ASWAJADEWATA.COM |
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) lahir pada 24 Februari 1954, menjelang Pemilu 1955. Keberadaannya merupakan bagian dari Keluarga Besar Partai Nahdlatul Ulama. Ketika itu, IPNU menjadi underbow NU yang sedang berstatus sebagai partai politik.
Namun, Pendiri IPNU KH Tolchah Mansoer berkomitmen bahwa IPNU dilahirkan bukan untuk kepentingan politik. Ia tetap memandang bahwa IPNU tetap memiliki independensi sebagai organisasi pelajar.
Di sinilah tantangan Kiai Tolchah muncul. Ia harus mampu memposisikan IPNU sebagai organisasi penyatuan sekaligus sebagai ruang kaderisasi pelajar NU tanpa harus terintervensi oleh berbagai kegiatan politik. Jelasnya, NU menjadi besar bukan karena IPNU. Sebab basis NU memang sudah kuat, terutama di wilayah Jawa.
Meski demikian, IPNU tetap memiliki peran dan andil besar dalam membesarkan NU dari sisi kaderisasinya. Tidak mudah untuk mengembangkan organisasi kader non-politik di saat induknya menjadi partai politik.
Pendirian IPNU merupakan usaha untuk membuat rumah sendiri, agar para santri dan pelajar NU dapat lebih berkreasi. Bahkan sebagai ruang untuk berjuang dalam memperjuangkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah.
Hal tersebut dipahami Tolchah karena saat itu, ia melihat banyak anak muda NU dari Jawa Timur yang mengenyam kuliah di Yogyakarta. Mereka membutuhkan tempat untuk berorganisasi dan wadah yang paling tepat adalah IPNU.
Sekilas perjalanan KH Tolchah Mansoer dalam merintis IPNU
IPNU dirintis oleh tokoh penting bernama KH Tolchah Mansoer. Tokoh ini tidak terlalu populer di mata masyarakat umum. Berbagai dugaan muncul, tenggelamnya tokoh penting ini terjadi karena ia lebih memilih tinggal di Yogyakarta ketimbang di Jakarta sebagai pusat kekuasaan.
Ketidakhadirannya dalam berbagai literatur sejarah NU tidak berarti Kiai Tolchah tidak memiliki peran penting. Bahkan justru, peran yang dilakukan Kiai Tolchah tidak kalah penting dengan tokoh-tokoh NU yang lain.
Sejak kecil, Tolchah pernah mengikuti organisasi Ikatan Moerid Nahdlatul Oelama (IMNO) dan Barisan Sabilillah. Keduanya merupakan perkumpulan yang dibentuk untuk mengadakan perlawanan terhadap kolonialisme.
Kiai Tolchah juga pernah aktif di dua organisasi non-NU. Di Pelajar Islam Indonesia (PII), ia menjabat sebagai Ketua Departemen Penerangan dan Ketua I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta.
Ketika aktif di dalam organisasi itu, ia merasa bahwa aspirasi pelajar dan santri NU mulai tidak digubris. Dari situlah kemudian, Tolchah bersama rekan-rekannya mulai memikirkan untuk membuat perkumpulan yang bisa menampung aspirasi santri dan pelajar NU. Beberapa temannya itu adalah Ismail Makki, Mohammad Sufyan Kholil, Mustafa, dan Abdul Ghani Farida.
Mereka kemudian aktif melakukan konsolidasi gerakan kaum muda NU. Biasanya, mereka berkonsolidasi di sebuah rumah kos-kosan di daerah Bumijo, Yogyakarta. Langkah tersebut dilakukan untuk membahas lebih lanjut tentang apa saja yang perlu mereka lakukan untuk membuat suatu organisasi pelajar yang sesuai dengan latar belakang NU.
Setelah melalui berbagai diskusi dan dianggap telah matang, gagasan perintisan itu kemudian dibawa pada Konferensi Besar Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU di Semarang, pada Februari 1954. Gagasan Tolchah dan rekan-rekannya itu akhirnya disambut positif.
Konferensi tersebut mengesahkan berdirinya IPNU pada 24 Februari 1954. Tolchah dipilih sebagai Ketua Umum IPNU, sekalipun ia sendiri berhalangan hadir. Ketika dipilih, ia berusia 24 tahun. Tolchah juga dinilai sebagai mahasiswa yang paling cerdas dan menonjol di antara rekan-rekan yang lain, saat itu.
Tolchah juga dinilai sebagai tokoh pelajar yang memiliki gagasan dan pemikiran untuk menggabungkan kaum santri dan pelajar umum.
Oleh: Aru Lego Triono, Pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
*) Disadur dari buku “KH Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan” karya Caswiyono Rusydi Cakrawangsa, Zainul Arifin, dan Fahsin M. Fa’al (2009). [NU Online]