ASWAJADEWATA.COM
Bagi KH Fathurrozi (Gus Fahrur), pengasuh Pondok Pesantren An-Nur, Malang, Jawa Timur, salah satu warisan KH As’ad Syamsul Arifin yang monumental adalah penerimaannya terhadap asas tunggal Pancasila. Padahal waktu itu banyak sekali ulama yang menolak asas Islam digantikan dengan asas Pancasila. Sedangkan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto terus memaksakan agar asas tunggal Pancasila dalam berpartai dan organisasi sosial kemasyarakatan.
“Beliau akhirnya berinisiatif mencairkan ketegangan itu dengan menemui Soeharto. Karena asas Pancasila itu kan urusan bernegara, di akhirat tetap Islam,” kata Gus Fahrur
Menurut mantan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masduki Baidlowi, niat Soeharto menerapkan asas tunggal Pancasila tak lepas dari kondisi pada era sebelumnya. Soeharto berkesimpulan, salah satu sebab utama mengapa Orde Lama tidak bisa membangun untuk menyejahterakan rakyat tak lain adalah cekcok antarpartai politik yang berlatar belakang ideologi. “Penerapan asas ini mesti berhasil dengan cara apa pun,” katanya.
Masduki menilai, pertemuan Soeharto dengan Kiai As’ad didasari sebuah kepentingan saling membutuhkan. Soeharto perlu figur untuk menjembatani tersampaikannya konsep yang dia buat kepada ulama-ulama dan aktivis Islam, butuh pintu untuk menggelindingkan asas tunggal supaya dapat diterima. Sedangkan As’ad tak ingin umat bentrok dengan pemerintah. “Di situlah saya lihat Kiai As’ad jadi jembatan penghubung strategis. Kalau tidak ada beliau, saya kira agak berat,” ujar Masduki, yang kini menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Komunikasi dan Informasi.
Tapi, sebelum menemui Soeharto, Kiai As’ad termasuk yang tidak senang terhadap niat sang penguasa Orde Baru itu. Sikapnya melunak dan akomodatif setelah berdiskusi dengan dua kiai muda, yakni KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang tak lain cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. “Tak usah khawatir, Kiai, Pancasila tidak akan menggantikan Islam dan Pancasila tidak akan melawan Islam,” kata Gus Dur seperti ditulis Syamsul A. Hasan dalam bukunya, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat.
Setelah itu, selama berminggu-minggu As’ad lebih banyak merenung untuk bisa menemukan dalil penerimaan terhadap Pancasila. Setelah mantap, barulah ia, yang kala itu sudah berusia 86 tahun, menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Semula protokol cuma menyediakan waktu 15 menit untuk pertemuan tersebut. Tapi pembicaraan ternyata berlangsung gayeng hingga lebih dari 1 jam. Lewat gaya komunikasinya yang santun dan terkadang jenaka, Kiai As’ad menegaskan kepada Soeharto agar Pancasila hendaknya hanya sebagai dasar negara, sementara agama adalah dasar hidup bersama.
“Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama terus membuang Islam dan lain-lain? Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini,” kata Kiai As’ad menyampaikan aspirasi dan kegelisahan para kiai dengan tegas.
Soeharto pun tersentak. Jenderal penguasa Orde Baru itu menegaskan, Pancasila tidak akan dijadikan agama atau agama dijadikan Pancasila. Tapi Pancasila akan menjadi semacam pintu gerbang untuk masuknya semua agama, semua komponen bangsa, untuk bersama-sama membangun bangsa. “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila.”
Dengan penjelasan tersebut, Kiai As’ad akhirnya mafhum. Ia menegaskan pendirian NU yang siap menerima Pancasila. Sebab, sejak semula NU memang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sang Smiling General pun manggut-manggut. “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid, qul huwa Allahu ahad,” tutur Kiai As’ad.
Penafsiran Pancasila pun harus dikaitkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. Karena itu, menurut As’ad, kita sebaiknya tidak memisahkan keyakinan tauhid umat Islam dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Sebab, kalau umat Islam menafsirkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa berlainan dengan akidah tauhid, murtadlah dia!
Indonesia, ia menegaskan, tidak perlu menjadi negara Islam. Namun, kalau masyarakat menjalankan nilai-nilai syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, hal ini menjadi idaman bagi setiap muslim. Karena itu, “Pancasila bisa menjadi potret Piagam Madinah di zaman modern ini. Insya Allah akan ditiru oleh negara-negara lain,” tuturnya.
Ketika isu ini oleh Kiai Achmad Siddiq dibawa dalam Musyawarah Nasional NU pada pertengahan Desember 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, Jawa Timur, para kiai tak serta-merta menyetujui pemikiran semacam itu. Di antara mereka ada yang berkeras bahwa bila menerima asas tunggal Pancasila, berarti murtad. Namun, ketika disampaikan bahwa Kiai As’ad, Kiai Mahrus Ali, Kiai Masykur, dan Ali Makshum telah menyetujui konsep tersebut, mereka akhirnya bisa memahaminya. Dukungan NU terhadap konsep asas tunggal Pancasila akhirnya diteguhkan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984.
Pada 1982, Kiai As’ad pernah berperan sebagai mediator antara ulama dan pemerintah. Kala itu ia menghadap Presiden Soeharto untuk menyampaikan keresahan umat soal buku Pendidikan Moral Pancasila. Buku itu menyatakan semua agama pada hakikatnya sama baik dan sama benarnya. Kalimat ini membuat umat Islam, termasuk warga Nahdliyin, saat itu menjadi resah.
“Kiai langsung mendatangi Pak Harto dan menitipkan Islam kepada Pak Harto,” ujar Zaini Mun’im Ridwan, Ketua Tim Relawan Pencari Data, Fakta, dan Saksi Sejarah Perjuangan KHR As’ad Syamsul Arifin. Keruan saja, Pak Harto kaget karena merasa dirinya bukan ulama. Tapi, kata As’ad, sebagai pemimpin, Pak Harto adalah pelayan umat, dan umat sedang resah karena isi buku PMP yang dinilai dapat merusak akidah.
Tak lama kemudian, buku itu akhirnya mengalami revisi redaksi: “Bahwa semua agama pada hakikatnya sama baiknya menurut keyakinan pemeluknya masing-masing.” (detik.com)