ASWAJADEWATA.COM |
Oleh Zainul Arifin
Manusia memang diciptakan untuk berbeda. “Lain kepala lain isi” sudah menjadi istilah yang lumrah bagi kita. Ulama Khalaf dan Salaf pun tak lepas dari perbedaan. Sehingga muncullah berbagai madzhab yang di kuatkan dengan berbagai hujjah (argument) yang didapat dari Al Qur’an dan Hadits untuk menguatkan pandangan dan pemikiran mereka. Sebagian ulama mengatakan hukum tentang ini haram, ulama lain mengatakan boleh, dan yang lain mengatakan makruh saja.
Perbedaan ini di picu karena ada beberapa faktor. Pertama, karena Bahasa Al Qur’an bersifat global. Sehingga memunculkan berbagai perspektif dan penafsiran. Kedua, berbedanya kondisi dan situasi yang terjadi di suatu daerah atau negara. Ketiga, adanya latar belakang keilmuan yang dikuasai oleh ulama. Ulama ahli Hadits (muhadditsin) akan lebih mengedepankan pemikiran mereka dengan hal-hal yang pernah dilakukan atau dikatakan oleh nabi dari pada memandang budaya masyarakat lokal. Ulama ahli Ra’yi (mengikutsertakan akal) pasti akan memperhatikan sebab akibat, budaya, dan tradisi masyarakat lokal.
Berbeda dengan saat ini, ulama terdahulu memahami bahwa perbedaan itu adalah rakhmat. Sehingga tak khayal mereka saling menghormati perbedaan tersebut. bahkan ada cerita yang masyhur al imam Asysyafi’I tidak melakukan doa qunut saat solat subuh tatkala berkunjung ke al Imam Abu Hanifah lantaran beliau menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal beliau sendiri mengatakan bahwa qunut merupakan Sunnah ab’ad yang apabila lupa atau tidak dikerjakan harus di ganti dengan sujud sahwi. Ulama terdahulu begitu indah memahami perbedaan itu, tanpa adanya rasa takut kehilangan kehormatan tatkala menghargai ulama lain.
Tradisi salin menyalin kitab dari Matan menjadi syarh, syarh menjadi hasyiyah, dan khasyiyah menjadi mukhtashar (ringkasan), mukhtashar jadi syarh, syarh jadi hasyiyah, sampai jadi mukhtashar kembali dan begitu seterusnya merupakan bukti tertulis betapa adanya perbedaan ulama itu merupakan sebuah tradisi sejak dahulu. Sehingga dari tradisi ini pula dapat diketahui berbagai hal termasuk sanad keilmuan yang semuanya bersumber pada Nabi Muhammad SAW.
Saat ini, tradisi tersebut sedikit demi sedikit habis. Bahkan ada sekelompok orang yang tidak lagi mau mengakui dan mengikuti sanad kelimuan. Kelompok ini berpendapat kita harus kembali langsung kepada sumbernya. Padahal kemampuan kita semakin terbatas untuk memahami agama melalui sumbernya langsung. Hal inilah yang memicu adanya takfir, ketika ada orang lain yang tak sepahaman dengan mereka. Mereka beralasan, karena orang tersebut tak mau dan mengingkari Al Qur’an dan Hadits. Di samping itu, mereka menganggap bahwa pendapat merekalah yang paling benar karena mereka langsung merujuk kepada al qur’an dan hadits. Oleh karena itu, sikap langsung memvonis, menyalahkan, dan menjustis merupakan sikap yang mereka tonjolkan. Mereka menganggap islam yang dipahami merekalah yang paling baik dan paling kaffah. Kebiasaan tradisi yang tak sesuai dengan islam menurut mereka langsung di labrak dan dianggap salah tanpa melakukan kajian terlebih dahulu.
Sebenarnya bagi kaum yang bisa menghargai perbedaan itu, pastilah perbedaan akan jadi rahmat bagi mereka. Suatu bukti tatkala ada kasus tertentu, kita bisa ambil pendapat dari berbagai pendapat ulama yang relevan dan cocok untuk kasus tersebut. maka dari itu, fitnah, perpecahan dan persaudaraan akan lebih terjalin dengan tetap memiliki pedoman yang mengacu pada sumber hukum aslinya. Bukti yang lain, dengan Bahasa Al Qur’an yang global, sebenarnya tuhan memang menghendaki kita untuk berbeda dan menguji kita seberapa besar bisa menghargai perbedaan tersebut.
(Penulis adalah Ketua Rijalul Ansor Kab. Buleleng, Bali)