ASWAJADEWATA.COM | SURAKARTA
Peringatan Harlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diyakini jatuh pada 7 September lalu diadakan secara sederhana oleh Komunitas GUSDURian Solo, dengan menggelar Nonton Bareng sekaligus diskusi film JEJAK LANGKAH – Gus Dur “Bapak Bangsa & Pemikir Toleransi” (11/9/2023) di Laweyan, Kota Surakarta.
Diawali dengan menonton film itu bersama, dilanjutkan dengan sambutan Aji Najmuddin selaku ketua GUSDURian Solo. Dirinya menyinggung kontroversi dua tanggal kelahiran Gus Dur yang tidak ditolak oleh Gus Dur sendiri dan keluarga semasa hidupnya. Sepertinya bagi Gus Dur hal ini tidak penting, terlihat waktu itu seringkali Gus Dur merayakan dan menerima ucapan selamat ulang tahun dua kali dalam setahun (versi lainnya 4 Agustus).
“Ada pula pendapat bahwa sebagai orang Jawa, hari lahir yang identik dengan weton dianggap penting. Sehingga dibiarkan seperti itu untuk mengecoh orang yang berniat jahat dengan memanfaatkan hitungan weton,” ujar Aji sambil tertawa.
Diskusi film ini menghadirkan dua pemantik antara lain yaitu; Joko Priyono, seorang Penulis aktif asal Boyolali, Jawa Tengah yang telah menulis puluhan Buku. Joko sendiri juga aktivis Gusdurian dan pegiat literasi. Namanya sudah banyak dikenal oleh mahasiswa di Solo karena tulisan-tulisannya yang menarik, khususnya tentang sejarah NU dan gerakan Aswaja di kota Solo.
Selain Joko, dihadirkan pula Dadie W. Prasetyoadi, anggota LTN PCNU Kota Surakarta. Pria asli Solo yang sejak kecil berdomisili di Bali ini juga adalah Co Founder sekaligus Pemimpin Redaksi Aswajadewata.com , sebuah media online keislaman dari pulau Dewata.
Jalannya diskusi yang dipandu oleh Kusnul Latifah ini menjadi menarik karena Gusdurian yang hadir malam itu kebanyakan adalah anak muda yang penasaran bagaimana sosok Gus Dur sebenarnya.
Diskusi tersebut diantaranya mengulas bagaimana jejak Gus Dur dalam membangun toleransi dan kesetaraan dalam perbedaan dengan pendekatan humanistik pada masa mudanya hingga diangkat menjadi Presiden RI ke 4. Tentunya hal ini tak dapat dilepaskan dari rakusnya Gus Dur akan buku bacaan tentang ilmu pengetahuan yang tak melulu kitab agama.
Tentang hal tersebut Joko Priyono mengungkapkan bagaimana di banyak buku biografi Gus Dur diceritakan bahwa Gus Dur sudah membaca “Das Kapital” karya Karl Marx saat masih menjadi santri di Ponpes Tegalrejo Magelang. Saat itu usianya masih sangat belia.
“Bisa kita bayangkan bagaimana luasnya wawasan beliau, sementara kita di usia sekarang mungkin ada yang malah belum pernah samasekali membuka buku itu,” ujarnya
Sementara itu Dadie yang dari kecil hingga dewasa berdomisili di Bali memaparkan kebiasaan Gus Dur jika berkunjung ke Bali.
Menurutnya, Gus Dur lebih sering menginap di kediaman para tokoh Hindu jika sedang di Bali. Selain karena memang Gus Dur suka berdiskusi bersama mereka membahas budaya, seni, agama, dan kemanusiaan, ternyata Gus Dur juga sedang menanam bibit-bibit persaudaraan yang kuat bersama para tokoh tersebut.
“Hubungan ini tidak dibangun secara instan, tapi dilakukan terus menerus sembari Gus Dur menitipkan warga NU di Bali kepada sahabat-sahabatnya itu. Agar warga NU ditemani, dilindungi, dan dibantu keberadaannya,” terang Dadie.
berlangsungnya diskusi hangat malam itu turut pula menyinggung pandangan-pandangan Gus Dur yang dianggap nyeleneh di banyak hal, termasuk isu gender dan feminisme.
KH. Abdul Aziz, Wakil Rais Syuriah PCNU Surakarta yang hadir mengikuti diskusi sejak awal turut menyampaikan harapan di ujung acara. Kiai Aziz begitu beliau disapa ingin agar pikiran dan ajaran Gus Dur ini dapat diabadikan dalam sebuah buku yang lengkap.
“Alangkah baiknya jika semua penulis yang malam ini hadir disini bersama-sama mulai mengumpulkan, mencatat, dan meringkas tulisan-tulisan Gus Dur yang tak ternilai itu, dan kemudian menyusunnya dalam sebuah buku yang bisa jadi berjilid jilid. Sehingga pikiran dan ajaran Gus Dur tersebut dapat terus diwariskan ke generasi selanjutnya dan menjadi abadi,” tuturnya.
Penulis: Muhammad Ihyaul Fikro’