ASWAJADEWATA.COM |
Keganasan Wabah Covid 19 hingga Selasa 8 Desember 2020 menurut catatan Rabithah Ma’ahad Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) telah menelan korban sebanyak 207 Masayikh ( Kyai & Nyai ) wafat selama masa pandemi, dari total 110 pesantren yang terpapar. Ini tentu menjadi sebuah kehilangan yang sangat besar sekaligus ancaman serius bagi kalangan pesantren dan juga bangsa Indonesia pada umumnya. Ancaman terhadap pesantren dan Kyai berarti ancaman terhadap kelangsungan pendidikan agama dan karakter bangsa Indonesia.
Ditengah amukan badai pandemi ini, RMI PBNU melihat negara belum hadir secara optimal. Diantara indikatornya antara lain tidak optimalnya kordinasi antar dinas atau kementerian terkait penanganan Covid 19 di pesantren, terbatasnya informasi dan edukasi tentang Covid 19 bagi pesantren, komunikasi publik yang tidak berpihak kepada pesantren khususnya jika ada klaster pesantren dan di beberapa daerah pesantren sulit mengakses swab PCR test.
H. Abdul Ghofarrozin Ulun Nuha selaku ketua RMI PBNU menyampaikan lewat press rilis resmi yang dikeluarkan pada Jum’at (11/12), “Mengingat pesantren adalah asset penting bangsa Indonesia, maka RMI PBNU meminta negara untuk hadir secara lebih serius dengan pola penanganan terpadu.
Dirinya berharap agar Kementerian Kesehatan dapat menjadi lokomotif dengan menggandeng Kementerian Agama, Pemerintah Daerah setempat dan ulama atau lembaga keagamaan yang otoritatif.
“RMI sendiri siap menjadi partner strategis terutama terkait dengan kordinasi dan komunikasi dengan pesantren,” tegasnya lagi.
Secara teknis, penanganan terpadu dapat diwujudkan dalam bentuk pembentukan team task force untuk penanganan Covid 19 di Pesantren mulai tingkat pusat sampai kabupaten/kota.
“Pendekatan terpadu ini harus diawali sejak proses pencegahan dengan edukasi protokol kesehatan sampai penanganan jika ada kasus paparan Covid 19 di Pesantren,” ujarnya.
Gus Rozin, sapaan akrab H Abdul Ghofarrozin juga menambahkan bahwa jika ada kasus Covid 19, pesantren sangat membutuhkan pendampingan agar dapat mengambil keputusan yang tepat terkait keselamatan santri dan para pengasuhnya.
Selain itu, pesantren juga membutuhkan akses ke dokter dan fasilitas kesehatan, kepastian swab PCR test dan dukungan ruangan isolasi atau karantina yang layak.
Arus informasi publik terkait pemberitaan klaster pesantren perlu dikelola dengan baik dan berpihak pada pesantren. Tujuannya agar pesantren tidak terpuruk selama dan pasca masa pandemi akibat stigmatisasi Covid 19.
“Semua ikhtiar ini layak dan penting kita kerjakan bersama sama demi memastikan masa depan pendidikan akhlak dan karakter bangsa,” tutupnya.
Penulis: Dadie W. Prasetyoadi
Editor: Abdul Karim Abraham