ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Yuri Mahatma
Di dunia medsos, apalagi yang terkait dengan urusan obrolan politik “warung kopi” dan perkara intoleransi dan radikalisme, nama Abu Janda alias Permadi Arya, pastinya sangat tidak asing. Apa pasal?, Abu Janda ini salah satu orang yang amat agresif di sosial media. Kontennya banyak berupa perjuangan terhadap toleransi dan keragaman Indonesia. Membombardir para radikalis dan pengasong agama, menarik-narik kolor menelanjangi kebobrokan para pengusung khilafah. Uniknya ini dilakukan dengan cara, bahasa dan gesture yang tidak kalah konyolnya dibanding mereka yang ditelanjangi. Seringkali membuat geli dan kerapkali juga agak kelewatan dan membuat risih teman-teman seperjuangannya.
Apalagi si Abu Janda ini juga salah seorang dari ratusan ribu anggota Ansor, badan otonom underbouw NU, yang mengedepankan akhlaq dalam sepak terjangnya. Namun perlu diakui, ini semua menjadikan dia pesohor dengan follower berlimpah sehingga acap kali dicurigai sebagai buzzer bayaran.
Sebenarnya selama ini saya nggak pernah terlalu memperhatikan kecuali sekilas saja tentag sepak terjang si Abu Janda ini. Nggak pernah juga me-like apalagi subscribe akunnya. Namun kasus pelaporan seseorang atas kasusnya, telah membuat dia harus berurusan dengan polisi, ditambah lagi ada klarifikasi dan pernyataan dari elit MUI dan NU membuat saya tergelitik.
Polah tingkah Abu Janda ini kalau kita mau jujur, telah sangat efektif mengimbangi kekonyolan para pengasong agama di dunia Maya. Saking efektifnya dia sampai kerap diundang TV nasional untuk dipertemukan dalam acara debat dengan lawan-lawanya. Kalau memang tidak ada efeknya, saya jamin tidak akan ada TV yang mau menyediakan slot. Karena bagaimanapun urusan Rating selalu menjadi pertimbangan.
Dari penelusuran saya, ternyata Abu Janda juga bukan orang bego bin tolol. Dia lumayan berpendidikan dan terliterasi. Namun gayanya memang seperti jagoan dan konyol. Namun ini pun bisa jadi memang disengaja untuk bisa mencapai follower sebanyak mungkin terutama dari mereka anak-anak muda yang memang secara naluriah senang dengan hal-hal yang bombastis atau juga kalangan awam bin abangan yang memang hanya mampu mencerna gaya bahasa dan gestur yang agak “norak”, namun jangam lupa, kedua golongan ini pula lah yang sering menjadi target potensial bagi radikalisme dan pengusung khilafah.
NU sebagai Ormas, sebenarnya juga memperjuangkan hal yang sama, menangkal radikalisme dan memupuk serta menjaga kebhinekaan. NU juga mempunyai jutaan SDM yang pandai dan terliterasi dengan baik. Namun efektifitas perjuangannya dirasa loyo. Ini juga diakui oleh NU. Mereka mengakui telah kedodoran (kalau bukan kecolongan) dalam merebut posisi di kalangan anak muda (mahasiswa) dan juga dalam lingkungan Masyarakat urban perkotaan sehingga umum diketahui paham khilafah, intoleransi dan teologi maut merebak dikalangan ini. Mungkin ini disebabkan orang-orang pandai dan pintar dalam NU kurang berhasil merebut hati masyarakat.
Umum diketahui bahwa mereka (para orang pandai NU) lebih sering ngobrol, bicara, menulis dan bermedsos hanya diantara mereka saja. Bahasa dan gesturnya agak terlalu tinggi untuk dipahami. Anekdot dan kelucuan mereka kerap kali hanya bisa dipahami oleh para lulusan pondok, alih-alih bisa menembus dan mencerahkan orang-orang diluar NU. Kepatuhan terhadap sopan santun khas NU membuatnya tidak begitu menarik golongan yang saya sebut-sebut diatas. Kalau sudah begini apakah NU harus menjadi ikutan tidak sopan? Ya tidak begitu juga, tapi minimal NU tetap bisa merangkul kalau ada “anak-anaknya” yang sedang berjuang dengan gaya yang lebih “norak” dan “konyol”, alih-alih lepas tangan. Karena suka tidak suka, diakui atau tidak, ada kalanya cara-cara seperti itu, untuk golongan tertentu, memang amat efektif.