ASWAJADEWATA.COM- Kajian tentang persoalan toleransi menjadi sangat urgen terutama dalam setiap lokalitas seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Di mana Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak hanya sebagai negara yang multietnis, multibudaya tapi juga multiagama. Kondisi fakta kehidupan Heterogenitas inilah menjadi alasan strategis dalam menilai pentingnya kajian toleransi yang salah satunya adalah toleransi beragama.
Kajian toleransi bergama menjadi sangat vital dengan alasan utama yaitu sikap toleransi yang dimiliki oleh suatu individu atau komintas soal lainnya tidak lahir dari sebuah kondisi realitas yang hampa. Sikap toleransi hadir dari pergulatan panjang yang tidak hanya lahir dari proses sisi kognisi pemahaman terhadap nilai-nilai agama itu sendiri tapi ia juga hadir dari sebuah pengalaman panjang tentang sebuah relasi sosial yang biasa dilakukan oleh suatu komintas atau individu dalam masyarakat. Maka dari itu, kajian-kajian tentang toleransi beragama menjadi sebuah tuntutan ”wajib” yang harus di lakukan dalam setiap generasi bagi semua lapisan masyarakat di Indonesia guna tercapainya kerukunan dalam semua agama.
Ketika melihat kondisi fakta kehidupan tentang adanya toleransi beragama di masyarakat Bali kita patut optimis. Ketika beberapa belakangan ini terjadi tindakan-tindakan intoleran di dalam beberapa daerah di Indonesia namun di Bali tetap dalam kehidupan yang harmoni dengan nuansa toleransi yang begitu kental terutama toleransi beragama. Sikap Toleransi Bergama yang terjadi dalam masyarakat Bali sudah mendarah daging dalam urat nadi dalam kehidupan masyarakat Bali. Bagaimana tidak, sikap toleran yang di tunjukkan oleh masyarakat Bali sudah berlangsung berabad-abad lamanya, rasanya mengkaji tentang kajian toleransi beragama seakan “menggarami lautan” . Tidak perlu kita menggurui masyarakat Bali tentang teori-teori tentang toleransi. Toh, pada faktannya kondisi kehidupan toleransi beragama di Bali sudah berjalan dengan maksimal.
Tapi, masyarakat Bali tak bisa jumawa tentang kondisi praktik-praktik toleran yang berkembang di Bali. Berdasarkan hasil temuan oleh laporan tentang indeks kota toleran tahun 2017 oleh Setara Institute pada Hari Toleransi Internasional. Dari 94 kota yang di teliti oleh Setara Institut tidak ada satupun kota-kota di Bali yang masuk dalam nominasi skor sepuluh kota teratas dalam praktik-praktik toleransi. Malah, yang nongol masuk nominasi scor tertinggi adalah Manado dengan scor 5,90, Pematangsiantar dengan scor 5,90 , Salatiga dengan 5,90, Singkawang dengan scor 5, 90, Tual dengan scor 5,90, Binjai dengan scor 5,80, Kotamobagu dengan scor 5,80, Palu dengan scor 5,80 , Tebing Tinggi dengan scor 5,80, dan terakhir Surakarta dengan scor 5,70.[1] Berdasarkan hasil penelitian ini, tentu ini menjadi perhatian serius yang perlu di lakukan oleh seluruh lapisan masyarakat Bali.
Maka dari itu, penting untuk melihat corak keberagamaan dari tindak-tindakan yang di lakukan oleh masyarakat beragama di Bali. Jika pemahaman keagamaan tentang toleransi dari umat beragama sudah mapan. Maka, keserasian dan kenyamanan kehidupan dalam masyarakat akan tercapai dalam bingkai toleransi yang sudah terbentuk dengan mapan. Karena bagaimanapun juga pemahaman tentang agama yang di anut menjadi sangat strategis. Karena agama adalah tunggal tapi tafsir tentang keagamaan yang plural. Maka dari sini, konseptualisasi toleransi dalam setiap agama manapun menjadi Sesuatu yang sangat dibutuhkan.
Menelaah Tipologi Kebergamaan
Secara umum kajian tentang persoalan toleransi beragama di dalam masyarakat multicultural ada dua, yaitu masyarakat beragama educated people dan masyarakat beragama ordiniary people. Kedua masyarakat beragama ini berbeda-beda dalam memperlakukan agama yang mereka peluk. Bagi masyarakat educated people, memahami ajaran agama harus di balance –kan analisis rasional dan mengesampingkan pemahaman intuitif dan simbolik. Bentuk corak beragama seperti ini mudah untuk bertoleransi terhadap pemeluk agama di luar dirinya (other). Sebaliknya, masyarakat beragama ordiniary people memahami ajaran agama penuh dengan symbol-simbol dan cenderung tidak menggunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan sangat susah bertoleransi terhadap agama atau pemeluk agama lain. Kelompok kedua ini mudah di gerakkan oleh sekelompok orang atau komunitas baik yang beraliansi pada politik maupun yang beraliansi dengan budaya.
Komarudin Hidayat menyebutkan ada lima tipologi sikap keberagamaan, yakni eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, elektisisme dan terakhir universalisme. Kelima sikap keberagamaan ini tidak terlepas atau terputus satu sama lain, tidak pula permanen tidak ada hubungan sama sekali. Tetapi bisa dikatakan lebih tepat adalah sebuah kecenderungan yang lebih menonjol di antara kaum beragama, mengingat semua agama maupun sikap yang dilakukan oleh keberagamaan seseorang senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.[2] a. Eksklusivisme
Sikap eksklusivisme melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah ajaran agama dalam pandanganya sendiri, sedangkan ajaran agama lain sesat dan wajib di kikis, atau pemeluknya wajib konversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan pandangan yang paling dominan dari zaman ke zaman dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunya ikatan langsung dengan eksklusivitas. Artinya jika suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar.
Lebih lanjut komaruddin hidayat mengatakan sikap eksklusiv, yakni merasa agama sendiri paling baik dan benar, sementara yang lain tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya salah dalam beragama. Dalam pengertianya sebagai sikap agnostik, tidak toleran, dan mau menang sendiri, eksklusifisme tentu tidak bisa di benarkan dalam konteks hidup sebagai masyarakat negara bangsa.
Tetapi jika yang dimaksudkan dengan eksklusif adalah berkenaan dengan kualitas, ataupun keunggulan suatu produk suatu ajaran agama dengan dukungan bukti-bukti dan arugumentasi yang rasional, maka sesungguhnya setiap manusia manapun sesungguhnya mencari agama yang eksklusif dalam pemahaman yang excellent tersebut sesuai dengan keyakinan intenoumnya.
b. Inklusivisme
Inklusivisme merujuk pada sikap dan pandangan keberagamaan seseorang bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Di jenis corak keberagamaan ini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholis Madjid, sikap inklusif memandang agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama kita.
Sikap inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan agama anda sendiri tanpa perlu mengutuk keberagamaan agama lain. Ibadah yang dilakukan pun akan menjadi lebih konkrit dan pandangan keagamaan akan menjadi lebih universal.
Komaruddin Hidayat lebih cenderung pada pandangan inklusivisme beragama yang barangkali lebih mudah diterima ketimbang keempat faham yang lain, karena dalam faham inklusivisme seseorang masih tetap meyakini bahwa agamanya paling baik dan benar. Namun, dalam waktu yang sama, mereka memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan pemuluk agama lain. Sejarah membuktikan bahwa semua pendiri agama besar selalu bersikap inklusif. Sementara itu, ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau ideologi beragama yang dianut para pemuka agama dan penguasa negara, maka biasanya agama bukannya menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber konflik. Sedangkan pluralisme agama sebagai suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan memeluk suatu agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius mendalami ajaran suatu agama.
c. Pluralisme
Panikkar dan Budy Munawar Rachman masing-masing menyebutkan istilah pluralism dan paralelisme. Sikap teologis paralelisme bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya: “agama-agama lain adalah jalan-jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran agama yang sama”; “agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama-sama sah”; atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting akan sebuah kebenaran”.
Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim kelompok dalam islam yang mengklai kebenaran tunggal atas keberagamaannya sendiri serta mengkafirkan tindakan yang di lakukan agama lain sekalipun masih dalam intern agamanya adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan
Menurut Komarudin Hidayat, sikap keberagamaan pluralisme lebih moderat daripada sikap inklusivisme, atau bahkan eksklusifisme . ia berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu relitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel) sehingga semangat misionaris dalam sebuah agama dianggap tidak lagi relevan.
d. Elektisisme
Elektisisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat elektik.
Pilihan praktik keberagamaan corak ini sekilas kelihatan sempurna karena di dalamnya terdapat ajaran-ajaran dari berbagai agama dapat saling mengisi dan menyempurnakan. Namun sikap keberagamaan seperti ini mengandung ketegangan
e. Universalisme
Univsalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja karena factor historis-antropologis agama lalu tampil dalam format yang plural.
Para penganut agama memberikan tanggapan atau respon terhadap doktrin agamanya. Dalam memberikan respon ini, para penganut agama, paling tidak, memiliki tiga kecenderungan yang bisa diamati. Komarudin Hidayat memberikan ketiga kecenderungan itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu pemisahan, yakni kecendeungan “mistikal”(solitary),“profetik-ideologikal” (solidarity), dan “humanis-fungsional”.[3]
Respon keberagamaan mistikal, antara lain, ditandai dengan penekanannya pada penghayatan individual terhadap kehadiran Tuhan. Dalam tradisi mistik, puncak kebahagiaan hidup adalah apabila seseorang telah berhasil menghilangkan segala kotoran hati, pikiran, dan perilaku sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan yang intim yang dijalin dengan cinta kasih.
Tipologi kedua adalah profetis ideologikal. Kecenderungan beragama model ini, antara lain, ditandai dengan penekanannya pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Oleh karenanya, kegiatan penyebaran agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis.
Yang ketiga,humanis fungsional, adalah kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang disebut kebijakan hidup beragama adalah bila seseorang telah beriman pada Tuhan dan lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran dan eklektisisme pemikiran beragama merupakan salah satu ciri tipe ini.
Kecenderungan keberagamaan di atas hanyalah merupakan respon aksentuasi dan tidak identik dengan totalitas doktrin agama itu sendiri. Partisipasi dan pelaksanaan seseorang ke dalam agama biasanya bersipat parsial, dibatasi oleh kemampuan, pilihan, serta kuat lemahnya komitmen iman seseorang. Namun demikian, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, tipologi keberagamaan ketiga, yang menekankan orientasi kemanusiaan, perlu mendapat apresiasi dan penekanan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan.
Maka dari itu, dalam konteks kehidupan masyarakat Bali perlu adanya partisipasi aktiv dalam menggelorakan nilai-nilai toleransi dalam setiap derap nafas kehidupan masyarakat Bali. Para pemuka dalam setiap agama perlu tetap menyuarakan tafsir-tafsir keagamaan yang berorientasi kepada nilai-nilai humanisme. Karena, bukan tidak munkin tafsir yang tidak berorientasi kepada kebersamaan kembali lahir dari kelompok yang berkepentingan dalam semua agama baik Islam, Hindu, Kristen, Budha, Konghucu dan lainya. Agama adalah tunggal tapi kemudian tafsir terhadap agama adalah plural. Maka perlu menyuarakan tafsir yang pro terhadap kebersamaan. Sehingga kehidupan harmoni dalam masyarakat Bali akan terus berlangsung sepanjang zaman.
Oleh. Muhammad Sofi Zihan (Alumni Ma’had Aly Sukorejo Situbondo/Pengajar PP. Nurul Ikhlas Banyubiru Jembrana Bali)
[1] http://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-tahun-2017/
[2] Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), hal- 45
[3] Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), hal- 70