ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Naufal Aulia Hanif
Dalam setiap perkembangan zaman, dari satu periode ke periode yang lain, manusia tidak pernah terlepas dari beragam problematika dalam kehidupan mereka.
Begitupun saat ini, di mana segala sesuatu berjalan begitu cepat dengan gemerlapan kemajuan di segala aspeknya (baca: modernitas), manusia sekali lagi harus mengahadapi sebuah tantangan besar sebagai problematika bersama. Yaitu, krisisnya –agar tidak terkesan hilang– kualitas dan rasa spiritualitas mereka, khususnya bagi sebagian besar masyarakat Muslim modern (Sayem, 2022).
Spiritualitas yang mudahnya dipahami sebagai kualitas hubungan antara manusia (ciptaan) dan Pencipta merupakan komponen kehidupan yang hidup dan menghidupi dengan visi keilahiannya. Pasalnya di satu sisi, kualitas spiritualitas seseorang dapat mengalami fase naik-turun; dan di sisi lain, ia dapat memberikan arti dalam kehidupan manusia. Tanpanya, manusia dapat menderita karena perasaan cemas dan takut. Bahkan yang lebih buruk, apapun yang mereka lakukan akan terkesan nir-makna dan berpotensi mengarah pada kezaliman.
Kemudian, karena masyarakat Muslim modern terkenal dengan karakteristiknya yang rasional (Jung, 2016), maka berbagai bentuk upaya yang mengarah pada hal metafisika akan sulit diterima, bukan tidak mungkin. Bahkan mereka beranggapan bahwa krisis spiritualitas itu dapat diatasi melalui penampilan luarnya saja yang sifatnya materialistik nan trendi.
Namun, hal itu sebenarnya anggapan inter-subjektif saja agar mereka merasa menjadi pribadi spiritual. Padahal, tidak sepenuhnya dapat memperbaiki aspek spiritualitas mereka.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin mengenalkan salah satu cabang keilmuan, yaitu neourosains dengan konsepnya bahwa sebenarnya aspek spiritualitas itu dapat dihasilkan oleh kerja syaraf otak manusia melalui berpikir kognitif dan efisien (Walach, 2011).
Tentu, kali ini searah dengan karakteristik masyarakat Muslim modern di atas. Oleh karenanya penting untuk menstimulus kerja syaraf otak itu dengan apa yang disebut sebagai ideal moral di dalam al-Qur’an. Paling tidak akan menghasilkan mindset spiritual yang baru dan sesuai.
Hal ini tidak lain dilakukan untuk menunjukan bahwa fungsi otak dapat dikolaborasikan dengan kekayaan nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an. Terlebih, karena sebenarnya al-Qur’an tidak hanya berisi unsur mengenai hukum syari’at, sejarah umat terdahulu, ataupun pengetahuan tentang kehidupan yang akan datang (baca: akhirat). Melainkan ada satu unsur yang kerapkali terlewat, yaitu norma. Norma ini penting kaitannya sebagai sarana untuk menciptakan hubungan yang dalam nan indah dengan Pencipta (spiritualitas).
Neurosains: Reaktualisasi Fungsi Otak yang Berbasis Al-Qur’an
Tidak sedikit ditemukan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang membicarakan betapa pentingnya fungsi otak sebagai pemantik untuk berpikir kritis mengenai visi keilahian Tuhan sebagai Pencipta. Hal itu dapat dilihat melalui beberapa bentuk kalimat yang muncul, seperti afalā ta’lamūn dan afalā tatafakkarūn ataupun melalui bentuk lainnya yang memiliki semangat yang sama. Seperti halnya dalam QS. al-Baqarah: 164 yang hadir setelah adanya perintah untuk mengamati keesaan Tuhan yang tersirat dalam beragam bentuk ciptaannya.
Selanjutnya jika berkiblat kepada asbāb al-nuzūl, ayat ini sebenarnya juga merefleksikan bahwa dengan memaksimalkan fungsi otak dengan berlandaskan al-Qur’an dapat menciptakan kualitas hubungan koneksitas yang kuat antara Pencipta dengan ciptaanya. Terlebih, ayat ini menyimpan nilai norma yang mengandung esensi kuat mengenai keilahiaan yang tentu dapat dimaknai secara kontekstual saat ini.
Selain itu, ayat ini juga menggambarkan bagaimana seharusnya masyarakat Muslim modern dapat meningkatkan kualitas spiritualitas mereka melalui berpikir.
Ayat lainnya yang secara implisit menegaskan bahwa otak dapat digunakan sebagai media meningkatkan spiritualitas adalah permulaan wahyu QS. al-Alaq: 1 yang berisi perintah untuk membaca. Walaupun asbāb al-nuzūl ayat ini merupakan penanda kenabian Muhammad melalui perantara Jibril kala itu di Gua Hira, namun tidak menutup kemungkinan untuk dimaknai (baca: ditafsirkan) secara kontekstual lagi tanpa menghilangkan ideal moralnya. Khususnya melalui tafsir yang progresif kepada diri masing-masing masyarakat modern.
Pasalnya, tafsir sendiri menyimpan aspek lokalitas di dalamnya sebagai produk hasil pemahaman manusia dalam memaknai al-Qur’an.
Kembali kepada poin penting ayat itu, maka makna perintah membaca sebagai sebuah aktivitas selayaknya dapat dilakukan dalam area yang lebih luas lagi. Seperti membaca arah tujuan hidup yang seharusnya masyarakat Muslim modern ambil agar kehidupan mereka tidak hampa dan nir-makna. Selain itu, urgensi melakukan pembacaan terhadap diri sendiri secara tidak langsung dapat menjadi upaya mawas diri dengan visi keilahiannya.
Sehingga jelas, sudah selayaknya al-Qur’an yang secara kolektif diamini sebagai pedoman utama oleh kalangan internal umat Muslim dapat menjadi primadona lagi saat ini. Melalui kesadaran bahwa syaraf otak juga berpotensi memperbaiki aspek-aspek spiritualitas, maka reaktualisasi fungsi otak dengan cara memaknai kembali ayat al-Qur’an terkait menjadi langkah rill bagi masyarakat Muslim modern saat ini. Karena tidak ada salahnya jika mereka dapat mengelaborasikan aspek spiritulitas itu dengan hal yang lebih rasional.
Neo-Spiritualis sebagai Tren Baru: dari Otak menuju Tuhan
Melalui uraian di atas, jelas sekali bahwa otak sebagai media berpikir memiliki posisi yang tidak kalah penting dalam al-Qur’an untuk mengenal Tuhan lebih dalam. Sehingga, penting rasanya menjadikan al-Quran sebagai legal standing dalam menjalani hidup yang dilihat melalui kacamata neurosains. Bahkan, cara ini nantinya dapat menciptakan suatu bentuk tren baru di masyrakat Muslim modern. Yaitu, masyarakat neo-spiritualis.
Di mana, cara menumbuhkan rasa spiritualitas itu berangkat dari otak melalui kinerja fungsi syarafnya dalam mengaplikasikan makna-makna al-Quran yang kontekstual saat ini. Sehingga upaya peningkatan kualitas spiritulitas tidak hanya dianggap melalui tindakan yang sifatnya inter-subjektif semata. Seperti melalui penampilan yang telah saya singgung di awal. Tapi lebih dari itu. Yaitu, melalui akal manusia sebagai anugerah tersendiri dari Allah Swt. yang membedakannya dengan ciptaan yang lainnya.
Terakhir, kecenderungan masyarakat saat ini yang turut memberikan posisi penting kinerja otak dan tantangan di era modern tetap dapat dimanfaatkan untuk meningkat rasa dan kualitas spirtualitas masyarakat Muslim modern.
Di sisi lain, hal ini menunjukan bahwa apa yang dihasilkan otak tidak selamanya mengarah pada hal materialistik yang non-spiritualis. Sehingga, kolaborasi antara dua hal ini, al-Qur’an dan otak turut mengamini term bahwa al-Quran itu shālih li kulli zamān wa makān dan dapat dijadikan pedoman untuk menajalin kehidupan yang baik sampai kapanpun.
Referensi
Jalaluddin Abi Abdurrahman al-Suyuthi (2002) ‘Lubab al-Nuqul fi Asbab al- Nuzul’, Muasyasyah al-Kutub al-Tsaqafiyah. Beirut, Lebanon.
Jung, D. (2016) ‘Modernity, Islamic Traditions, and the Good Life: An Outline of the Modern Muslim Subjectivities Project’, Review of Middle East Studies, 50(1), pp. 18–27. Available at: https://doi.org/10.1017/rms.2016.72.
Muhammad Ibn Umar Nawawi al-Jawi (1997) ‘Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, Lebanon.
Sayem, A. (2022) ‘The Eco-Philosophy of Seyyed Hossein Nasr’, p. 26.
Walach, H. (2011) ‘Neuroscience, consciousness and Spirituality’, Springer Science & Business Media.