ASWAJADEWATA.COM |
Oleh : Abdul Karim Abraham
Gubernur Bali I Wayan Koster menyerahkan Sertipikat Hak Milik kepada warga Sumberklampok pada 18 Mei 2021. Momentum bersejarah itu merupakan puncak perjalanan panjang perjuangan masyarakat Sumberklampok dalam menuntut Hak atas tanah. Tulisan ini merupakan hasil wawancara Penulis setahun lalu dengan salah satu Tokoh Masyarakat Muhamad Jatim pada 7 Mei 2020, dan pada 8 Mei 2020 Penulis juga mewawancara Perbekel Desa Sumberklampok I Wayan Sawitrayasa, yang saat itu disiarkan secara Live di Fanpage Facebook PC GP Ansor Buleleng.
Sejauh yang bisa ditelusuri, perjuangan rakyat Desa Sumberklampok Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali untuk mendapat legitimasi kepemilikan atas tanah dimulai sejak tahun 1960. Awalnya, masyarakat memohon atas status wilayah yang pada saat itu masuk menjadi bagian Desa Sumberkima. permohonan masyarakat kepada Pemkab Buleleng agar Sumberklampok disahkan menjadi desa definitif, karena secara geografis, wilayah Sumberklampok cukup jauh dari Sumberkima sebagai desa induk.
Permohonan tersebut akhirnya baru disetujui pada tahun 1967. Sehingga untuk pertama kalinya,warga desa Sumberklampok memilih kepala desa dan Bapak Wirosentono terpilih menjadi kepala desa pertama. Namun, setelah masa periode ini habis, atau tepat pada tahun 1972, status penuh definitif Desa Sumberklampok dicabut. Otonomi yang sebelumnya penuh dimana masyarakat bisa memilih pemimpin sendiri, dirubah menjadi penunjukan oleh Camat Gerokgak.
Kemudian pada tahun 1979, masyarakat terus melakukan pendekatan dengan berbagai pihak, terutama Pemkab Buleleng untuk mendapat status tanah yang mereka tempati. Di tahun ini masyarakat baru mengerti bahwa tanah yang mereka tempati ini secara administratif tercatat dalam Hak Guna Usaha (HGU) nomer 1, 2, dan 3 yang dalam pengelolaannya diberikan kepada PT. Margarana dan PT. Darmajati. Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan ini, meneruskan bekas perkebunan Belanda yang dikelolah sejak tahun 1920an.
DIMINTA UNTUK MENGOSONGKAN LAHAN
Pada tahun 1990, sebanyak 419 KK masyarakat Sumberklampok mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Agraria Kabupaten Buleleng. Permohonan ini diajukan karena masa kontrak PT Margarana pada HGU 2 dan HGU 3 sudah habis pada tahun 1990. Namun, bukan malah mendapat respon baik, justru pada Tahun 1991, Gubernur Bali Ida Bagus Oka datang ke Sumberklampok dan memerintahkan masyarakat untuk mengosongkan seluruh lahan disana.
Alasan Gubernur saat itu bahwa lahan di Sumberklampok akan dijadikan pengembangan pariwisata Bali. Sehingga dalam perintah untuk pengosongan itu masyarakat disuruh untuk melakukan transmigrasi ke Sumatra atau Sulawesi. Masyarakat diberikan waktu 3 bulan 20 hari untuk mengemas dan mengosongkan lahan.
Perintah pengosongan tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat. Beberapa kali dari pihak aparat terus menekan dan mengintimidasi agar segera dilakukan pengosongan. Para tokoh masyarakat terus melakukan lobby dan pendekatan ke Pemkab Buleleng dan juga ke Pemprov Bali. Namun karena tidak ada respon, akhirnya melalui kesepakatan bersama sebanyak 56 orang perwakilan masyarakat Sumberklampok berangkat ke Jakarta.
Di Jakarta, delegasi ini menuju Gedung DPR/MPR dan diterima oleh Komang Hendra yang merupakan anggota DPR RI dari Bali. Setelah menceritakan kronologis yang terjadi, mendapat respon positif dari anggota DPR yang lain dan menjamin masyarakat tidak akan dipindah kemana mana. Untuk komitmen tersebut, delegasi meminta surat pernyataan tertulis dari lembaga DPR. Akhirnya, dengan desakan para delegasi, surat jaminan keamanan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Fraksi Golkar, PPP dan PDI.
Dalam perjalanan menuju Bali, para delegasi sadar betul segala kemungkinan akan terjadi terhadap keamanan mereka. Karena, usaha mereka untuk ke Jakarta tanpa pamit kepada para pejabat dan aparat di Bali. Kekhawatiran itu betul terjadi, salah satu delegasi yang juga Tokoh masyarakat Sumberklampok, Muhammad Jatim setibanya di rumah disambut sekitar 10 orang aparat keamanan. Tentu ini sangat mengagetkan, artinya keberangkatan ke Jakarta sudah betul betul diketahui oleh aparat keamanan Bali.
Di tengah malam itu, aparat langsung menginterogasi, namun Pak Jatim tidak menjawab segala pertanyaan. Pak Jatim hanya mengatakan jika ingin jawabannya tunggu besok pagi karena waktu sudah tengah malam dan dalam posisi sangat capek perjalanan. Alasan ini disetujui, dan interogasi ditunda besok pagi.
Keesokan paginya, Pak Jatim terkejut saat hendak melaksanakan sholah Subuh di Mushollah tepat di sebelah barat kediamannya. Ada sekitar 50an Tentara berjaga di depan Mushollah. Di seberang jalan terparkir 2 truk kendaraan operasional ABRI. Penjagaan dengan jumlah personel sebanyak itu tentu berlebihan, namun ini salah satu bentuk intimidasi.
Meski dalam tekanan, Pak Jatim dengan tenang menjawab segala pertanyaan. Akhirnya aparat melunak ketika ditunjukkan surat jaminan yang diteken oleh DPR RI. Tidak selesai disitu, beberapa hari kemudian, Dandim Buleleng yang saat itu dijabat oleh Bapak Widodo datang ke rumah Pak Jatim dan marah marah. Pak Jatim dan para delegasi dituduh pengacau karena ke Jakarta tidak izin. Bahkan saat itu, telinga Pak Jatim ditarik keatas oleh Dandim, untuk meluapkan kekesalannya.
Akhirnya, beberapa Tokoh masyarakat menghadap Gubernur Oka dan menunjukan surat dari DPR RI. Dari sana kemudian Gubernur tidak lagi memerintahkan untuk mengosongkan lahan Sumberklampok. Meski demikian, ia tidak bisa berbuat banyak dalam permohonan masyarakat mendapat status Hak Milik atas tanah yang ditempati.
KONSOLIDASI GERAKAN
Terpilihnya Ketut Wirata Shindu sebagai Bupati Buleleng pada tahun 1993, membawa angin segar bagi perjuangan rakyat Sumberklampok. Pasalnya, pada era ia berkuasa, komunikasi tokoh masyarakat dengan Bupati sangat begitu intens. Diskusi sering dilakukan untuk mencari jalan keluar. Bahkan, pertemuan antara tokoh masyarakat Sumberklampok dengan Bupati Buleleng ini lebih sering di Rumah Jabatan Bupati. Ini menandakan secara emosional, Bupati Wirata Shindu menaruh perhatian lebih pada kasus tanah Sumberklampok.
Di masa Bupati Wirata Shindu, salah satu yang terwujud adalah pengembalian status Desa Sumberklampok sebagai Desa Definitif sepenuhnya. Proses mendapatkan status ini juga cukup panjang, karena harus menghadap kepada Menteri Dalam Negeri, yang saat itu diwakili oleh 7 orang delegasi datang ke Jakarta. Setelah mendapat surat definif, akhirnya masyarakat Sumberklampok setelah puluhan tahun sejak tahun 1972 kepala desanya ditunjuk dari Camat, pada tahun 2002 dilakukan pemilihan Kepala Desa dan I Putu Artana terpilih selama dua periode.
Sumberklampok dibawah kepemimpinan I Putu Artana, mencoba untuk menata pola perjuangan masyarakat untuk mendapat hak kepemilikan lahan. Ia berkomunikasi dengan beberapa lembaga non pemerintah, salah satunya adalah Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Dari sana kemudian penataan administrasi, dan peningkatan kapasitas dari berbagai aspek dilakukan, termasuk kajian kajian tentang landasan hukum. Hal ini semakin menguatkan semangat perjuangan masyarakat untuk mendapat Hak nya.
Permasalahan kembali muncul ketika Pemerintah Provinsi Bali dibawah Gubernur Made Mangku Pastika, mengklaim bahwa tanah eks HGU 1,2 dan 3 yang berada di Desa Sumberklampok tersebut merupakan aset Provinsi Bali. Upaya audiensipun dilakukan, namun Gubernur yang terpilih 2 periode ini sama sekali tidak pernah menemui delegasi masyarakat Sumberklampok, hal ini memicu kemarahan masyarakat yang ingin meminta bukti bahwa apakah benar lahan yang mereka tempati ini terdaftar sebagai aset Provinsi Bali.
Puncak kemarahan masyarakat Sumberklampok terjadi ketika Gubernur Bali dan Bupati Buleleng tidak menghadiri undangan Doa Bersama antara Umat Hindu dan Umat Islam Sumberklampok tanggal 7 November 2013. Kemarahan ini diluapkan dengan menutup jalan poros Gilimanuk –Singaraja. Pohon pohon ditebang, batu batu diletakan ditengah jalan. Sontak saja jalur provinsi di Bali Utara ini lumpuh total.
Kapolres Buleleng, AKBP Beny Arjanto tidak berhasil melakukan negosiasi. Dalam kondisi yang masih memanas, masyarakat bersedia membuka jalan kalau Gubernur Bali dihadirkan ke Sumberklampok. Di malam hari, ratusan personel polisi didatangkan, termasuk juga kendaraan water canon. Sedianya malam itu akan dibubarkan paksa, namun karena jumlah massa yang banyak, pembubaran tidak terjadi. Di malam itu, diperkirakan hampir 3.000 orang bermalam di jalan raya.
Negosiasi sedikit ada titik temu ketika Kapolda Bali, Irjen Pol Albertus Julius Benny Mokalu hadir langsung ke Sumberklampok pada malam kedua. Disana ia mengatakan Gubernur tidak bisa hadir langsung karena berada diluar Bali. Ia pun berjanji akan mempertemukan masyarakat dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Namun sampai akhir jabatan, janji itu tidak terwujud.
PROSES YANG TERWUJUD
Beberapa saat setelah terpilihnya I Wayan Sawitrayasa sebagai Kepala Desa Sumberklampok yang baru pada akhir tahun 2013, ia bersama beberapa delegasi datang ke BPN Pusat di Jakarta untuk menanyakan kebenaran klaim Provinsi Bali atas lahan di Sumberklampok.
BPN menjelaskan sampai saat itu Eks HGU Nomer 1,2 dan 3 di Sumberklampok tersebut bukan sebagai aset Pemprov Bali. Justru, melalui dokumen yang ditunjukan BPN, Pemprov baru mengajukan lahan tersebut untuk dijadikan aset pada tanggal 7 September 2009. Namun pengajuan ini sampai saat itu belum disetujui BPN.
Harus diakui, selama kepemimpinan Gubernur Made Mangku Pastika ada keterputusan komunikasi, sehingga tidak sedikitpun celah untuk penyelesaian. Baru kemudian, setelah Gubernur Bali diganti oleh I Wayan Koster pada tahun 2018, harapan itu kembali ada.
Setelah melakukan komunikasi dengan Gubernur Koster, Pemprov Bali bersurat kepada Pemerintah Desa Sumberklampok untuk segera membentuk tim ditingkat desa. Tim yang kemudian disebut sebagai Tim 9 ini diperuntukan sebagai pihak yang mengerjakan teknis di lapangan dalam pendataan dan hal teknis lainnya. Di akhir tahun 2018, Tim 9 bersama sama dengan BPN Kabupaten Buleleng dan BPN Provinsi Bali mulai melakukan pemetaan lahan.
Selama berlangsung pemetaan, beberapa kali Tim 9 melakukan rapat dengan Pemprov Bali dalam mencari solusi terbaik. Disepakatilah dari luas lahan dibagi menjadi 70 persen untuk masyarakat dan 30 persen untuk aset Provinsi Bali. Kemudian, pengukuran oleh BPN dilakukan. Namun hal ini sempat dikhawatirkan oleh masyarakat, karena kesepakatan antara Pemprov dan Tim 9 itu belum dituangkan dalam MoU tertulis. Banyak spekulasi saat itu, pengukuran itu dikhawatirkan hanya untuk pengajuan aset Pemprov Bali ke BPN Pusat.
Masyarakat dan Tim 9 baru lega ketika perjanjian itu dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Pemprov Bali dan BPN Provinsi Bali dengan Tim 9 Desa Sumberklampok pada tanggal 26 Nopember Tahun 2020. Dalam kesepakatan tertulis tersebut ditandatangani langsung oleh Gubernur Bali, Kakanwil BPN Provinsi Bali, Perbekel Sumberklampok dan seluruh Tim 9.
Salah satu poin terpenting dalam surat kesepakatan tersebut adalah pembagian lahan antara warga dan Pemprov adalah sisa lahan setelah dikurangi lahan pekarangan seluas 65,55 Ha, Fasilitas umum dan sosial seluas 9,91 Ha, dan jalan/pangkung/sungai seluas 23,37 Ha. Sementara total lahan eks HGU nomer 1,2 dan 3 adalah 612,94 Ha. Sehingga dari total luas tersebut setelah dikurangi lahan pekarangan, fasilitas umum dan jalan atau sungai, tersisa 514,02 Ha.
Dari luas lahan 514,02 Ha itu, 70 persen yang menjadi hak warga Sumberklampok atau sama dengan seluas 359,80 Ha. Sisanya, yakni 30 persen atau seluas 154,20 Ha dari lahan tersebut menjadi hak Pemprov Bali.
Akhirnya, tidak sampai satu tahun dari kesepakatan tersebut, pada tanggal 18 Mei 2021, Gubernur Bali I Wayan Koster datang langsung ke Sumberklampok untuk membagikan 720 Sertipikat Hak Milik (SHM) kepada masyarakat Sumberklampok. SHM yang dibagi ini adalah lahan pemukiman, sementara untuk lahan perkebunan/garapan menurut rencana akan dibagikan langsung oleh Presiden RI pada bulan Juni 2021.
(Penulis adalah Ketua PC GP Ansor Buleleng)