Etika Berpolitik Praktis dalam Konteks Pemilihan Pemimpin

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Deskripsi Masalah

Setiap musim pemilihan, masyarakat dihadapkan pada situasi membingungkan. Satu sisi mereka harus memilih, sementara di sisi lain mereka tidak mengetahui pasti calon yang layak dipilih. Informasi yang beredar susah dipercaya kesahihannya karena pihak yang pro dan kontra saling menyebar info calon yang bersebrangan. Disamping itu, sosialisasi dan memperkenalkan diri kepada masyarakat pemilih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain biaya operasional tersebut, para calon juga harus siap mengeluarkan biaya untuk mempengaruhi masyarakat agar memilihnya.

Pertanyaan

a. Apa kriteria pemimpin yang layak dipilih yang dapat dijadikan pedoman untuk para pemilih?

b. Bagaimana pandangan Islam tentang ijtihad dan taqlid dalam konteks pemilihan?

c. Bagaimana hukum calon memberi biaya-biaya itu dan masyarakat menerimanya?

d. Bagaimana etika berkampanye menurut Islam?

Jawaban:

Terkait soal pemilihan pemimpin, al-Mawardi membagi elit masyarakat muslim menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok ahl al-imamah, yakni kelompok elit yang memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin mencakup kapabilitas dan integritasnya. Kedua, adalah kelompok ahl al-ikhtiyar, yakni elit yang memiliki kapasitas untuk memilih pemimpin. Masing-masing memiliki syarat tertentu.

Syarat pemimpin yang pokok ada dua. Al-Quwwah dan al-amanah. Integritas dan kapabilitas. Secara terperinci al- mawardi menyebutkan syarat-syarat pemimpin sebagai berikut: sebagaimana di kitab

[1] ‘Adalah dengan syarat-syaratnya, diantaranya tidak pernah melakukan dosa besar, seperti kejahatan kemanusiaan, korupsi, atau sering melakukan dosa kecil. [2] Pengetahuan yang mumpuni [3] Sehat jasmani [4] Piawai dalam urusan politik [5] Memiliki kekuatan untuk menjaga stabilitas dan keamanan [6] Jelas track record dan asal usul nasabnya [7] mengakui keabsahan NKRI dengan pancasila sebagai dasar negara [8] punya komitmen untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum.

Diantara syarat ahl al-ikhtiyar adalah memiliki pengetahuan dan kearifan. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan terhadap kualitas calon yang hendak dipilih. Sedangkan yang dimaksud dengan kearifan adalah kemampuan untuk memilih yang terbaik diantara calon yang ada. Ini artinya, tidak semua warga negara punya kapasitas atau hak untuk memilih pemimpin.

Apa yang disampaikan oleh al-Mawardi tentang ahl al-ikhtiyar mengisyaratkan pada konsep demokrasi perwakilan, seperti yang dirumuskan dalam Pancasila pada sila keempat.

Dalam realitasnya, Indonesia telah menerapkan demokrasi langsung, dimana semua warga negara yang mencapai usia tertentu diberi hak untuk memilih pemimpin. Syarat ahl al-ikhtiyar yang dirumuskan oleh al-Mawardi, sejatinya adalah syarat ideal bagi para pemilih yang berada pada tingkatan mujtahid dalam urusan politik. Sehingga mereka harus memilih berdasarkan hari nurani dan penilaian masing-masing. Jika syarat ini harus dipenuhi, maka sekurang-kurangnya harus ada bimbingan khusus kepada warga negara yang mempunyai hak pilih agar mereka memiliki wawasan sehingga tidak tertipu dengan informasi yang menyesatkan. Bila masyarakat tidak mampu mendapatkan wawasan tentang kualitas calon, maka ia harus merujuk pada panutan yang dipercaya telah mencapai taraf mujtahid dalam bidang politik.

Menjatuhkan pilihan di bilik suara adalah salah satu bentuk kesaksian (شهادة). Artinya, orang yang memilih calon tertentu, pada hakikatnya bersaksi bahwa orang yang ia pilih memang berhak untuk dipilih atau merupakan pilihan terbaik. Dengan demikian, jika pilihannya tidak didasarkan pada pengetahuan yang ia miliki, maka statusnya sama dengan melakukan kesaksian palsu (شهادة الزور). Jika dia golput, yakni tidak ikut memilih padahal di antara calon yang tampil ada yang seharusnya dimenangkan, berarti dia telah menyembunyikan kesaksian (كتمان الشهادة).

Warga negara yang memiliki hak pilih di sebuah negara demokrasi memiliki posisi yang sangat strategis, sebagaimana posisi hakim di pengadilan, karena sukses atau tidaknya seorang calon bergantung pada pilihan rakyat. Oleh karena itu, sedekah politik (money politics) yang kerap diterima oleh masyarakat pemilih yang diyakini atau diduga kuat dimaksudkan untuk memengaruhi pilihan mereka, statusnya adalah risywah. Hal ini sama dengan pemberian yang diterima oleh hakim pengadilan dari rakyat yang ada di wilayahnya. Dalam kaitan ini Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم رجل لعلى فضل ماء بالطريق يمنع منه ابن السبيل ورجل بايع إماما لا يبايعه إلا لدنياه إن أعطاه ما يريد وفى له وإلا لم يف …الحديث رواه البخاري

Al Ghazaly berkata di dalam kitab:

إحياء علوم الدين (2/ 155)

الخامس أن يطلب التقرب إلى قلبه وتحصيل محبته لا لمحبته ولا للأنس به من حيث إنه أنس فقط بل ليتوصل بجاهه إلى أغراض له ينحصر جنسها وإن لم ينحصر عينها وكان لولا جاهه وحشمته لكان لا يهدي إليه فإن كان جاهه لأجل علم أو نسب فالأمر فيه أخف وأخذه مكروه فإن فيه مشابهة الرشوة ولكنها هدية في ظاهرها فإن كان جاهه بولاية تولاها من قضاء أو عمل أو ولاية صدقة أو جباية مال أو غيره من الأعمال السلطانية حتى ولاية الأوقاف مثلاً وكان لولا تلك الولاية لكان لا يهدي إليه فهذه رشوة عرضت في معرض الهدية.

Sementara cost politik adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh peserta pemilu seperti biaya sosialisasi, transportasi, pemasangan banner dan lain sebagainya. Dalam hal ini, bila sebagian anggota masyarakat dipekerjakan oleh peserta pemilu (kontestan), maka uang yang ia terima dapat dikategorikan sebagai upah kerja yang legal.

Refrensi:

{وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72)} [الفرقان: 72]

 ولا تكتموا الشهادة، ومن يكتمها فآنه آثم قلبه.

الأحكام السلطانية للماوردي (ص: 17)

وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهَا أَحَدٌ خَرَجَ مِنَ النَّاسِ فَرِيقَانِ: أَحَدُهُمَا: أَهْلُ الِاخْتِيَارِ حَتَّى يَخْتَارُوا إمَامًا لِلْأُمَّةِ. وَالثَّانِي: أَهْلُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ أَحَدُهُمْ لِلْإِمَامَةِ، وَلَيْسَ عَلَى مَنْ عَدَا هَذَيْنِ الْفَرِيقَيْنِ مِنَ الْأُمَّةِ فِي تَأْخِيرِ الْإِمَامَةِ حَرَجٌ وَلَا مَأْثَمٌ، وَإِذَا تَمَيَّزَ هَذَانِ الْفَرِيقَانِ مِنَ الْأُمَّةِ فِي فَرْضِ الْإِمَامَةِ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ كُلُّ فَرِيقٍ مِنْهُمَا بِالشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهِ.

فَأَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِيهِمْ ثَلَاثَةٌ: أَحَدُهَا: الْعَدَالَةُ الْجَامِعَةُ لِشُرُوطِهَا. وَالثَّانِي: الْعِلْم الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِهِ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ عَلَى الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهَا. وَالثَّالِثُ: الرَّأْيُ وَالْحِكْمَةُ الْمُؤَدِّيَانِ إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ، وَبِتَدْبِيرِ الْمَصَالِحِ أَقْوَمُ وَأَعْرَفُ.

الأحكام السلطانية للماوردي (ص: 19)

وَأَمَّا أَهْلُ الْإِمَامَةِ فَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِيهِمْ سَبْعَةٌ:

أَحَدُهَا: الْعَدَالَةُ عَلَى شُرُوطِهَا الْجَامِعَةِ.

وَالثَّانِي: الْعِلْمُ الْمُؤَدِّي إلَى الِاجْتِهَادِ فِي النَّوَازِلِ وَالْأَحْكَامِ

وَالثَّالِثُ: سَلَامَةُ الْحَوَاسِّ مِنْ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَاللِّسَانِ؛ لِيَصِحَّ مَعَهَا مُبَاشَرَةُ مَا يُدْرَكُ بِهَا.

وَالرَّابِعُ: سَلَامَةُ الْأَعْضَاءِ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ عَنِ اسْتِيفَاءِ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةِ النُّهُوضِ

وَالْخَامِسُ: الرَّأْيُ الْمُفْضِي إلَى سِيَاسَةِ الرَّعِيَّةِ وَتَدْبِيرِ الْمَصَالِحِ

وَالسَّادِسُ: الشَّجَاعَةُ وَالنَّجْدَةُ الْمُؤَدِّيَةُ إلَى حِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَجِهَادِ الْعَدُوّ

وَالسَّابِعُ: النَّسَبُ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مِنْ قُرَيْشٍ

روضة الناظر وجنة المناظر (2/ 145)

فصل: [طرق الاجتهاد في إثبات العلة]

والاجتهاد في العلة على ثلاثة أضرب: تحقيق المناط للحكم، وتنقيحه، وتخريجه.

أما تحقيق المناط1، فنوعان: أولهما: لا نعرف في جوازه خلافًا. ومعناه: أن تكون القاعدة الكلية متفقًا عليها، أو منصوصًا عليها، ويجتهد في تحقيقها في الفرع. ومثاله: قولنا: “في حمار الوحش: بقرةٌ” لقوله تعالى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} 2 فنقول: “المثل واجب، والبقرة مثل، فتكون هي الواجب”.

فالأول: معلوم بالنص والإجماع، وهو: وجوب المثلية في البقرة.

أما تحقيق المثلية في البقر، فمعلوم بنوع من الاجتهاد. ومنه الاجتهاد في القبلة فنقول: وجوب التوجه إلى القبلة معلوم بالنص، أما أن هذه جهة القبلة: فيعلم بالاجتهاد.

وكذلك تعيين الإمام، والعدل، ومقدار الكفاية في النفقات ونحوه. فليعبر عن هذا بتحقيق المناط، إذ كان معلومًا، لكن تعذر معرفة وجوده في آحاد الصور، فاستدل عليه بأمارات.

روضة الناظر وجنة المناظر (2/ 146)

يعني: أن نصب الإمام والوالي والقاضي واجب، لكن تعيين فلان أو فلان من الناس لهذه المناصب موكول إلى اجتهاد أهل الحل والعقد في ذلك.

المجموع شرح المهذب (20/ 150)

اتفقوا على تحريم الرشوة على قضاء بحق أو باطل أو تعجيلا لقضاء بحق أو باطل.

 

 

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »