWAJA DEWATA.COM- Entah ungkapan apa yang tepat untuk menjelaskan sosial media. Keberadaan sosial media menjadikan hidup ini seolah tak ber-Tuhan. Karena saat ini sistem kehidupan telah dikontrol dan dikuasai media. Bagaiamana tidak, skenario nasib kehidupan sepertinya telah ditentukan dan diarahkan oleh media.
Orang mau menjadi kaya berbondong-bondong kerja melalui media. Orang mau meraih tujuan tertentu menggunakan kecanggihan media. Orang mau menjatuhkan lawan dan musuh dengan pedang media. Karena media, warna dunia nyata seoleh bisa dirubah dengan gampang dan mudah; hitam menjadi putih, putih menjadi hitam, atau diuat abu-abu juga bisa, karena dengan kecanggihan media.
Namun di sisi lain, media menjadi sarana untuk berbagi manfaat sekaligus memperoleh manfaat. Sudah banyak orang-orang berbagi manfaat melalui media, baik itu dalam hal pendidikan, agama, bisnis dan yang lainnya. Orang yang baik akan menggunakan media sebagai sarana untuk berbuat baik, dengan cara yang baik dan tentu tujuan yang baik.
Tetapi bagi mereka yang memiliki ambisi, entah ambisi dalam hal politik, bisnis, reputasi, bahkan ambisi agama, mereka yang berambisi akan menggunakan media sebagai sarana yang tepat, menurut mereka, untuk mewujudkan ambisi mereka. Makanya, saat ini media sepertinya penuh dengan warna fitnah.
Oleh karena itu, jika menemukan informasi di media, kita yang tidak tahu apa-apa, jangan sembarangan memberi komentar dengan kesimpulan yang semata membaca informasi tersebut, atau membagikan ke akun pribadi atau teman-teman sosmed. Kita harus cerdas menilai informasi-informasi di media.
Media saat ini benar-benar dijadikan sarana untuk kepentingan pribadi, golongan atau kelompok. Oleh karena itu, sekali lagi, kita harus cermat, cerdas dan selektif dalam membaca informasi di media. Jika memang kita tidak mengerti apa-apa, lebih baik diam saja, agar tidak menambah warna fitnah di media.
Fitnah atau berita hoax di sosial media
Akibat dari rawan dan merajalelanya hoax, maka sudah banyak aksi dan deklarasi anti hoax yang dilakukan oleh berbagai macam pihak. Tentu, hal ini disebabkan karena memang sosial media dewasa ini telah dipenuhi oleh berita atau opini hoax.
Dalam Islam berita atau opini hoax diistilahkan dengan fitnah, berita yang dibuat tanpa fakta dengan tujuan menjatuhkan orang lain atau merusak seuatu tatanan masyarakat. Dengan demikian, fitnah dalam Islam dimasukkan kepada perbuatan yang berakibat dosa dan akan ada balasannya.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmiddîn mengatakan bahwa pada hakikatnya kebohongan tidak diperbolehkan bukan karena kebohongan itu sendiri (lâ bi ‘ainihi). Akan tetapi kebohongan dilarang dalam agama karena kebobongan itu menimbulkan banyak dampak negatif. Sama dengan hal tersebut, dalam kitab Adabud Dunyâ Waddîn, Imam Al-Mawardi menjelaskan:
الْكَذِبُ جِمَاعُ كُلِّ شَرٍّ، وَأَصْلُ كُلِّ ذَمٍّ لِسُوءِ عَوَاقِبِهِ، وَخُبْثِ نَتَائِجِهِ؛
“Kebohongan adalah sumber dan akar dari segala kejahatan dan kejelekan karena dampak buruk dan keji yang ditimbulkannya.”
لِأَنَّهُ يُنْتِجُ النَّمِيمَةَ، وَالنَّمِيمَةُ تُنْتِجُ الْبَغْضَاءَ، وَالْبَغْضَاءُ تُؤَوَّلُ إلَى الْعَدَاوَةِ، وَلَيْسَ مَعَ الْعَدَاوَةِ أَمْنٌ وَلَا رَاحَةٌ
“Karena sesungguhnya kebohongan dapat menimbulkan fitnah, dan fitnah membawa pada kemarahan. Lalu kemarahan akan menjadi awal dari permusuhan. Dan tidak ada yang namanya rasa aman dan ketentraman dalam sebuah permusuhan.”
Ibnu Muqoffa seorang pujangga kenamaan yang hidup pada zaman Dinasti Abbasiyah mengatakan dalam kitab Adabud Dunyâ Waddîn:
لَا تَتَهَاوَنْ بِإِرْسَالِ الْكِذْبَةِ مِنْ الْهَزْلِ فَإِنَّهَا تُسْرِعُ إلَى إبْطَالِ الْحَقِّ
“Janganlah seseorang menganggap remeh mengirim berita bohong meski sekadar guyon dan lucu-lucuan. Karena sesungguhnya kebohongan itu dapat dengan cepat menenggelamkan informasi yang berisi kebenaran.”
Kemajuan sains dan teknologi memang satu sisi memiliki nilai positif, tetapi di sisi lain berdampak negatif. Sisi positifnya sudah kita rasakan, bahwa dengan kecanggihan teknologi, ilmu pengetahuan lainnya menjadi ikut berkembang. Pengetahuan tentang ilmu bisnis sehingga bisnis online sudah menguasai jagat raya. Bahkan hampir semua aktifitas kehidupan manusia bergantung kepada teknologi. Dakwah agama pun sudah marak dilakukan melalui sosial media yang didukung oleh kecanggihan teknologi.
Sementara sisi negatifnya, sudah kita baca di berbagai media bahkan kita rasakan sendiri betapa besar pengaruhnya sosial media bagi kehidupan nyata. Dari dunia maya yang tidak bisa diraba, bisa berakibat pada dunia nyata yang benar-benar dirasa. Bahkan konflik yang terjadi dewasa ini, semuanya berawal dan berakibat dari sosial media. Konflik etini, budaya, ekonomi, politik terikut juga konflik agama. Setiap yang memiliki kepentingan itu, rasanya sudah memanfaatkan sosial media untuk mewujudkan ambisinya. Perpecahan antar umat dan bangsa sudah kita rasakan saat ini. Semuanya bermula dari sosial media.
Berita bohong di era digital kini mencapai puncak kejayaannya. Berita yang lazim disebut hoax itu kerap tersebar di grup media sosial dari mulai Facebook, Instagram, Twitter, hingga Whatsapp. Hoax sebagaimana dipaparkan di atas adalah berita palsu yang diproduksi untuk tujuan menyerang orang atau kelompok tertentu. Berita bohong atau informasi palsu ini telah menggerus kaum intelek dan akademisi (sampai bergelar profesor dan doktor) serta melumpuhkan akal sehat kita hingga ke titik nadir. Bayangkan, kaum terpelajar yang semestinya memilah dan memilih berita terlebih dahulu bahkan harus kritis dalam menyerap informasi malah melahap mentah-mentah berita palsu dan menyebarkannya ke orang lain.
Akibat berita hoax
Mungkin kita pernah mengalami, ada teman atau kita sendiri yang keluar dari grup WA, karena memperdebatkan satu berita atau opini. Kita memperdebatkan berita atau opini tersebut dengan argument yang kuat sehingga saling ngotot, bahkan setelah kehabisan argument yang keluar adalah komentar caci maki, sehingga akibatnya bermusuhan keluar dari grup.
Budaya baca dikalahkan oleh budaya share atau bebagi berita, lebih parahnya lagi budaya komentar hingga caci maki telah merajai sosial media. Berkomentar tidak sesuai apa yang sebenarnya, hanya berdasarkan kepada pemahaman pribadi yang didorong oleh emosi atau didorong oleh ambisi.
- Pertemanan menjadi permusuhan
Tidak sedikit sebagian orang yang awalnya berteman baik menjadi bermusuhan hanya karena berdebat tentang berita. Saling ngotot hingga saling menjelekkan satu sama lain. Padahal apa yang diperdebatkan, tidak diketahui kebenarannya dan sumbernya.
Maka, kita sampai berdebat di sosial media. Berbagi berita atau opini boleh, asal kita harus membaca isinya dan mencaritahu kebenaran dan sumbernya. Agar kita tidak terjebak menyebarkan berita hoax dan saling debat sampai adu emosi. Akibatnya kita kehilangan teman dan sahabat.
- Saudara atau kekelurga menjadi tidak saling sapa
Tentang saudara atau keluarga menjadi tidak saling sapa, ini saya dapat cerita dari orangnya sendiri. Bahwa dia tidak bertegur sapa bahkan sampai memendam sakit hati karena memperdebatkan berita yang ada di Fb. Sampai sekarang orang ini tidak akur sama keluarganya. Karean dia dijelek-jelekkan di sosial media karena berdebat dif b.
Maka, kita harus berhati-hati dalam bersosial media.
- Merusak persatuan
Kadahsyatan hoax memang sudah terjadi dan menimpa bangsa kita. Sangat merusak persaudaraan dan ikatan silaturahim sesama anak bangsa. Jika kita akti di sosial media, semisal Fb, WA dan seterusnya, kita akan menjumpai banyak ungkapan yang saling menghujat dan caci maki. Bahkan tidak sedikit yang saling mengancam.
Terlebih di masa-masa panasnya perpolitikan di negeri ini. Sesama teman, sesama keluarga bahkan seorang murid tidak segan-segan mencaci dan menghujat gurunya. Bahkan, seorang pemimpin pun sudah dihujat habis-habisan, hanya karena sosial media.
Sungguh, jika kita melihat panasnya gejolak berita hoax yang mengakibatkan para anak bangsa saling hujat dan caci maki, seolah negeri sudah terancam dengan maraknya berita hoax. (Muhammad)