Friday 29th March 2024,

Akulturasi Budaya Mendorong Harmonisasi Islam – Hindu di Bali

Akulturasi Budaya Mendorong Harmonisasi Islam – Hindu di Bali
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: H. Bagenda Ali

Perlu dipahami bahwa hubungan interaksi sosial masyarakat di Bali khususnya Hindu-Islam sejak dahulu kala sudah terjalin erat. Ada berbagai upaya yang dilakukan tentunya baik oleh penguasa maupun masyarakat sendiri di beberapa komunitas perkampungan dalam rangka keharmonisan antara Hindu-Islam agar tetap abadi selamanya. Salah satunya adalah upaya terjadinya proses akulturasi budaya yang harus didorong supaya tetap berkembang dalam kedua komunitas ini.

Sebagai masyarakat pendatang dan memutuskan untuk menetap selamanya di Bali tentu mereka sangat penting melarutkan dan membaurkan diri dalam hubungan pergaulan, interaksi sosial serta integrasi sosial antar mereka yang didahului dan diprakarsai oleh para tokoh-tokohnya meskipun berlainan kepercayaan serta saling take and give di antara mereka termasuk dalam bidang budaya / tradisi masing-masing dengan demikian maka proses ini diharapkan akan munculnya nuansa keharmonisan dan menghilangnya kesan sekat-sekat yang memisahkan antara mereka.

Setidaknya ada dua hal yang mendorong terjalinnya hubungan harmoni antara ummat Hindu dan Islam dari dahulu hingga kini di Bali di antaranya :
1. Terjadinya Proses Akulturasi Budaya Lokal pada pribumi yang kemudian diadopsi oleh pendatang sehingga ada nuansa kesamaan.
2. Terjadinya Proses Genealogis( kawin mawin / ikatan kekerabatan) antara etnis Pendatang dengan Pribumi sehingga terjadi kedekatan darah.

Beberapa Akulturasi Budaya telah berproses di perkampungan Islam di Bali di antaranya dapat dilihat pada kampung- kampung yang warganya ikut menggunakan nama depannya seperti halnya orang Bali Hindu misalnya masyarakat di kampung Pulukan, Medewi, Yeh Sumbul dan Air Kuning di Jembrana demikian juga kampung Pegayaman di Buleleng serta kampung Kusambe di Klungkung terakhir di kampung Saren Jawa di Karangasem nama depannya warga mereka menggunakan nama seperti nama Wayan, Made, Nyoman dan Ketut atau nama padanannya seperti Putu, Nengah, Komang dan seterusnya
Meskipun pada umumnya mereka tidak menggunakan Huruf I atau Ni di awal nama untuk membedakan jenis kelamin yaitu I untuk laki-laki dan Ni untuk perempuan.
misalnya Ketut Abdullah, Wayan Syaifuddin, Kadek Hadijah dan lainnya adalah bentuk akulturasi budaya di antara mereka dari aspek identitas personal di perkampungan Islam.

Demikian pula dengan akulturasi budaya pada tradisi masyarakatnya misalnya tradisi Megibung (makan bersama) adalah tradisi asli ummat Hindu di Bali namun di kampung Kepaon Denpasar misalnya ternyata mereka memiliki tradisi serupa yang merupakan asli tradisi Hindu Bali yang diakulturasi dari sejak jaman dahulu kala sudah menjadi tradisi yang dilakukan juga oleh warga muslim di masjid Muhajirin Kepaon tersebut terutama di saat memasuki bulan Ramadhan yakni unsur Hindu juga ternyata ikut berkontribusi dalam mewarnai kehidupan ummat Islam di kampung Islam Kepaon Denpasar. Upacara-upacara semacam ini tetap terjaga di kampung ini dan biasanya juga dihadiri oleh tokoh-tokoh warga Hindu dan membaur jadi satu.

Di Kampung Singaraja Buleleng ada tradisi Bancakan yang juga diistilahkan dengan Megibung yaitu makan bersama yakni pada saat peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dilaksanakan. Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun dalam masa telah berabad-abad lamanya dengan acara makan-makan biasanya ada tersedia satu nampan nasi beserta lauknya yang diperuntukan untuk lima atau enam orang warga dan seterusnya dalam tradisi ini bukan hanya diperuntukkan untuk ummat Islam saja akan tetapi juga buat ummat Hindu yang hadir dalam acara itu.

Tradisi Ngejot (saling antar makanan) juga merupakan salah satu akulturasi Budaya yaitu tradisi yang diadopsi dari tradisi Hindu meskipun dalam Islam sendiri tradisi ini juga mirip adanya yang disebut dengan “tahaawud” (saling memberi hadiah) akan tetapi tradisi ngejot adalah tradisi asli warga Hindu di Bali yang juga ternyata dilaksanakan hampir di semua kampung Islam di Bali meskipun teknisnya bermacam-macam yang intinya saling sapa dan perhatian di antara warga Hindu-Islam terutama pada saat hari raya di kedua komunitas yang berbeda kepercayaan ini.

Pada jaman dahulu di kampung Candi Kuning Kec. Baturiti dan kampung Soko Kec. Penebel, Tabanan masyarakat Muslim juga menjalankan tradisi metatah/potong gigi padahal tradisi Metatah ini adalah budaya/tradisi ritual Hindu yang lebih dikenal dengan upacara Mepandes yaitu upacara ritual dengan memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan.

Ada juga Tradisi lainnya yang merupakan Akulturasi Budaya yang terjadi di Kampung Soko Kec. Penebel yakni pada saat upacara perkawinan warga Muslim mereka memiliki tradisi Ngelawar (membuat masakan khas Bali) yang diracik dan dimasak sendiri oleh warga Muslim meskipun bahan-bahannya terpaksa menggunakan daging ayam sebagai ganti dari daging babi karena yang diundang mereka bersama baik warga Hindu maupun Islam untuk menikmati masakan lawar dari bahan ayam itu.

Interkoneksi budaya lainnya dalam proses akulturasi budaya bidang pakaian adat dan seni antara lain terjadi di Kampung Islam Pegayaman Buleleng beberapa kegiatan adat atau seni pakaian adat Bali ternyata dipakai juga oleh pemainnya misalnya pada kesenian Burdah di kampung Islam ini seluruh pemainnya menggunakan udeng dan kamben yang merupakan pakaian adat asli masyarakat Hindu di Bali sehingga mereka terkesan sangat mirip dalam penampilan.

Proses akulturasi budaya yang paling terlihat kental adanya adalah penggunaan bahasa Bali di beberapa kampung Islam di Bali bahkan ada di kampung Islam yang warganya sudah tidak menggunakan lagi bahasa ibunya akan tetapi seratus persen mereka menggunakan Bahasa Bali tidak jarang di beberapa kampung Muslim pendatang tak seorang pun dari mereka yang tahu bahasa ibunya sama sekali sehingga sepintas kilas tak ada bedanya jika dilihat fisiknya mana warga Muslim dan mana warga Hindu oleh karena mereka sama-sama berbahasa Bali. Bahkan di kampung Pegayaman Buleleng sejak dahulu pengajian agama Islam sepenuhnya menggunakan bahasa Bali seperti saat ulamanya mengadakan pengajian secara bandongan di masjid para santri mengartikan kitabnya dengan bahasa Bali misalnya pengajian kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, Sullam Taufiq dll. yang pada umumnya di tempat lain pakai bahasa Indonesia.

Upaya harmonisasi lainnya di pihak Hindu misalnya ada upaya tokoh-tokohnya melestarikan budaya menghormati keberadaan tradisi nenek moyangnya yang mengandung ciri dari unsur Islam misalnya ada Pura Langgar dikenal juga dengan nama Pura Dalem Jawa Penataran Agung yang ada di desa Bunutin Bangli yang sampai hari ini masih diabadikan. Tradisi di Pura Langgar ini ada yang dikenal istilah pemotongan hewan kurban layaknya pada hari Idul Adha bagi muslim namun pemotongannya dilaksanakan pada waktu hari tilem (bulan mati) sasih kawulu satu bulan sebelum perayaan Nyepi dan yang dipotongpun bukan babi namun berupa godel bang (anak sapi berwarna merah), ayam atau bebek. Acara-acara yang dilaksanakan di pura ini juga biasanya dihadiri oleh ummat Islam yang ada di Bangli.

Adapun Tradisi Ngusaba Tipat di beberapa kampung Muslim di Karangasem adalah merupakan Akulturasi Budaya dalam bidang ritual oleh karena ummat Muslim melaksanakannya juga padahal upacara ini asalnya adalah Upacara ritual ummat Hindu meskipun di masyarakat muslim ada sedikit perbedaan dari segi pelaksanaan ritualnya yang intinya sama sama bertujuan mengungkapan rasa syukur oleh para petani atas hasil panen yang melimpah yang dianugerahi oleh Tuhan.

Di bidang pertanian di perkampungan Islam juga diwarnai Akulturasi budaya antara lain adanya penggunaan sistem Subak sebagai tradisi asli ummat Hindu di Bali pada tata kelola pengairan yang berlaku juga di perkampungan Muslim tidak jarang Warga Hindu yang justeru menjadi ketua Subak di perkampungan Muslim dan juga sebaliknya seperti di Kampung muslim desa Yeh Sumbul Kec. Mendoyo, di kampung muslim desa Pulukan dan Desa Medewi di Kec. Pekutatan Kabupaten Jembrana dan di tempat yang lainnya di Bali.

Ternyata akulturasi budaya tidak hanya terjadi pada tradisi dan ritual saja pada masyarakat antara Hindu-Islam di Bali. Bahkan kini sudah merambah pada model bangunan khususnya rumah ibadah baik bentuknya maupun ornamennya. Tidak sedikit bangunan masjid di Bali yang berbentuk limas seperti candi dan ukiran Bali yang menghiasi pintu gerbangnya salah satu contoh adalah Masjid Al Hikmah yang beralamat di Jalan Soka, Kesiman, Kota Denpasar, Bali masjid ini berdiri dengan mempertahankan arsitektur khas Bali. Tujuannya agar tanpak keharmonisan tetap terjaga di antara dua komunitas yang berbeda agama yang berdiam di kawasan ini.

Pada jaman dahulu kala hal yang juga mendorong kedekatan dan keharmonisan antara orang Muslim dan Hindu di beberapa kampung di Bali juga karena adanya hubungan guru dan murid khususnya dalam dunia persilatan dan perdukunan yang populer di jaman itu. Tidak jarang seorang Guru ilmu kanurangan dari Muslim mengajarkan kepada murid muridnya yang beragama Hindu tentang kekebalan atau jurus jurus silat tenaga dalam dengan menggunakan amalan atau mantra yang justru berasal dari kalimat toyyibah bahkan ada ayat al Qur’an yang sakral dalam Islam oleh karena amalan itu yang harus diamalkan oleh mereka, pada umumnya murid murid yang berasal dari Hindu ini berhasil mentransfer ilmu dari Gurunya yang Islam dan sangat patuh kepada Sang Guru. Hubungan batin antara Guru dan murid ini kemudian menjadi keakraban tersendiri oleh banyak pengikut ( murid) mereka di kedua belah pihak baik Islam maupun Hindu dan saling menghormati satu sama lain.

Memang harmonisasi akibat terjadinya asimilasi ( pembauran ) di antara mereka yang paling terlihat cepat adalah melalui jalur proses Genealogis ( kawin-mawin / hubungan kekerabatan) antara ummat Hindu dan Islam hal ini sudah diawali di jaman kerajaan dahulu banyak keluarga Puri/Kraton di Bali yang kawin dengan pendatang muslim yang kemudian menurunkan keturunan yang meskipun mereka ada yang menjadi warga Hindu dan ada juga terpaksa ikut menjadi warga Muslim dari keturunan mereka inilah yang kemudian menjembatani hubungan kekeluargaan di antara keduanya dari dahulu sampai saat ini oleh karena yang pasti mereka akan diterima di kedua belah pihak karena sama–sama menjadi keturunannya.
Bisa kita saksikan di wilayah puri Karangasem misalnya ada beberapa kampung muslim yang warganya banyak yang berasal dari keluarga puri misalnya di kampung Dangin Seme dan di kampung Nyuling yang berarti asal mereka adalah keluarga puri yang beragama Hindu kemudian kawin dengan warga pendatang suku Sasak dari Lombok jadilah mereka sebagai warga Muslim sekaligus keturunan dari puri Karangasem. Hal serupa juga terjadi di Kerajaan Jembrana Bahkan di Puri Singaraja ada seorang putra Mahkota kerajaan yang sempat kawin dengan wanita muslimah yang telah melahirkan beberapa banyak keturunan .

Inti harmonisasi Hindu –Islam di Bali yang selama ini sudah berlangsung sejak dari dahulu kala yang sudah berjalan selama berabad-abad lamanya adalah terjadi dengan cepat karena adanya dorongan proses akulturasi Budaya dan proses Genealogis( kawin mawin / hubungan kekerabatan) antara etnis Pendatang Muslim dan Etnis pribumi Hindu dan akulturasi budaya yang berproses di tengah lingkungan Muslim dengan mengadopsi tradisi lokal oleh para pendatang namun tetap mengacu pada patron Syari’at Islam agar tak mengundang kontradiktif dengan agama yang dilaksanakan dan diyakini bagi warga Muslim di perkampungan-perkampungan mereka di Bali.
Wallahua’lam Bis Shawab.

(H. Bagenda Al adalah penulis buku Asal Mula Muslim di Bali)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »