ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Wandi Abdullah
Pemilu 2024 sebentar lagi. Partai politik maupun calon yang akan berkontestasi sudah mulai sibuk bergerak mencari suara dengan mendekati masyarakat. Setiap partai ataupun calon memiliki perhitungan tersendiri, terutama hitungan basis suara yang dimilikinya. Misal dari kekuatan keluarga, kekuatan relasi organisasi, sampai kekuatan ras, suku dan agama.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menakar potensi suara Muslim di Bali. Yang khususnya untuk suara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Dapil Bali dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Dapil Bali. Pertama, kita mulai dari jumlah penduduk Muslim di Bali. Menurut sensus penduduk tahun 2022, penduduk Muslim 432,25 rb atau 10,08% dari total penduduk Bali yang berjumlah 4,29 jt.
Jika dikrucutkan pada suara hak pilih, dari 4,29 jt penduduk Bali menjadi 3.220.479 yang memiliki suara hak pemilih. Kalau dikiaskan pada suara Muslim yang berjumlah 432,25 rb , kira-kira suara hak pilihnya 350.000.
Berlandas dari perkiraan data jumlah pemilih Muslim di atas, mungkinkah Muslim menambah kursi 1 lagi untuk DPD, dan meraih 1 kursi DPR RI?
Sebelumnya, mari kita bahas kursi DPD. Saat ini, Muslim memiliki perwakilan DPD RI, H. Bambang Santoso dengan meraih suara 126.000 atau 29,1% dari jumlah suara Muslim. Sebuah sejarah, karena ini yang pertama Muslim menjadi DPD RI di Bali. Suara H. Bambang di DPD diurutan ke 4, ke tiga, A.A Gde Agung 227.439, kedua, Made Mangku Pastika 264.845, pertama, I GN Arya Wedakarna 728.516.
Kembali kepertanyaan dua kursi Muslim, mungkinkah? Hemat penulis, target ini perkara sulit, bahkan sangat sulit. Sederhananya, suara Muslim hanya 10,08% dari total penduduk Bali. Sedangkan kursi DPD ada 4 kursi. Pastinya suara mayoritas akan lebih banyak.
Hitungan lebih detailnya, dari perkiraan 350rb pemilih Muslim, jika dibagi dua menjadi 175rb/orang. Sedangkan mengacu pada hasil suara DPD tahun 2019, peraih kursi ketiga 200rb lebih, artinya harus melebihi suara 200rb bagi calon Muslim yang ingin meraih kursi ke tiga.
Inipun jika suara Muslim solid disalurkan kepada calon Muslim, namun pastinya suara Muslim akan terbagi ke calon diluar Muslim. Seperti yang terjadi tahun 2019, H. Bambang meraih 126.100, padahal H. Bambang calon satu-satunya dari Muslim kala itu. Berarti sisa suaranya kemana? Jawabannya menyebar ke calon lain. Artinya apa? Dalam hitung-hitungan hal semacam ini tidak bisa memastikan suara muslim yang diperkirakan 350rb akan tersalurkan penuh ke calon Muslim. Maka sekali lagi, menargetkan dua kursi dari Muslim hal yang sangat tidak realistis.
Lain lagi persoalannya jika targetnya bukan nambah kursi, melainkan mengganti perwakilan/orangnya. Maka salah satu calon harus mendominasi suara yang ada atau lebih banyak, namun jika masih imbang meraih 175rban dari estimasi suara 432,25rb dibagi 2 bukan malah untung, namun buntung.
Dan hemat penulis, jika suara Muslim tidak solid dengan ditunjukkan lebih dari satu calon Muslim yang berkontestasi pada kursi DPD, yang ada tidak akan mendapat apa-apa. Tapi ini hanya analisa mentah.
…….
Potensi Suara NU di Bali
Namun yang harus dipahami juga, Muslim di Bali ini masih terbagi. Ada sekian aliran yang berbeda-beda. Sebut saja ada NU, Muhammadiyah, dll. Tapi saya akan membahas Muslim yang mayoritas, yakni NU. Kabarnya, NU menguasai 80% dari total penduduk Muslim di Bali. Ada juga yang menyebutnya suara pemilih NU 130-150 rb. Namun bicara NU dan Kekompakan dalam berpolitik praktis perkara yang tidak sederhana. Apalagi instruksi PBNU yang membebaskan warganya menjatuhkan pilihan politik. Namun jika potensi suara NU bisa dimaksimalkan, bukan hal yang tidak mungkin ini peluang besar.
Yang jadi pertanyaan, bagaiamana bisa mensolidkan warga NU untuk memilih satu calon dari NU sendiri? Kontestasi Pilpres 2019 mungkin bisa jadi cerminan, walaupun itu masih tidak 100% warga nu memilih pasangan Bapak Jokowi & Kiai Ma’ruf. Namun sebagai ukuran kekompakan dan kekuatan NU, 2019 bisa dijadikan cerminan. Mengapa itu bisa terbangun? Pertama, secara isu yang muncul, bahwa gerakan radikal semakin meluas. Butuh figur yang moderat, akhirnya muncullah Kiai Ma’ruf sebagai calon presiden.
Kedua, yang diusung dari NU tidak nanggung, baik eksistensinya di struktur, ataupun kultur. Sosok ulama, dan Rais Aam. Selain tradisi di NU, dauh/perintah guru sangat melekat pada santri/muridnya/warga NU. Mungkin ini bisa jadi cerminan pergerakan NU di Bali, bahwa yang diusung dari orang berpengaruh, bisa menggerakkan, dan dihormati, baik secara struktur dan kultur. Akan tetapi, jika NU masih terbelah, tidak satu komando, dengan jumlah suara pemilihnya yang cuma sekitar 13-15rb hal yang sangat sulit untuk meraih kursi DPD.
Selanjutnya kita bahas kursi DPR RI. Dengan pertanyaan yang sama, mungkinkan suara Muslim bisa meraihnya?
Sangat bisa dan sangat berpotensi. Bagaimana caranya? Pertama, Muslim memiliki modal suara yang cukup besar untuk ukuran meraih kursi DPR RI, jumlah kursi DPR RI Dapil Bali ada 9. Saat ini, dari PDIP 6, Golkar 2, Demokrat 1. Untuk mempersimple hitungan, kita lihat kursi terakhir, yakni 114.326.
Jadi anggap, Muslim memiliki suara pemilih 300rb saja, atau 250rb, itu sudah lebih. Namun yang mesti diperhatikan pada kontestasi DPR RI juga soal cara menghitungnya. Saat ini, hitungannya bukan perorang dapat berapa, namun kumulatif suara calon ditambah suara partai. Lalu di bandingkan dengan hasil suara di masing-masing partai yang berkontestasi. Selanjutnya dihitung dengan cara pembagain ganjil, istilahnya sistem Sainte Lague.
Misal, suara partai yang berkontestasi ada 3. Partai A mendapat 10.000 dari suara keseluruhan dari suara calon dan suara partai. Partai B 12.000. Partai C 15.000.
Pertama, dari tiga partai ini di bagi 1 masing-masing. Siapa lebih tinggi dia yang mendapat kursi 1. Selanjutnya dibagi 3, terus dibagi hitungan ganjil, 5, 7, 9 sampai jumlah 9 kursi terpenuhi. Secara sistem penghitungannya penulis cukupkan disini, saya rasa saudara-saudari cukup memahami, jika belum, bisa mencari info tambahan.
Bicara kontesk suara partai di Bali hasil pemilu 2019, pertanyaan pertama, mungkinkah partai yang berbasis Islam meraih Kursi DPR RI? Pertanyaan kedua, lewat partai manakah peluang yang besar untuk meraih kursi DPR RI bagi calon Muslim?
Menjawab pertanyaan pertama, penulis rasa partai berbasis Islam peluangnya kecil dan cukup berat jika melihat hasil suara kursi terakhir DPR RI, 114.326 (PDIP). Sebab, hasil suara partai berbasis Islam di Bali jauh dari angka itu.
Rinciannya :
PKB : 49.695
PKS : 39.024
PPP : 12.195
PAN : 8. 136
PBB : 2.445
Dari data diatas, yang lumayan mendekati PKB. Iya nambah lagi 10rban mungkin baru dapat. Namun bicara politik memang, suara bisa naik dan turun/berubah-rubah. Artinya, maju melalui Partai berbasis Islam butuh kerja keras dan calon-calon yang super.
Lalu, dari Partai mana yang berpeluang lolos calon Muslim? Jelas dari Partai nasionalis, tapi penulis mengecualikan dua partai, yakni PDIP dan Golkar. Mengapa? Keduanya sudah meraih jatah, maju lewat partai keduanya mungkin saja potensi nambah kursi agak susah, sekalipun mau mengganti orang, itupun cukup berat karena persaingan internal. Sedangkan melalui Partai Demokrat yang sudah memiliki satu kursi, untuk nambah juga sangat berat, mengingat perolehan suaranya 118.830.
Yang berpotensi hemat penulis Gerindra dan Nasdem. Gerindra mengantongi suara 109.600, berarti kurang lagi suara 4.726 untuk menyamai suara kursi DPR RI terakhir atau yang ke sembilan. Sedangkan Nasdem, meraup suara 102.966, kurang lagi 11.360. Artinya apa? Bergabung ke dua partai di atas ini lebih ringan dibanding yang lain, terutama di Partai Gerindra karena hanya butuh 4.726 suara tambahan. Namun sekali lagi, jika kiblat hitungannya pada hasil pemilu sebelumnya. Semua bisa berubah. Sebab masing-masing partai dan calon memiliki dinamika dan strategi tersendiri.
Akhirnya, penulis mohon maaf jika banyak data yang keliru atau analisis yang dirasa dangkal. Ini hanya pendapat pribadi sebagai bagian dari berbagi. Kritik dan saran penulis sangat terbuka.
Salam politik rasional.