ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Muhammad Rodlin Billah
Bisa saja konflik di Palestina itu berlangsung hingga hari kiamat. Dan karenanya ada sementara orang berargumen, “wis, ora usah melu-melu, nganti kiamat yo bakal pancet tukaran”.
Ada juga sementara orang mengatakan bila akar permasalahannya adalah konflik kuno antar agama. Pun ada sementara lainnya mengatakan bila yang satu hanya membela dirinya dari serangan pihak satunya.
Mungkin saya yang kelewat bodoh dan ignorant, tapi bagi saya, apapun argumennya, ia menjadi tidak berarti di mata masyarakat sipil yang terjebak ditengahnya.
Apalagi bagi mereka yang terusir dari tanah dan rumahnya sendiri. Apalagi bagi anggota keluarga yang ditinggal wafat ayah, ibu, paman, bibi, sepupu, atau keponakannya lantaran berbalas-balas serangan.
Bukankah penghindaran hilangnya nyawa seorang manusia, siapapun orangnya, berapapun usianya, sudah cukup menjadi argumen?
Bagi saya pribadi, siapapun yang menganggap nyawa manusia lain tidak lebih penting ketimbang nyawa manusia kelompoknya, dialah penjahat sesungguhnya.
Bagi saya pribadi, ini bukanlah soal analisis mendalam mengenai akar permasalahan, atau kemampuan menghentikan konflik kuno yang mungkin baru akan berhenti satu jam menjelang hari kiamat.
Ini adalah soal keberpihakan kita pada kemanusiaan….
Saya membayangkan seorang ayah berkata demikian pada putrinya, masih dalam suasana Idul Fitri:
“Lihatlah, nak, betapa beruntungnya kita dapat menikmati kembang api yang membuat terang malam-malam kita yang gelap. Meski barang sejenak, bukankah ini sungguh menghibur?”
Padahal yang lewat diatas kepala mereka adalah roket-roket yang diterbangkan dari satu sisi ke sisi yang lain, atau peluru-peluru artileri jarak jauh, bahkan juga bom-bom dari burung-burung besi canggih.
Sumber: FB
(Penulis adalah Ketua PCINU Jerman dan saat ini sedang mengambil Program Doktor di bidang Nano Technology)