ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Yuri Mahatma
Bosan kita menyaksikan bangsa ini kembali diteror oleh para radikalis dan penganut teologi maut. Kejadian bom bunuh diri di gereja Makassar diikuti dengan “penyerangan konyol” di mabes Polri menunjukkan bahwa paham radikal, sebagaimana paham dan isme-isme lainnya, memang tidak bisa tuntas dibasmi sejak jaman dahulu kala hingga akhir zaman kelak. Berbeda dengan misalnya pelacur, yang bagaimanapun dalam hati kecilnya tetap paham bahwa yang dilakukan adalah salah.
Isme, apapun itu, bagi penganutnya sedemikian diimani dan diyakini kebenarannya dalam hati bahkan dibawa hingga nafas terakhir, terlepas isme itu berdampak amat destruktif bagi kehidupan bersama atau radikal. Intinya kita bisa membasmi radikalis atau teroris, tapi kita tidak akan pernah bisa membunuh Radikalisme sebagai ladang subur tindak terorisme karena, sebagaimana halnya dogma Agama, tidak akan pernah dipandang salah oleh penganutnya.
Bosan juga kita mendengar komentar-komentar mereka yang mengatakan bahwa terorisme tidak beragama, oleh karenanya tidak bisa dikaitkan oleh agama tertentu. Dusta apalagi yang mau dikatakan? Terorisme dan radikalisme paling mudah tumbuh subur dalam dogma Agama. Ini tdak perku diingkari. Hampir semua pelaku terror bunuh diri di Indonesia dua dekade terakhir adalah muslim atau beragama Islam. Bahkan secara keseharian mereka adalah muslim-muslim yang “extra taat”, Ini fenomena menyedihkan namun biasa saja.
Pada dekade-dekade terdahulu, bahkan kalau kita mau lihat jauh ke belakang, perang salib dimulai oleh “hasutan” paus Urban yang mendoktrin pengikutnya untuk berperang. Penjajahan oleh bangsa -bangsa Eropa juga mendapat “restu” dari gereja-gereja (GOLD, GOSPEL, GLORY). Gerakan White Supremacy semacam KKK di Amerika yang amat rasis dan menyebar teror di kalangan kulit hitam Amerika juga saat itu di di back up oleh gereja-gereja dan pendeta-pendeta kulit putih. Perang saudara antara Katolik dan Protestan di Irlandia yang saling terror, juga atas nama agama. Apa yang hendak kita dustakan kalau saat ini hal serupa terjadi terhadap Islam?. Bahkan contoh tertua terorisme oleh umat Islam telah gamblang dalam sejarah Khawarij. Bahwa radikalisme timbul oleh karena pemahaman beragama yang salah, itu pasti. Tapi mengatakan bahwa teroris tidak beragama dan tidak bisa dikaitkan dengan agama, kok ya sama konyolnya.
Namun satu benang merah yang dapat kita tarik dari semua kejadian terorisme oleh penganut agama adalah, ia mencuat ke permukaan dan ganas membabi buta pada saat agama-agama menjadi alat politik identitas.
Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi lahan tersubur bagi radikalis. Bahkan menjadi daerah operasi bagi teroris trans-nasional semacam dr. Azahari. Memang Filipina juga mengalami ini, namun filipina relatif berhasil memetakan “daerah rawan” terorisme di Mindanau pimpinan Abu Sayaf itu. Berbeda dengan di Indonesia, yang hingga kini walau kantung-kantung dan pemimpin teroris dapat diketahui atau diperkirakan, namun penyuplai terbesar kombatan dan para martirnya yaitu kelompok-kelompok pengajian, mushola-mushola “garis keras” dan ustad-ustad radikalis tersebar di segala penjuru. Mereka semakin membesar karena memang tidak ada usaha pencegahan yang serius terhadap kelompok-kelompok ini. Bahkan mereka semakin bebas berkoar dan menebar kebencian dan hasutan di media-media sosial.
Di Bali, dimana saya tinggal, Muslim adalah minoritas saja, saya bisa menyebut paling tidak ada 5 mushola (mungkin lebih banyak lagi yang saya tidak tahu) yang kerap “Keras” dalam khutbah-khutbah oleh para ustadnya. Dan ini hanya di kota Denpasar saja. Belum lagi di kabupaten lain, dan belum juga dihitung kelompok-kelompok pengajian ekslusif yang banyak menarik simpati anak-anak muda. Di lingkup pergaulan saya saja, di dunia musisi, sudah banyak juga yang “terinfeksi” paham-paham radikal. Memang mereka tidak serta merta menjadi teroris, namun mereka mulai bersimpati atau minimal tidak mengutuk tindakan-tindakan teror yang terjadi.
Hal yang amat ironis, pemerintah bahkan tidak sanggup membentengi dirinya untuk tidak disusupi radikalis dalam struktur ASN maupun BUMN. Bahkan sudah menjadi hal umum kalau Mushola dan masjid-mesjid BUMN berusaha “dikuasai” oleh kelompok-kelompok pelacur agama ini.
Negara seperti selalu saja terasa berbaik sangka dan berbaik hati kepada para radikalis. Negara seharusnya tidak boleh ketakutan terkencing-kencing bila berhadapan dengan “HAM” dan “Demokrasi”, dimana keduanya selalu dijadikan tameng yang paling ampuh bagi radikalisme untuk berlindung. Bagaimanapun HAM dan Demokrasi dalam aplikasi dan penerapannya haruslah sesuai kebutuhan yang mendesak bagi kemaslahatan rakyat banyak.
Demokrasi bukanlah barang suci yang tidak bisa digeser-geser. Lihat saja mbah moyangnya demokrasi, Amerika, betapa berantakannya kehidupan demokrasi disana sekarang? Negara tidak cukup hanya menggunakan Polisi dengan densus 88 nya untuk mengatasi terorisme karena bagaimanapun Polisi baru bisa bertindak setelah ada kejadian teror. Negara harus menggunakan intelijen TNI untuk memantau dan menindak para radikalis di kantong-kantong mereka sebelum ada aksi. Ini akan jauh lebih efektif. Bagaimana payung hukumnya agar hal ini tidak kebablasan? Ya itu urusan pemerintah Bersama DPR untuk buat UU nya. Seharusnya Jokowi (yang konon sudah tidak ada beban) bisa melakukan ini. Apalagi DPRnya kini berisikan mayoritas pendukungnya. Sertifikasi da’I harus segera diimplementasikan. Tidak cukup hanya himbauan. Malaysia dan Brunei sudah menerapkan itu.
Apalagi alasan kita untuk menolak dan berpikir terlalu panjang dan ragu untuk mengikuti langkah mereka? Bukankah kemaslahatan ummat adalah yang terpenting? Bagaimana teknisnya? Entahlah itu urusan negara bersama pihak-pihak yang berkepentingan. Bisa saja misalnya, seluruh Da’I dari kalangan non NU dan Muhammadiyah wajib punya sertifikat, sedangkan bagi da’I NU cukup KartaNu saja (ya, ini ego saya saja haha).
Kemdikbud harus bersinergi dengan Kemenag dan NU, untuk menerbitkan buku-buku pelajaran agama yang harus memasukan kontra radikalisme di dalamnya sebagai buku wajib bagi jenjang Pendidikan nasional, sekaligus seleksi dan sreening ketat penerimaan guru agama..
Sebenarnya kita dapat berharap banyak kepada NU. Organisasi ini sudah terbukti dan teruji oleh perjalanan waktu hal mengenai komitmen kebangsaan, toleransi dan kebhinekaan. Tak ada keraguan mengenai ini. Namun terkadang rakyat dibuat gregetan dengan efektifitas dalam eksekusi pemikirannya. Islam Nusantara ala NU adalah isme dan sumbangsih “mulia” bagi bangsa dan diamini oleh mayoritas bangsa ini baik muslim maupun non-muslim. Seharusnya SDM Nahdliyin yang jutaan dan pinter-pinter bisa merangsek masuk memberi pencerahaan pemahaman agama yang benar kepada mereka yang “keras” itu.
Mereka harus berani keluar kandang, berargumen dengan ilmu. Bukan hanya nyaman ngopi dan nongkrong dengan sesama nahdliyin yang pemahaman agamanya sudah sama (walau diakui, hal ini memang nikmat). Keluarlah ke medan “tempur” memerangi radikalisme. “Rebut” kembali masjid-mesjid dan mushola dari mulai yang dikampung-kampung, hingga yang di lingkungan masyarakat Urban perkotaan oleh para pemuda-pemuda NU dan alumni-alumni pondok. Butuh dana? Bukankah Negara sekarang sedang mesra dengan NU? Bahkan Menteri Agama adalah juga komandan Ansor. Tak usah malu minta dana. Kalau pemerintah lagi seret, bukankah para konglomerat dan korporasi yang non muslim pun banyak yang bersimpati dengan NU dan memang amat berkepentingan dengan kestabilan dan kebhinekaan?.
Tak usah malu-malu. Karena yang kita “perangi” memang dananya juga besar sekali di hulunya. Fatayat dan Muslimat NU juga harus bergerak “menyadarkan” para perempuan yang masih planga-plongo menjadi istri para radikalis karena akhir-akhir ini perempuan juga dijadikan sasaran cuci otak untuk menjadi kombatan dan martir. Bayangkan pemahaman ini sudah diturunkan ke anak-anaknya. Belum lagi mereka yang megajak seluruh keluarga untuk melakukan bom bunuh diri, dilakukan dengan senang layaknya mau pergi piknik ke kebun binatang.
Milenial NU yang jago dan melek IT dan Medsos harus masuk ke kantong-kantong medsos para radikalis. Tak akan banyak berguna kalau medsos hanya menjadi ekslusif diisi follower orang NU saja. Akan keren dan seru kalau medsos mereka kita kacaukan dengan argument-argumen ilmu agama dengan tetap dilakukan dengan adab karena bukan megalahkan lawan berdebat yang menjadi tujuan, tapi menarik follower “pasif” mereka yang harus dimenangkan. TELEGRAM adalah sarana favorit mereka dalam berkomunikasi.
Entahlah mungkin saya hanya bermimpi di siang bolong. Tapi untung saya masih bisa bermimpi walau dibom kiri-kanan.