Saturday 20th April 2024,

Sistem Ranking di Sekolah, Masihkah Relevan?

Sistem Ranking di Sekolah, Masihkah Relevan?
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Masayu Indriaty Susanto

Sistem Ranking, Racun Dunia Pendidikan

Sekolah adalah tempat belajar, bukan arena kompetisi. Namun kenyataannya, siswa kerap “dipaksa” berlomba mengejar peringkat kelas. Persaingan itu bahkan sudah terjadi sejak awal masuk sekolah dasar.

Target dan beban yang berat untuk mencapai tujuan tersebutlah yang pada akhirnya banyak membuat anak-anak kehilangan senyum mereka.

Ada video seorang ibu di Berau, Kalimantan Timur, yang viral beberapa waktu tahun lalu, begitu menyentak kita semua dengan isi video yang menampilkan sang ibu terlihat begitu emosi dan membentak-bentak anaknya yang berseragam pramuka. Duduk, gemetaran dan tersedu-sedu, sambil memegang buku rapor bersampul hijau.

Mungkin kita bertanya-tanya atau bingung bahkan mungkin iba kapada anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.
“Sebenarnya apa yang menyebabkan Ibu ini begitu naik pitam kepada darah dagingnya sendiri ?.”

Disinyalir Ibu ini sangat murka karena sang gadis kecil yang merupakan siswa salah satu SD di kota itu, “hanya” meraih ranking dalam penilaian akhir sekolah. Sontak video viral itu menuai kecaman. Para ahli pendidikan, psikolog maupun lembaga perlindungan anak mengecam keras aksi ini. Mereka berteriak, sistem ranking di sekolah sudah kebablasan, dan sudah saatnya untuk dihapuskan.

Dr. Adi Gunawan, founder Institute of Mind Technology dalam bukunya ”Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan” (2005), mengungkapkan bahwa sistem ranking itu tidak adil dan berbahaya bagi perkembangan konsep diri anak karena yang menjadi patokan selalu nilai rata-rata semua mata pelajaran.

Jika mendapat ranking bawah, seorang anak akan berpikir secara linier dan cenderung langsung melabeli dirinya bodoh. Akibatnya, anak bisa menjadi minder dan tambah malas belajar bahkan bisa pula menjadi korban bullying.

Padahal kenyataan setiap anak itu unik dan punya cara belajar berbeda pula. Sumber daya dan kemampuan siswa dalam belajar pun berbeda. Sangatlah tidak adil jika memukul rata kemampuan siswa.

Bagi yang bisa ikut les bermacam pelajaran dan tercukupi gizinya, akan berbeda dengan siswa yang kurang memiliki waktu belajar. Karena, misalnya, siswa tersebut harus membantu pekerjaan orang tuanya.

Begitu pula bagi anak yang “langganan” juara kelas atau sering disebut seorang bintang kelas akan merasa terbebani secara psikologis, karena dituntut harus selalu menjadi rangking satu.Tuntutan ini bisa jadi dari permintaan orang tuanya, maupun internal dirinya sendiri yang selalu ingin dipandang sebagai orang cerdas.

Sudah barang tentu akan timbul rasa malu, minder dan sebagai jikalau peringkatnya turun walaupun hanya satu strip. Itulah yang dapat memicu terjadinya tindakan negatif. Model pola pikir yang masih sangat belia pada diri anak, memberinya peluang melakukan berbagai cara demi meraih ranking teratas.

Mencontek, mencari bocoran soal, timbul tidak suka atau dendam pada teman yang “merebut” posisi rankingnya, adalah beberapa contoh diantara dampak-dampak buruk akibat dari sistem ini.

Dr. Adi Gunawan juga menyebutkan bahwa hal itu memunculkan fenomena saat ini yakni makin banyak orang pandai, tetapi kejujuran justru menurun.

Fakta ini membuktikan bahwa kepandaian yang tidak diimbangi tingkat spiritualitas yang baik dan kecerdasan emosional yang stabil cenderung merugikan orang lain maupun diri anak sendiri.

Cerdas itu Banyak Jenisnya

Howard Gardner, profesor pendidik dan peneliti dari Harvard University, Amerika Serikat mengungkapkan, ada 9 aspek kecerdasan dari seorang anak, yang kerap disebut multiple intelligences.

Yaitu kecerdasan musikal, intrapersonal, interpersonal, visual spasial, naturalis, kinestetik, moral, verbal linguistik, dan logika matematika.

Seorang anak bisa jadi memiliki satu jenis kecerdasan yang dominan, atau bahkan memiliki beberapa jenis kecerdasan sekaligus (kecerdasan majemuk).

Oleh karena itu, setiap anak memiliki cara belajar sendiri sesuai dengan jenis kecerdasan yang dominan pada dirinya.
Anak dengan kecerdasan musikal bisa depresi, jika dituntut harus mendapat skor 100 pada pelajaran sains. Anak dengan kecerdasan kinestetik akan frustasi, jika dipaksa mengikuti sistem pendidikan yang mengharuskannya duduk mencatat selama 8 jam sehari.
Bukankah akan sangat tidak bijak, jika kita menuntut seorang anak
harus meraih nilai sempurna dalam semua mata pelajaran?
Tak mungkin pula seekor burung mengalahkan ikan dalam hal berenang?
Dan manalah pula ikan mengalahkan burung dalam hal terbang?

Jangan lupakan pula bidang-bidang non akademis. Sesuai konsep multiple intelligences, setiap sekolah idealnya wajib memiliki beragam kegiatan ekstra kurikuler, demi memfasilitasi kecerdasan dan bakat anak.

Anak dengan kecerdasan naturalis bisa mengasah potensinya dalam kegiatan pecinta alam, anak kinestetik dapat mengeksplorasi bakatnya dalam olahraga. Anak dengan kecerdasan musikal bisa berkembang lewat kegiatan menari, teater, memainkan berbagai alat musik, atau choir. Anak dengan kecerdasan visual spasial bisa dikembangkan bakatnya dengan kegiatan robotika, fotografi dan sinematografi. Anak dengan kecerdasan linguistik bisa melatih kemampuannya dalam lomba-lomba pidato. Anak dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal bisa lebih terasah lewat kegiatan OSIS atau organisasi lainnya.

Kreativitas Lebih Penting

Negara tetangga kita, Singapura, tahun lalu secara mengejutkan telah menghapus sistem ranking pada konsep baru pendidikan mereka.

Padahal Singapura telah lama dikenal sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik dunia. Mumpuni dalam hal mencetak siswa berprestasi tinggi. Singapura juga terkenal sangat mendukung pembelajaran hapalan, dan punya jam belajar yang panjang, untuk mendorong anak-anak sekolah di sana sukses menjalani ujian.

Mengutip laman WeForum dan Straitstimes, selain menghapus sistem ranking dalam rapor siswa, ke depan, pendidikan di Singapura akan lebih ditekankan pada kemampuan dan pengembangan karakter siswa serta keterampilan teknologi.

Pendekatan baru Negeri Singa terhadap pendidikan ini, tentunya sangat kontras dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang masih sibuk berlomba meraih peringkat tertinggi pendidikan. “Belajar bukan kompetisi!” tegas Ong Ye Kung, Menteri Pendidikan Singapura .

Ong Ye Kung menegaskan, perubahan konsep pendidikan ini diyakini dapat mengalihkan fokus, dari tuntutan kesempurnaan nilai ujian, pada upaya menciptakan individu yang lebih baik.

Sistem pendidikan Singapura akan memprioritaskan pengembangan kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, penguasaan teknologi, entrepreneurship dan kepercayaan diri. Karakter generasi seperti itulah, menurut Ong Ye Kung, yang dibutuhkan Singapura di masa depan. Bukan lagi sekadar mengejar nilai dan angka.

Oleh karena itu, apakah ini saatnya menuntut pemerintah untuk “memusnahkan” sistem ranking yang toksik, dari dunia pendidikan Indonesia? Tentu harapannya begitu. Demi penyerataan sistem pendidikan,
tentu diperlukan goodwill yang serius dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudah bukan zamannya lagi anak dipaksa untuk berkompetisi mengejar ranking di sekolah. Tetapi, anak-anak harus dibantu, didukung, dan diberi kesempatan mengembangkan potensi dirinya masing-masing.
Pemerintah dan stakeholders pendidikan wajib merealisasikan penyediaan lingkungan pendidikan yang nyaman dan mendukung kreativitas para siswa.

Albert Einstein, fisikawan jenius pengubah dunia pernah mengatakan, bahwa semua anak itu jenius. Tapi jika Anda menilai seekor ikan, dengan kemampuannya memanjat pohon, maka ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa dia bodoh.

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »