ASWAJADEWATA.COM | DENPASAR
Senator DPD RI Arya Wedakarna kembali menjadi topik hangat setelah video yang memperlihatkan Arya sedang memarahi kepala Kanwil Bea Cukai Bali Nusa Tenggara, kepala Bea Cukai Bandara I Gusti Ngurah Rai, dan pengelola bandara beredar luas di media sosial (29/12/2023).
Agus Samijaya selaku salah satu Ketua MUI Bali yang membidangi hukum menduga ini hanyalah komoditas politik dari Arya Wedarkana. Jadi, dia meminta masyarakat Bali jangan terpancing dan tetap menjaga kerukunan serta toleransi beragama.
“Saya melihat sosok Arya Wedakarna ini mencari sensasi asal beda atau apa? Atau memang dia anggap itu komoditas politik untuk meningkatkan elektoral menjelang 2024. Jadi dia pakai jualan (Politik) gitu. Jika benar ini digunakan untuk jualan meningkatkan citra di politik, tentu sangat disayangkan dengan menggunakan isu-isu yang sensitif. “Sikap-sikap diskriminatif, intoleran harusnya lenyap dari bumi Indonesia,” ujarnya.
Viralnya pernyataan dari Arya Wedakarna ini tak terlepas dari video yang memperlihatkan Arya sedang memarahi kepala Kanwil Bea Cukai Bali Nusa Tenggara, kepala Bea Cukai Bandara I Gusti Ngurah Rai, dan pengelola bandara.
Dalam video tersebut, Arya terdengar menginginkan agar pegawai asli Bali ditempatkan di meja depan (front line)untuk melayani wisatawan daripada pegawai yang memakai hijab. Ucapan ini dianggap merendahkan dan menyinggung pakaian beragama Islam, khususnya hijab yang dikenakan oleh pegawai.
“Saya gak mau yang front line, front line itu, saya mau yang gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan terbuka. Jangan kasih yang penutup, penutup gak jelas, this is not Middle East (Timur Tengah). Enak aja Bali, pakai bunga kek, pake apa kek,” begitu ucap Arya Wedakarna dalam video tersebut.
Selain Agus Samijaya, reaksi atas ucapan Arya tersebut juga datang dari Prof. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia yang juga dosen di Monash University.
Dikutip dari akun instagram pribadinya, Gus Nadir sapaan akrabnya mengatakan bahwa memang belakangan Arya telah melakukan klarifikasi bahwa ucapannya itu tidak ditujukan kepada agama tertentu.
“Tapi jelas dari kalimatnya dia menyinggung jilbab. Dan di situ kesalahannya. Kalau beliau hanya ingin putera/i daerah diprioritaskan, boleh-boleh saja, tapi tanpa harus bersikap diskriminatif kepada petugas Bandara lainnya.
Jangan memaksakan keyakinan kepada orang lain dengan mengancam soal pekerjaan di fasilitas negara”, tulisnya.
“Apa tidak ada kemungkinan orang daerah Bali yang muslimah? Ada, dan banyak. Mereka juga asli Bali dan mereka berhak diprioritaskan tanpa diskriminasi menjalankan ibadah/kepercayaannya. Mereka pun bisa tetap menampilkan budaya Bali”, lanjut Gus Nadir.
Menurutnya, ucapan Arya ini telah mengacaukan konsep budaya, agama dan kedaerahan. Bali bukan cuma milik orang Bali dengan tradisi dan agamanya. Bali milik bangsa Indonesia. Begitu juga daerah lainnya. Masing-masing dibenarkan memiliki ciri khas, tapi tidak perlu bersikap diskriminatif menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang lain.
“Di tahun politik ini, kita harus jaga kebhinnekaan kita. Jangan lagi ada tokoh yang mencoba membenturkan budaya dengan agama atas nama kekhasan daerah”, pesannya.
Tidak hanya kalangan muslim yang merasa gerah dengan ucapan Arya. Tokoh aktivis perempuan Bali Ni Luh Djelantik juga di akun instagramnya turut menyesalkan sikap anggota DPD RI asal Bali yang mantan anggota boy band FBI itu.
“Jika kamu ingin frontliner di bandara pake bunga pake bija (Butir beras yang disematkan di kening) ya silakan sampaikan dengan padat singkat jelas. Petugas beacukai sudah mengakui kesalahannya. Fokus pada kualitas pelayanan publik. Mengapa jadi melebar kemana-mana menyinggung penutup kepala dan middle east ?????? Ngapain pakai kata tamiu (tamu pendatang) tinggal di Bali sementara cari makan? Kamu tau kan kalau banyak orang Bali merantau ke luar Bali ? Kamu paham kan banyak orang Bali tinggal dan kerja di Middle East?”, tulisnya.
“Sedih banget baca komen-komen masyarakat yang merasa tersakiti oleh pernyataanmu. Kami yang susah payah menjaga toleransi sekarang ikut kena getahnya”, tutup Ni Luh.
Editor: Dadie W. Prasetyoadi