Thursday 18th April 2024,

Tangkal Radikalisme untuk Masa Depan Anak Cucu Kita

Tangkal Radikalisme untuk Masa Depan Anak Cucu Kita
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Isu Radikalisme masih menjadi persoalan yang harus ditangkal oleh masyarakat terutama kalangan pemuda sebagai generasi bangsa. Bahkan sebagian kelompok menjadikan narasi dan doktrin radikalisme untuk kepentingan politik dan kepentingan ekonomi.

Pernyataan itu mencuat saat kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) sejumlah elemen mahasiswa antara lain Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Anyer, Kabupaten Serang-Banten, Rabu-Kamis (20-21/3).

Hadir pada kegiatan itu pemantik diskusi antara lain, Aktifis Literasi, Abdul Malik Mughni, Akademisi Untirta Banten, Ikhsan Ahmad, Koordinator Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP), Nana Subana dan ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Banten.

Dalam paparannya, Pegiat Literasi, Malik Mughni mengatakan, dampak dari pemahaman yang salah soal ideologi agama, telah menyebabkan peristiwa kericuhan di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagian pakar sosial, menurut dia, sudah memprediksi meningkatnya radikalisme dan terorisme di dunia, seperti yang diulas dalam teori ilmuwan politik, Samuel P. Huntington.

“Radikalisme menurut Huntington, adalah bagian dari skema benturan peradaban atau clash of civilization,” kata Malik dihadapan mahasiswa.

Ia menegaskan, ada kelompok tertentu yang memupuk radikalisme di Indonesia. Tujuannya, ujar dia, untuk kepentingan politik dan kepentingan ekonomi semata.

“Sampai kapanpun pemuda harus peduli dengan masalah ini. Sebab dalam setiap periode sejarah peradaban, selalu ada kelompok yang menunggangi sentimen agama, suku dan ras, untuk memprovokasi massa agar bertindak anarki dan melakukan pemberontakan sehingga terjadi ketidak stabilan dalam kehidupan berbangsa,” tuturnya.

Agama tidak diajarkan sebagai nilai perdamaian, tetapi dijadikan alat untuk menggelorakan kebencian dan amarah terhadap pemerintah atau pihak-pihak lain yang bersebrangan.

Paling parah, kata Malik, ada kelompok tertentu yang menjadikan orang tidak alim atau tidak memiliki kapasitas sebagai pemuka agama seperti Sugik Nur namun dijadikan kiblat untuk belajar agama.

“Ini eranya, spiritualisme menjadi barang mewah. Masyarakat sedang gandrung dengan isu keagamaan, bagaimana masyarakat di brainwash oleh orang yang tak berilmu, namun jago retorika, bahkan ada kelompok yang meyakini hoax dan fitnah sebagai hal yang halal, bahkan wajib, karena dianggap bagian dari siyasah,”ucapnya

Ia mengajak kepada para generasi muda untuk menjaga ideologi negara agar tidak pupus oleh massifnya radikalisme. Menurut dia, usaha itu bukan untuk generasi muda saat ini tetapi untuk anak cucu generasi sekrang puluhan tahun mendatang.

” Yang harus diwaspadai, brainwash dan doktrin radikalisme ini banyak yang ditanamkan ke para pelajar, bahkan ke anak-anak usia dini di TK atau preschool tertentu. Jika kelompok ini dibiarkan, generasi mendatang di negeri ini, bisa didominasi oleh kelompok radikal. Kalau sudah begitu, mudah menyulut emosi mereka untuk melakukan anarkisme hingga tindakan terorisme,” imbuhnya.

Sementara itu, Koordinator JRDP, Nana Subana, mengatakan masyarakat Indonesia harus banyak bersyukur. Sebab dibandingkan dengan negara lain Indonesia sudah sangat demokratis.

“Kedewasaan berdemokrasi oleh rakyat sudah semakin dewasa. Bisa di cek, meski saat Pemilu situasi di masyarakat panas tetapi tidak pernah ada kericuhan akibat Pemilu,” tuturnya

Ia mengungkapkan, komitmen kebangsaan, kebhinekaan dan menjaga persatuan di kalangan generasi muda, perlu juga dibuktikan dengan menyukseskan pemilu. “Mengawal dan menjaga pemilu yang aman, lancar dan bersih dari kecurangan, adalah bagian dari ikhtiar menjaga keutuhan dan membuktikan kedewasaan berdemokrasi bangsa ini,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan adanya upaya untuk mengacaukan pemilu, dengan membangun isu yang sebatas isu-isuan bukan isu serius. “Tapi sekuat apapun isu tidak pernah merubah regulasi Pemilu yang ada,” ujarnya.

(Abdul Rahman Ahdori/*)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »