Saturday 27th April 2024,

Puasa di Daerah Minoritas Muslim, Bagaimana Rasanya?

Puasa di Daerah Minoritas Muslim, Bagaimana Rasanya?
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Istimewa! Iya, itu jawaban dari pertanyaan judul diatas. Lalu pembaca akan mengejar bertanya, bagaimana bisa?

Pertama, ucapan “Selamat menunaikan ibadah puasa” terus bergiliran selama bertemu dengan saudara-saudara yang non muslim. Dan saat beraktifitas bersama, ketika hendak makan dihadapan saya, kalimat “maaf” senantiasa menyertai sebagai bentuk penghormatan.

Saya pun bersikap sebaliknya, tetap berdiam diri tidak beranjak pergi seakan hal itu seperti biasa terjadi agar tidak mengganngu suasana.

Dan ketika hendak menjelang buka puasa, mereka tidak jarang turut serta memikirkan makanan apa yang akan saya santap.

“Mau makan apa?,” tanya kawan disaat hendak mentraktir makan.

“Hari ini kita mengikuti makanan yang diinginkan Wandi, karena dia sedang berpuasa,” katanya memutuskan.

Secara manusiawi, penghargaan itu sangat menyentuh hati. Bukan soal menu makanan, tapi soal cara menghargai orang yang berpuasa.

Keistimewaan lainnya dapat terlihat saat melaksanakan Shalat Tarawih. Dibeberapa Masjid, Mushalla, tak jarang terlihat pecalang (Kemanan Desa Adat Bali) turut serta membantu menertibkan parkir, mengatur lalu lintas, menjaga keamanan kendaraan.

Bagaimana dengan Ngaji Qur’an atau istilah yang lebih lumrah “Tadarrus” di Bali dengan memakai pengeras suara?

Menjawab pertanyaan ini saya rasa perkataan tokoh masyarakat (hindu) di Kuta Selatan, Badung. “Kami sudah terbiasa dengan suara di Masjid ini, dan sama sekali tidak mengganggu,” katanya kala itu ketika mewancarai tentang toleransi diwilayah Masjid Al Fatah yang kebetulan rumah beliau bersebalahan.

Demikian gambaran toleransi saat Ramadhan di Bali. Semoga bermanfaat.

Salam Toleransi.

Oleh: Wandy Abdullah, Ketua LTNNU Badung

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »