ASWAJADEWATA.COM
oleh: Kiai Imam Nakha’i
Konon, Di malam Mi’raj, Nabi dianugerahi kewajiban shalat 50 rakaat. Di langit ke enam, ketika nabi hendak turun kembali kepada umatnya, beliau bertemu Nabi Musa, dan Nabi Musa bertanya yang intinya bahwa Nabi Muhammad saw dianugerahi kewajiban 50 rakaat. Mendengar itu, Nabi Musa menyarankan untuk kembali kepada Allah dan meminta agar dikurangi. Alhasil, akhirnya kewajiban shalat dikurangi menjadi 5 rakaat.
Mengapa Nabi Musa yang menyarankan? Bukan Nabi Ibrahim as yang berada di langit ke 7. Saya belum menemukan penjelasannya. Namun diduga kuat karena Nabi Musa dan ajaran yg dibawanya memiliki hubungan yang kuat dengan Nabi muhammad dan ajarannya. Al Qur’an seringkali mengidolakan Nabi musa, dibuktikan dengan banyaknya ayat ayat al Qur’an yang mengkisahkan nabi Musa ketimbang Nabi Nabi yang lain.
Bagi saya, kisah itu adalah desain Allah. Sebab saya yakin bahwa Allah pasti telah merencanakan bahwa kewajiban shalat ya 5 waktu itu. Tentu Allah maha Tahu, (dari pada nabi Musa) bahwa umat Muhammad saw tidak akan mampu jika diwajibkan 50 shalat. Saya justru menangkap pesan rahasia “bahwa Allah lebih mengutamakan kwalitas dari pada kwantitas”. 5 shalat yg dilakukan semata karena Allah lebih berkwalitas dari 50 shalat yang dilakukan untuk membuktikan keshalihan dihadapan kaumnya. Sebab itu diahir kisah Allah berfirman bahwa satu amal digandakan sepuluh pahalanya.
Dari kisah ini, muncul pertanyaan,? Sebelum kewajiban shalat 5 waktu itu, apakah nabi Muhammad tidak shalat? Kalau shalat gimana caranya? Mengapa shalat 5 waktu baru diwajibkan kurang lebih 10 tahun setelah kenabian, mengapa tidak sejak awal Islam hadir?
Pertama: Nabi Muhammad, sebagaimana Nabi nabi sebelumnya sesungguhnya telah melakukan sembahyang/ shalat. Al Qur’an mengkisahkan, bahwa shalat telah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim as, (Ibrahim:37 dan 40), Nabi Harun (Yunus:87), Nabi Isa (Maryam 31), Nabi Zakariya (Ali Imran 39). Bahkan Nabi Nabi yg lain juga diwajibkan melakukan shalat (Maryam 58). Namun tidak ada pejelasan yang tegas kapan waktunya dan bagaimana caranya. Namun ada informasi dalam al Qur’an bahwa Nabi Daud as sembahyang (tasbih) di waktu pagi dan sore.
Disebutkan dalam kitab kitab fiqih bahwa shalat 5 waktu adalah perjumpaan dari shalat Nabi nabi sebelumnya. Konon, Shalat Subuh adalah sembahyangnya Adam as, Dhuhur shalat Nabi Daud, Ashar Salatnya Nabi Sulaiman, Magrib Shalatnya Nabi Ya’qub, dan Isya shalatnya Nabi Yunus. Namun kisah ini bukan satu satunya pendapat. Sebab sebagaimana disebut, bahwa nabi nabi terdahulu telah melakukan sembahyang.
Sebagian ulama menyatakan, bahwa sebelum kewajiban shalat 5 waktu, kewajiban shalat bagi nabi nabi, termasuk Nabi Muhammad saw adalah 2 rakaat di waktu pagi dan sore saja. Mirip dengan ajaran salah satu agama leluhur di Sulawesi Selatan yang shalatnya adalah pagi dan sore dengan menghadap ke arah matahari terbit dan terbenam.
Bagaimana cara shalatnya? Tidak ada informasi yg Qhat’iy. Sebab itu kita tidak wajib mengetahuinya. Mengetahui dengan menduga duga boleh, tetapi jika tidak tahu, ya ndak papa, ora duso. Yang wajib diketahui adalah shalat 5 waktu yg sekarang ini. He he.
Kedua, mengapa Shalat baru diwajibkan setelah kurang lebih 10 Tahun setelah Nabi menerima ayat pertama “Iqra'”. Tepatnya tiga tahun sebelum Nabi Hijrah. Sama dengan puasa Ramadahan yg diwajibkan 2 tahun setelah hijrah, sedang Haji baru diwajibkan pada tahun ke enam hijrah, 16 tahun setelah kenabian.
Mengapa tiga kewajiban idola ini baru diwajibkan dibelakang hari, tidak sejak awal awal islam.? Sebab periode awal awal islam, tepatnya periode Makkiyah, Nabi membangun basis yg paling mendasar untuk membangun peradaban manusia, yaitu “Tauhid dan Etika-Moral”. Tauhid adalah basis, sebab dengan “tiada Tuhan selain Allah” berarti tidak boleh adalagi penuhanan kepada selainnya dan tidak boleh ada siapapun selainNya yang mengaku Tuhan. Sebab Menuhankan dan mengaku Tuhan selainNya adalah sumber kedhaliman dan penindasan.
Moral etika juga menjadi agenda awal islam, karena ia adalah jiwa, ruh, dan spirit agama. Tampanya, ritual ritual agama menjadi tidak bermakna. Nah, setelah tauhid dan moral etika kokoh, barulah ritual ritual agama diwajibkan sebagai “praksis”nya.
Kisah Isra’-Mi’raj memberikan pelajaran bahwa pertama: kwaliatas lebih penting dari kwantitas,. Kedua: Tauhid yang meniscayakan kesetaraan manusia dan etika moral yang meniscayakan perhormatan pada nilai nilai kemanusiaan haruslah menjadi basis ritual ritual agama. Tanpa keduanya ibadah apapun yg dilakukan adalah zonk, badan tanpa jiwa dan ruh.
Selamat ber Isra’ dan ber Mi’raj…
(Penulis adalah Dosen di Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo)