ASWAJADEWATA.COM |
Memahami teks ayat al-Qur’an dan hadits itu harus hati-hati. Jangan seperti makan kacang goreng langsung kunyah dan telan. Penting memahami teks kitab suci dan hadits itu dengan membaca syarh (penjelasan) ulama.
Jika memahami teks kitab suci dan hadits langsung telen, godaannya itu besar. Anda akan mudah buat kesimpulan sendiri, dan dengan mudah terangsang dan tergoda untuk menyalahkan dan menghakimi orang lain.
Setiap teks ayat suci dan hadits itu sudah dibahas oleh ulama baik terdahulu maupun terkini. Jadi gak sulit untuk mencari makna dan pesan sebenarnya dari setiap sumber kitab sharh dari itu. Kitab tafsir saja sangat buanyak. Syarh hadits pun berjidil-jilid, jika Anda mau dari banyak ulama.
Seperti baru-baru ini ada netizen yang menposting video seorang santri membungkuk dihadapan kiyainya. Itu kemudian dihakimi sebagai melanggar syariat karena dimaknai sama dengan menyembah kiyai, dengan mengutip sebuah hadits.
Mestinya merujuk dulu pendapat ulama bagaimana pandangan mereka tentang hal ini. Jangan ujug-ujug “boom” bilang syirik. Dalam satu masalah, kebanyakan ulama ikhtilaf dalam menentaapkan hukumnya. Maka, menyimpulkan sendiri tanpa melihat bagaimana sebelumnya ulama membahas itu bisa bikin repot.
NAH, ini penting diperhatikan. Untuk yang ingin memahami teks kitab suci dan hadits, ada dua cara. Baca langsung sumber utama, atau mulai dari sumber sekunder.
Sekarang tersedia dengan mudah teks asli sumber utama (al-Quran dan kitab-kitab hadits). Namun resikonya (kalau Anda bukan ulama), bisa cepet ambil kesimpulan seperti kasus di atas. Dan dikemudian hari setelah mengeytahui pendapat ulama, baru mengetahui pendapatnya itu salah dan menyesatkan. Bahaya kan. Sebab untuk teks suci diperlukan ilmu lain setidaknya ilmu bahasa dan sejarah. Juga kesucian batin.
Namun sebaiknya menpelajarinya mulai dari sumber kedua sebelum ke sumber utama. Yakni dari kitab-kitab yang ditulis ulama yang menjelaskan tentang teks utama. Dengan begitu, kita pun memiliki komparasi karena ulama pun tidak selalu seragam memahami ayat atau hadist, karena bisa saja dipenuhi latar belakang budaya dan politik saat itu. Tapi tidak berarti sesat seperti orang awam yang melakukannya karena ulama melakukannya dengan ilmu. Dengan demikian, kita terhindar dari salah yang membahayakan dan menyesatkan.
Oleh: Gus Nadirsyah Hosen