ASWAJADEWATA.COM |
Dalam konteks kenegaraan, NU dan Muhammadiyah, kata KH. Hasyim Muzadi, ibarat sepasang sandal jepit. Kalau mau dipakai semua, silahkan. Kalau nggak dipakai, ya monggo. Jangan dipakai sisi kanan, yang sisi kiri ditinggal, atau sebaliknya. Bakal dianggap wong edan, nantinya.
Keduanya punya karakter yang berbeda. Sistem tatakelola organisasinya, corak fiqihnya, juga sisi lainnya. Orang Muhammadiyah itu suka urunan duwit. Mbangun ini itu, bikin ini itu, warganya nitip fulus. Kalau warga NU, urunannya lebih sering non-duwit. Mau bangun pondok, misalnya, bukan uang yang disumbangkan. Tapi semen, pasir, bata, dst. Belum lagi tiba-tiba ada tetangga yang siap nyumbang tenaga dan menjamin kesediaan logistik. Walaupun secara hitungan matematis, nominalnya sebenarnya lebih gede dalam bentuk “jadi” seperti itu. Tak masalah.
Di Muhammadiyah, mencari ulama yang mampu mendirikan pondok pesantren, itu jarang. Walaupun tentu saja yang alim juga banyak. Tapi kalau bikin klinik, panti asuhan, hingga rumah sakit dan sekolahan, itu seabrek jumlah orangnya. Sebaliknya, di NU, orang-orangnya sekonyol apapun, bisa merintis TPQ, lalu berkembang menjadi Madrasah Diniyah, lantas tumbuh menjadi pondok pesantren. Tapi kadang diminta bikin klinik kesehatan dan panti asuhan malah kelimpungan. Sudah berdiri bingung sendiri cara mengelolanya, kadang malah tersandera konflik. Itulah plus minusnya.
Orang Muhammadiyah rata-rata nggak merokok, kecuali KH. A.R. Fahruddin dan Prof Malik Fajar. Sehingga, pernah suatu ketika KH. Hasyim Muzadi–Ketum PBNU yang tidak kebal kebul–menjumpai Prof Malik di smoking area bandara. “Lho, Muhammadiyah kok ngerokok!” gojlok Kiai Hasyim.
“Saya itu semua ikut Muhammadiyah, kecuali soal rokok. Dalam pertembakauan saya izin jadi orang NU saja deh,” timpal Prof Malik.
Keduanya terbahak. Soal gojlokan antara pemimpin Muhammadiyah dan NU, saya teringat KH. Raden Hadjid dan KH. A. Wahab Chasbullah, saat penentuan kabinet Hatta, 1948. Jika kebiasaan orang Muhammadiyah tidak talafudz niat, maka pada kesempatan itu mereka ingin agar menteri dari Masyumi yang duduk dalam Kabinet Hatta melafalkan niat izalatul munkarat (menghilangkan kemungkaran).
“Kalau begitu, niatnya harus diucapkan,” tukas Kiai Hadjid, pimpinan Muhammadiyah.
Mbah Wahab spontan menjawab dengan meminjam gaya orang Muhammadiyah yang khas, “Mana dalil al-Qur’an atau Hadits mengenai talaffudz bin niyyat (mengucapkan niat)?”
Mendengar sahutan Mbah Wahab, sontak hadirin tertawa riuh karena dua tokoh ini mewakili dua aliran dalam Islam tentang harus atau tidaknya mengucapkan lafadz niat (dengan mengucapkan ushalli) saat shalat.
Cerita di atas bisa dijumpai dalam buku “Berangkat dari Pesantren”, karya KH. Saifuddin Zuhri.
Oleh: Gus Rijal Mumazziq