Pro Kontra Sertifikasi Ulama; Refleksi Bagaimana Idealnya Menjadi Seorang Ulama

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Imam Wahyudi

Perubahan sikap dan prilaku kalangan ormas dan Tokoh agama di Indonesia membawa konsekuensi logis terhadap pandangan masyarakat terhadap keterlibatan kaum panutan ummat dalam kegiatan lingkaran politik. Keadaan realistik ini tidak bisa dipungkiri dengan semakin banyaknya Tokoh-tokoh agama yang terlibat secara aktif dalam kegiatan politik, begitu juga ormas-ormas Islam melakukan kegiatan yang mengarah pada kepentingan politik.
Menurut Menteri Agama Fachrul Razi muncul wacana sertifikasi ulama berdasarkan gagaan organisasi masyarakat Islam dan sejumlah tokoh. Katanya lagi “Pemerintah melalui Kementerian Agama hanya memfasilitasi saja aspirasi yang berkembang”. Mereka ingin agar pemerintah ikut hadir menjamin kualitas mutu dakwah lantaran dirasa ada yang melenceng dari syariat. Padahal dakwah islamiyah adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dan menjadi kewajiban para pemuka agama. Untuk itu perlu dibuat batas minimal kompetensi yang dimiliki seorang ulama. Pemerintah tidak mengatakan, yang tidak bersertifikasi atau berstandarisasi kemudian tidak boleh dakwah, karena pemerintah tidak mempunyai domain melarang.
Sertifikasi menjadi penting untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi ulama dari apek materi maupun metodologi. Namun program tersebut harus bersifat sukarela bukan keharusan yang memiliki konsekwensi hukum. Sebab melaksanakan tugas dakwah, hakekatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang yang memang menjadi perintah agama. Ulama dan mubalig dinilai harus memiliki standarisasi dan bisa dipertanggung jawabkan secara akademisi. Tidak hanya dapat dilihat dari jam terbang dan posisinya dimasyarakat bagaimana tetapi juga dari sanad keilmuannya.
Oleh karena itu Mukti Ali dalam bukunya Agama dan Pembaharuan (1987:22) mengatakan bahwa agama dapat berfungsi sebagai motivasi dan etos pembangunan. Selain itu agama juga dapat berfungsi sebagai alat pemersatu atau sumber perpecahan dalam masyarakat.
Pada era demokrasi saat ini kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun kelompok. Tidak terkecuali para tokoh agama di dalam menyampaikan dakwahnya di tengah-tengah masyarakat.
Dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat ada kalanya disampaikan secara santun dan ada kalanya secara keras. Di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang artinya “Hendaklah ada di antara kamu ummat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang melakukan perbuatan salah. Mereka itulah orang yang beruntung”. Kemudian firman Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 125 menegaskan sebagai berikut: Artinya: “Ajaklah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan berdiskusilah dengan mereka secara baik…”
Berdasarkan firman Allah Swt tersebut jelas bagi kita bahwa di dalam menyampaikan sesuatu kepada orang lain terutama menyerukan ajaran Tuhan hendaklah di sampaikan dengan kebijaksanaan sehingga apa yang disampaikan akan dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Akhir-akhir ini para ulama dianggap oleh pemerintah tidak lagi menyampaikan dakwahnya secara bijaksana sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah di dalam berdakwah. Para ulama dianggap lebih mengedepankan unsur sara, mengumbar kebencian dan mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan lagi peran ulama kepada khittohnya maka pemerintah melalui Kementrian Agama mengusulkan atau mewacanakan agar para ulama dalam berdakwah kepada masyarakat harus memiliki sertifikasi ulama yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama.
Kebijakan pemerintah ini menuai pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Ada yang beranggapan langkah pemerintah terlalu berlebihan dan megekang kebebasan para ulama dalam berdakwah. Serta menganggap latar belakang wacana Sertifikasi Ulama ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga dakwah Islam tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap rezim.
Secara garis besar sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang ulama ada dua: Pertama, Berakhlak Mulia. Kedua, Keteladanan. Menurut Al-Ghazali yang dikutip oleh Zainuddin dkk, bahwa kriteria-kriteria keteladanan ulama antara lain: 1) Sabar, 2) Bersifat kasih dan tidak pilih kasih, 3) Sikap dan pembicaraannya tidak main-main, 4) Menyantuni serta tidak membentak orang yang bodoh, 5) Membimbing dan mendidik masyarakat yang bodoh dengan sebaikbaiknya, 6) Bersikap tawadu’ dan tidak takabur, 7) Menampilkan hujjah yang benar.
Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk prilaku. Cara yang cukup efektif dalam pembinaan akhlak adalah melalui keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, intruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang ulama mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu.
Dari sini masalah keteladanan menjadi faktor penting baik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Ulama sebagai pendidik hendaklah dapat memberikan contoh yang baik dari dirinya sendiri, jangan hanya memberikan pengarahan dan nasihat semata, sementara. ia sendiri tidak mengamalkannya. Dalam hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran surat Ash-shaff ayat 3: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. (QS. Ash-shaff: 3).
Sertifikasi ulama, terdapat dua kelompok pro dan kontra. Kelompok yang pro (mendukung di berlakunya sertifikasi ulama) beranggapan untuk saat ini, sudah sepantasnyalah diterapkan sertifikasi ulama karena ulama adalah pewaris para Nabi dan Rasul Allah, oleh sebab itu, dalam berdakwah hendaknya disampaikan secara bil hikmah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 sebagai berikut:
ولتكن ّمنكم ا ّمة يّدعون الى الخير وياْ مرون بالمعروف وينهون عن المنكر, واولئك لهم عذاب عظيم.
Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu ummat yang mengajak kepada kebaikan, menyeru mengerjakan yang benar dan melarang melakukan kejahatan. Mereka itulah orang yang beruntung”.
Kemudian firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125 sebagai berikut:
أدع الى سبيل ربّك بالحكمة والمو عظة الحسنة وجاد لهم با لّتى هى احسن, ا ّن ربّك هو اعلم بمن ض ّل عن سبيله وهو اعلم با لمهتدين
Artinya: “Ajaklah mereka kepada jalan Tuhan dengan bijaksana, pengajaran yang baik, dan berdiskusi atau bertukar pikiranlah menurut cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan kau lebih tahu siapa yang tersesat jalannya, dan Dialah lebih tahu pula orang-orang yang menuruti jalan yang benar”.
Karena sifatnya mendidik maka yang dididik adalah ulama itu sendiri. Karena seorang ulama tidak terlihat dari ilmunya tetapi dilihat dari perbuatannya. Allah Swt berfirman dalam surat at-Tahrim ayat 6 berikut ini:
يايها الّذين امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
Masih menurut Al-Ghazali bahwa “antara seorang ulama dengan anak didiknya bagaikan tongkat dengan bayangbayangnya. Bagaimanakah bayang-bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.” Hal ini mengisyaratkan, bahwa jika ulama berakhlak mulia, maka anak didik terbentuk dengan akhlak mulia.
Oleh sebab itu, penerapan sertifikasi ulama hendaknya dapat mengembalikan kembali arti dari ulama itu sendiri. Seorang yang berakhlak mulia, karismatik, luas ilmu agamanya, tidak memikirkan kehidupan duniawi (zuhud). Kalau inti tujuan dari penerapan dari sertifikai ulama maka masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat relijius bebas dari kepentingan politik dan kelompok.
Dapat disimpulkan bahwa respon masyarakat terhadap sertifikasi ulama adalah karena banyak ulama yang dalam berdakwah cenderung terlalu keras dalam berbicara sedangkan dalam berbicara hendaknya dengan lemah lembut sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bila pemerintah ingin mengsertifikasikan ulama dengan tujuan untuk membina ulama tidak menjadi persoalan, agar para ulama dapat memberikan pesan kedamaian kepada kelompok lain yang bedah agama maupun kelompok yang tidak sepahaman dengan mereka. Namun program tersebut harus bersifat sukarela bukan keharusan yang memiliki konsekwensi hukum. Sebab melaksanakan tugas dakwah, hakekatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang yang memang menjadi perintah agama. Diharapkan pula pemerintah membina terlebih dahulu para ulama yang ingin berdakwah kepada masyarakat bukan memberikan sangsi kepada ulama. Akar permasalahannya adalah adanya bentuk kekecewan di kalangan para ulama terhadap pemerintah yang terkesan untuk menekan sedemikian rupa dakwah Islam sehingga tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap rezim.

(Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Malang, dan saat ini tengah proses penyelesaian Disertasi)

Artikel ini telah dimuat pertamakali di NUPEDIA.ID

 

diunggah oleh:

Picture of Aswaja Dewata

Aswaja Dewata

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »