Risalah Al Farabi; Jejak Musik Modern dan Tarekat

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Yuri Mahatma

Menurut Plato, filsuf Yunani itu, “ Musik menjadikan manusia tahu akan keindahan dan dengan sendirinya membetuk dan mengajak manusia untuk bermoral tinggi” Oleh karenanya masyarakat yang “HANYA” melihat dan menikmati musik sebagai sarana bersenang-senang dan bermaksiat adalah masyarakat bermoral rendah” .

Ibnu Farabi (Abu Nasr Al-Farabi :872-951 M: Ulama/Ilmuwan,Pakar Musik ,Filsuf, ahli Politik, era dinasti Abassiyah ) membagi musik, dalam hal kegunaan dalam beberapa maqamat , yang mana Musik sebagai hiburan, hanyalah salahsatunya saja. Melalui risetnya Al-farabi menggunakan musik sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Khalik, juga sebagai terapy bagi penyakit-penyakit kejiwaan terutama Psikosomatik.

Saya tidak bermaksud untuk menyalin atau menjabarkan satu persatu maqam-maqam musik menurut Al-Farabi dari kitab karya beliau, Karena hal ini sudah banyak dibahas di makalah-makalah yang lebih serius dan akademis. Yang jelas beliau telah ”merumuskan” jenis-jenis musik dan pengaruhnya bagi pendengarnya, hal mana sebenarnya telah dimulai oleh pendahulunya, Al Kindi yang menggunakan terapi musik sebagai pengobatan.

Oleh generasi setelah Al Farabi, salahsatunya yang paling fenomenal, adalah Ibnu Sina. Selain itu musik sebagai media tassawuf juga sekilas dibahas oleh Hujjatul Islam Imam Al- Ghazali dalam  kitab Ihya Ulum ad-dinn nya.

Sebagai musisi, saya lebih tertarik  dengan salahsatu  ke”jeniusan” dan ketelitian beliau terutama dalam hal menjabarkan teori musik, dimana penemuan teory musiknya (dalam kitab karangannya Al Musiqa Al Kabir atau yang di barat disebut The grand Book Of Music) dipakai sebagai landasan penting bagi teori music dunia hingga kini.  Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Ibnu farabi lah yang menemukan system pitch atau solfegio solmisasi do-re-mi-fa-so-la-ti (yang benar adalah” ti”, bukan “si” seperti yang sering kita ucapkan sampai sekarang). Solmisasi ini diambil oleh Ibnu Farabi dari istilah Bahasa Arab yaitu “Durror Mufashala(t)”, yang artinya Mutiara yang Terpisah.

Sekali lagi mari  kita “zoom-in” istilah Bahasa Arab ini “Du -ror -mu-fa-sha-la (t), yang dalam abjad Arab terdiri dari huruf Dal-Ro-Mim-Fa-Shad-lam-Ta menjadi do-re-mi-fa-so-la-ti dalam bahasa atau pengucapan latin. Sebuah system pitch atau solfegio sederhana yang selanjutnya menjadi pijakan perkembangan music dunia. Ada memang sebagian orang yang menganggap bahwa system ini ditemukan oleh Guido Arezzo (tahun 1000M) seorang biarawan katolik, yang menurut para ahli di barat, bunyi do-re-mi berasal dari hymne yang Ia ciptakan. Namun faktanya, dari segi tahun jelas Ibnu Farabi lebih dulu.

Dinamakan Mutiara yang terpisah mungkin karena saat dia menggambarkan notasinya berupa titik atau bulatan dalam garis -garis paranada (seperti dalam notasi balok), terlihat seperti untaian mutiara yang terpisah. Namun dibalik itu beliau juga sadar bahwa Mufassala(t) sendiri memiliki arti yang lebih luas. Salah satunya adalah terperinci atau detail. Dalam  Alqur’an, (mohon koreksi bila saya salah) ada bagian yang dinamakan Mufassala(t) yaitu surat-surat pendek yang terpisahkan dengan banyak kalimat basmallah.

Kemungkinan besar Ibnu Farabi, sebagai pakar dan sekaligus musisi yang juga filsuf dan ahli tassawuf, paham betul bahwa musik sebagai anugrah Allah memliki dampak yang luar biasa dan terperinci sehingga sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ini umum terjadi juga di dunia tassawuf. Orang-orang yang tidak di dunia itu, dan tidak mengalami sendiri kenikmatan atau “ekstase”saat diri merasa begitu dekat dengan sang “kekasih” akan merasa aneh jika melihat metode berbagai aliran Tarekat.

Ini bisa dianalogikan semisal juga para musisi. Kenikmatan seorang musisi saat diri bermusik tidak mudah dijelaskan dan dipahami oleh mereka yang non-musisi dan tidak pernah mengalami sendiri. Pun demikian, semua setuju bahwa Musik bisa berdampak amat positif. Ia bisa menenangkan, memberi semangat, mengobati hingga mempersatukan kekuatan, bahkan menjadi media komunikasi lintas SARA, Ini yang diyakini oleh seorang Ibnu Farabi. Bagaimana sebuah deretan getaran bunyi menjadi nada dalam  keteraturan tertentu didalamnya,  menciptakan keindahan yang dapat mempengaruhi jiwa dan juga sarat nilai-nilai filsofis di baliknya. Dan diatas semua itu, adalah menjadi sarana dalam mengagungkanNya sehingga kerap kita jumpai banyak Tarekat yang menggunakan music sebagai media, bahkan para mursyid pun banyak yang  piawai memainkan alat  musik.

Jauh sebelum Ibnu farabi, bahkan sejak awal peradaban manusia, dipercaya bahwa manusia sudah bermusik baik sebagai expresi jiwa, media pemujaan atau sebagai hiburan dan perayaan, namun perlu digarisbawahi bahwa Ibnu farabi lah peletak dasar bagi teori musik modern dan seiring dengan perkembangan alat musiknya sehingga musik menjadi sedemikian kompleks  seperti yang ada sekarang.  Jadi jelas bahwa sesungguhnya musik modern yang sering diasumsikan sebagai musik barat (musik Kristen, red.) sebenarnya justru berangkat dari pemahaman akan teori dasar yang dicetuskan oleh Ibnu Farabi (dari peradaban Islam).

Ini cukup menggelitik dan menjadi pertanyaan terutama bagi saya sendiri sebagai musisi, terasa ada sesuatu yang salah bila melihat musik-musik Islami kita yang belum jauh beranjak dari melulu “Irama padang pasir”.  sedangkan dunia barat, diawali oleh diterjemahkannya karya Al farabi, Al Musiqa al Kabir oleh seorang yahudi bernama Joseph ben Judah ibn Aknin, pada abad 12, dan selanjutnya  bertubi-tubi  ke dalam Bahasa Lingua Franca di masa itu ( terutama Italia, German, Spanyol Prancis dan Inggris) pasca kejatuhan Dinasti Umayah, jauh lebih mengeksplorasi potensi musik (dan juga ilmu pengetahuan pada umumnya) hingga menjadi seperti sekarang.  Besar kemungkinan ini terjadi karena dalam peradaban Islam masih selalu sibuk dengan polarisasi antara mereka yang membolehkan dan yang mengharamkan seni musik. Bahkan mungkin lebih parah lagi, menganggap musik sama sekali bukan hal penting. Saya yakin Ibnu Farabi sendiri dijamannya pasti mumet dan pening juga melihat kenyataan ini.

Sosok Al farabi, di bidang-bidang keilmuan lainnya juga amat mumpuni, misalnya dalam filsafat, beliau digelari sebagai THE SECOND MASTER setelah Begawan Yunani, Aristoteles oleh dunia barat. Juga dalam bidang Politik dengan karyanya tentang Kota yang Ideal, menjadi pedoman bagi dunia perihal admisnistrasi negara dimasa itu. Namun karena saya hanyalah seorang musisi, biarlah saya hanya menulis sekelumit kecil tentang musik.

Hal yang amat ironis, dari sekian banyak kitab-kitab  kelas wahid karya Al Farabi, “Alhamdulillah” , entah mengapa, saya belum mendengar ada versi terjemahan Bahasa Indonesianya. Atau lagi-lagi saya salah?

Kembali ke ungkapan Plato diatas, pertanyaannya sekarang; seberapa banyak masyarakat kita yang “hanya” menganggap musik itu sebagai sarana bersenang-senang semata? Pertanyaan ini juga berlaku bagi musisinya sendiri (termasuk saya).

“Seberapa hasrat kita sebagai musisi hendak dikenal dan dikenang selain “HANYA” sebagai alat bersenang-senang?”

(Penulis adalah pegiat musik jazz Indonesia dan Founder “Ubud Village Jazz Festival”)

diunggah oleh:

Picture of Aswaja Dewata

Aswaja Dewata

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »