Friday 19th April 2024,

Tokoh Penyebar Awal Islam Di Bali: Karangasem, Bangli, Gianyar dan Jembrana

Tokoh Penyebar Awal Islam Di Bali: Karangasem, Bangli, Gianyar dan Jembrana
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Di Daerah Karangasem

Karangasem adalah daerah paling timur pulau Bali. Di sinipun bisa kita lihat beberapa tokoh yang pernah berjasa menyebarkan agama Islam antara lain, adalah Mas Pakel suku Sasak utusan kerajaan Pejanggih (Lombok Tengah) seorang pendekar yang sangat sakti bahkan  kemudian beliau diangkat menjadi keluarga kerajaan dan hidup di lingkungan Keraton. Beliaulah pertama kali memperkenalkan agama Islam di lingkungan kerajaan Karangasem namun rupanya tidak terlalu direspon oleh Kraton akhirnya beliau diusir ada yang mengatakan dibunuh beliau juga dikenal dengan nama Sunan Mumbul.

Juga seorang Tokoh yang berjasa menyebarkan agama Islam di daerah Karangasem yaitu yang bernama KH. Abdurrahman  yang juga berasal dari Lombok dikenal dengan nama Balok Sakti beliaulah yang pertama berdakwah tetang Islam di daerah Kecicang Islam dan Kampung Dangin Sema beliau dua kali menikah dengan wanita muallaf yang kemudian menurunkan beberapa keturunan sebagai cikal bakal Kampung  Kecicang Islam dan Kampung Dangin Sema di Karangasem.

Demikian pula dengan Kyai Abdul Jalil seorang tokoh yang berasal dari Jawa merupakan tokoh penyebar Islam di Kampung Saren Jawa yang atas jasanya membunuh seekor sapi Besar (Wadak) yang mengamuk di suatu kampung akhirnya beliau dihadiahi tanah pelungguhan yang kemudian dikenal dengan nama kampung Saren Jawa.

Selanjutny ada pula seorang ulama yang bernama Habib Ali Bin Zainal Abidin Alaidrus makam ini berdampingan dengan makam ummat Hindu setempat sekaligus ini menunjukan adanya proses toleransi Islam dengan Hindu sejak dahulu.

Kampung Buitan yang ada di daerah Desa Manggis Kecamatan Manggis Kabupaten Kerangasem adalah kampung Bugis pertama yang ada di wilayah Karangasem menurut tetua adat kampung Buitan bahwa warga di situ nenek moyangnya berasal dari Kampung Suwung dan Serangan Denpasar.

Kampung Buitan ini adalah kampung yang memiliki satu-satunya pelabuhan di wilayah Karangasem di zaman kerajaan yang menghubungkan antara Bali dan Lombok sehingga waktu itu suku Bugis Makassar sering singgah di pelabuhan ini dan akhirnya membangun sebuah pemukiman yang bertahan sampai sekarang. Menurut Bapak Abdullah sesepuh kampung Buitan bahwa yang mengajarkan agama Islam di kampung Buitan ini adalah bernama H. Abdurrahman dan Ustadz Muhammad Ali bahkan peninggalan Ustadz Muhammad Ali ini berupa kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh Arsyad Al Banjari berbahasa Melayu tulisan Arab pegon masih tersimpan di rumahnya.

Di kampung Buitan ini terdapat masjid tua bernama Masjid Al Hikmah yang sekarang sudah beberapa kali mengalami pemugaran di masjid ini terdapat prasasti yang menunjukan usia Masjid tersebut.

Di salah satu Kampung Muslim yang berada di tengah di daerah lereng adalah kampung Bu’u desa Sidemen Kecamatan Sidemen Karangasem kampung ini dihuni muslim suku Sasak Lombok salah satu tokohnya di jaman kerajaan adalah bernama Thalib beliaulah yang membangun masjid yang kini bernama masjid Nurul Iman dan diperkirakan bahwa masjid inilah yang pertama kali ada di Karangasem dan  dibangun sekitar tahun 1661 M.

Di daerah Bangli dan Gianyar

Kedatangan Islam di Bangli memang sudah berada di masa abad XX jadi tergolong masih sangat muda dibandingkan di wilayah Kabupaten lain di Pulau Bali. Namun datangnya tentu atas jasa para penyebar agama Islam yang telah berusaha mendakwakan Islam di wilayah tengah Pulau Bali ini. Salah satu di antaranya adalah Tengku Hasan yang berasal dari Aceh beliau datang ke Bali karena menghindar dari kejaran tentara Belanda. Karena beliau sangat anti kolonial maka di Bali beliau sangat dihormati karena beliau sosok pemberani menentang pendudukan Belanda di Indonesia. Akhirnya Tengku Hasan berhasil mempersunting wanita Bali dan melahirkan keturunan yang salah satunya bernama Tengku Zainuddin dari inilah cikal bakal muslim yang ada di kota Bangli.

Demikian juga di daerah Gianyar. Sebagaimana Kabupaten Bangli daerah Gianyar pun adalah merupakan daerah yang dimasuki pengaruh agama Islam juga pada masa yang sudah memasuki abad  XX. Artinya juga masih sangat muda bahkan mungkin penyebar Islam di Gianyar ini adalah berasal dari daerah lain di Pulau Bali sendiri dan bukan berasal dari luar pulau Bali penulis kesulitan menemukan literature yang memuat tentang tokoh penyebar agama Islam pertama daerah di Gianyar.

Memang ada salah satu kampung kuno di Gianyar yang dihuni orang Muslim yaitu kampung Keramas yang di dalam cerita rakyat menyebutkan bahwa ketika Raja Puri Keramas I Gusti Agung Keramas ingin mengangkat Pedanda untuk menjadi pemuka agama di puri Keramas. Setelah mengadakan serangkaian pencarian akhirnya beliau menemukan seorang Resi yang dianggap pantas dan resi ini berasal dari kampung Shindu di wilayah Karangasem.

Resi dari Griya Shindu Karangasem ini bersedia menerima tawaran Puri Keramas Gianyar dengan syarat diperbolehkan mengajak serta beberapa rekannya yang muslim untuk menemani tinggal di Keramas setelah mendapatkan kesepakatan maka kemudian Sang Resi mengajak enam orang muslim Shindu asal Lombok ini, mereka termasuk pilihan karena mereka orang-orang sakti untuk dijadikan pelindung bagi Resi dari Raja Karangasem di tempat barunya. Setelah mereka sampai di  Keramas maka dihadiahkanlah pada mereka tanah untuk pemukiman, tanah  sawah dan kebun dan kawin dengan warga setempat maka inilah cikal bakal Muslim dan mereka inilah yang pertama menyebarkan agama Islam di daerah Gianyar dengan cara mengawini wanita-wanita setempat  serta mereka turun temurun hingga kini di Gianyar.

Di Daerah Jembrana

Tokoh yang pertama menjadi muballigh /da’i di awal datangnya Ummat Islam di Jembrana adalah Datuk Dawam Sirojuddin yang lebih dikenal dengan nama Buyut Lebai kedatangannya di kampung Air Kuning. Hanya berselang kurang lebih 16 tahun lamanya dari waktu pertama kali Ummat Islam Suku Bugis datang dari Sulawesi Selatan di pantai Air Kuning pada abad ke XVII yaitu sekitar tahun 1653 sedangkan Datuk Dawam Sirojuddin menginjakkan kakinya di Kampung Air Kuning sekitar tahun 1669 M.

Awal kedatangannya dari tanah Melayu ke wilayah Bali ini melalui serangkaian dakwah yang dilakukannya di tempat lain. Beliau transit tinggal beberapa tahun di wilayah Betawi (Jakarta) lalu melanjutkan perjalanan Dakwahnya ke Bali. Beliau berkebangsaan dan bersuku Melayu sebagaimana lazimya waktu itu para muballigh yang datang ke daerah lain di luar Jawa untuk mengajarkan Islam warga umumnya berasal dari tanah semenanjung Melayu baik ke pulau Sumatera, pulau Kalimantan maupun pulau di Sulawesi.

Adapun tanah asal Ulama ini adalah dari Negeri Serawak Negara bagian Malaysia Timur, karena pada waktu kedatangannya di Bali masih berupa hutan belantara, yang ada kampung Islam pada waktu itu baru hanya terdapat di pantai Air Kuning. Maka akhirnya beliau berkeputusan untuk tinggal menetap di Kampung Air Kuning yang di kampung itu dihuni oleh warga yang umumnya bersuku daerah Wajo Sulawesi selatan sampai hari ini.

Demikian pula muballigh pada periode awal masuknya Islam di Jembran abad ke 17 adalah Datuk Haji Yasin beliau salah seorang ulama suku Bugis yang datang dari Buleleng tahun 1675. Kemudian meneyao di Jembrana. Beliau juga ikut memperkuat ajaran Islam di Jembrana pada saat itu komunitas orang Bugis sudah terbentuk di Bandar Pancoran, Kampung Terusan dan Timur Sungai dengan membangun sebuah Langgar sebagai masjid di kampung Timur Sungai pada tahun 1679 M.

Selanjutnya di Jembrana dakwah Islam diperkuat oleh teman dari Datuk Haji Yasin  yang bernama H. Sihabuddin juga berasal dari daerah yang sama dan tujuan yang sama yang kemudian masuk di daerah Jembrana.

Selanjutnya pada abad XVIII penyebaran. islam di Jembrana di lakukan oleh mubaligh dari Terengganu Malaysia bernama Datuk Encik Ya’kub.

Encik Ya’kub yang telah berwakaf Al Qur’an kuno dan tanah sawah untuk masjid Baitul Qodim Loloan Timur sebagaimana yang tercantum di dalam prasastinya adalah seorang ulama besar yang berasal negeri Trengganu Malaysia yang datang berkunjung dan kemudian menetap di Loloan Jembrana pada periode abad ke 18, Beliau berdakwah mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat komunitas suku Bugis-Makassar yang telah lebih dahulu menetap di Jembrana.

Tuan Guru Encik Ya’kub (Muhammad Ya’qub Trengganu) merupakan juga ulama yang berperan dalam sejarah perkembangan Islam di Terengganu Malaysia sebelum merantau ke Nusantara termasuk Pulau Bali.

Tokoh yang dianggap berhasil dalam dakwah Islam di Jembrana adalah dua tokoh yang merupakan dua serangkai yang pertama yaitu Syarif Abdullah Yahya Al Qadri atau yang lebih dikenal dengan Syarif Tua dan seorang Ulama yang berasal dari Yaman bernama Tuan Syekh Ibrahim Bauzier mereka berdua terjun langsung ke daerah pedesaan dengan menggunakan media pelatihan pencak silat dan pengobatan akternatif.

Dengan penuh kebijaksanaan  Syarif Tua dan Syekh Ibrahim Bauzier (seorang Ulama dari Banyuwangi asal Yaman) menjadi tokoh sentral dalam memajukan perkembangan Islam, dan juga  beliau-beliau adalah merupakan tabib-tabib berpengalaman dan kenamaan di kalangan rakyat kecil.

Mereka tak kenal lelah menyusuri jalan setapak masuk ke wilayah pedesaan -pedesaan di mana orang-orang meminta pertolongan dari penyakitnya dan mengajarkan Hikmah falsafah Islam tanpa pilih kasih. Pengobatan yang cukup mujarab yang diberikannya cuma-cuma / serba gratis pada mereka tanpa suatu imbalan jasa, maka pada akhirnya bersimpatilah sekian banyakrakyat kecil terhadapnya. Makin percaya pula rakyat terhadap kebenaran Agama Islam terutama di pedesaan-pedesaan misalnya di daerah pantai Ketapang-Kombading (asal kata orang “mebading”) artinya kaum beragama Hindu Bali beralih ke Agama Islam.

Dengan situasi seperti ini hingga akhirnya Raja Anak Agung Putu Ngurah makin menaruh kecurigaan  terhadap aktifitas dan segala kegiatan Syarif Tua dan Syekh Bauzier, lalu secara halus melarang orang-orang Bali Hindu beralih Agama lain perantaraan Ida Pedanda Agung (semacam penghulu dalam Islam), berdasarkan Hukum Adat Istiadat yang berlaku.

Di kalangan kaum Sudra (rendah) istilah lain Jaba yang terdiri dari petani-petani miskin, pertukangan, nelayan-nelayan, banyak yang masuk Agama Islam meskipun  dicabut Hak ahli warisnya, ataupun  dikeluarkan dari Kerama Desa.

Namun mereka dalam Islam kaum mu’allaf ini dipandang sederajat tanpa perbedaan-perbedaan kasta diterima dengan baik di masyarakat pedesaan Islam. Demikian pula terhadap gadis-gadis yang diIslamkan karena perkawinan-perkawinan mempunyai status yang sama. Wallahua’lam bis shawab.

Oleh: Drs. H. Bagenda Ali, M.M/Penulis Buku AWAL MULA MUSLIM DI BALI

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »