Saturday 20th April 2024,

Al-Imam Rabi’ah: Mulia Karena Ilmu, Bukan Karena Keturunan

Al-Imam Rabi’ah: Mulia Karena Ilmu, Bukan Karena Keturunan
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

PEREMPUAN itu lagi hamil saat suaminya pergi. Sebagai istri salihah, ia rela dan ikhlas melepas kepergian sang suami karena ia pergi bukan untuk plesiran. Farrukh, demikian nama lelaki itu, pergi untuk memenuhi panggilan jihad fi sabilillah di negeri Khurasan. Sebelum pergi, terlebih dahulu ia menyerahkan pundi-pundi berisi emas senilai 30.000 dinar kepada istrinya sebagai nafkah.

Cukup lama Farrukh berjuang berdarah-darah di medan jihad. Setahun, dua tahun, bahkan berpuluh tahun berlalu tanpa jelas kabar beritanya, sementara istrinya di belakang telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberinya nama Rabi’ah. Maka wajarlah jika keluarganya menduga dia telah menjadi syahid di medan jihad. Tetapi, ternyata dugaan itu tidak benar karena suatu saat kelak dia pulang dalam keadaan tetap sehat segar bugar, masyaallah Dan di sinilah suatu keajaiban terjadi. Berikut kisahnya (Maaf, agak panjang dikit ya?)

Setelah 27 tahun lamanya di medan jihad, Farrukh pulang ke rumahnya di Kota Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Madinah. Dengan fisik tetap gagah ksatria, ia turun dari kudanya dengan memegang sebatang tombak di tangan kirinya. Lalu, tanpa ragu ia menyodokkan tongkatnya ke pintu rumahnya. Karuan saja Rabi’ah yang sedang duduk di dalam rumah itu kaget tak kepalang tanggung. Kontan saja ia membentak,

“Hai musuh Allah, kau melabrak rumah kami? Sungguh kurang ajar!!!”

“Justru engkau yang kurang ajar!”, balas Farrukh. “Engkau telah masuk ke dalam rumahku dan melanggar kehormatan rumah tanggaku!”

Tak pelak lagi, kericuhan dan pergulatan antara keduanya pun tak terelakkan. Para tetangga kanan-kiri berdatangan untuk mencari tahu apa pasal keributan yang terjadi. Tak ketinggalan pula Imam Malik ibn Anas rahimahullah, sang pendiri Mazhab Maliki dan tokoh sentral Kota Madinah kala itu, juga datang. Rabi’ah tak henti-hentinya berkata: “Demi Allah, aku tak akan melepaskanmu kecuali di hadapan Sri Sultan.”

Sementara Farrukh juga berkata: “Aku pun tak akan melepaskanmu kecuali di hadapan Sri Sultan karena engkau telah tinggal serumah dengan istriku.”

Suasana jadi kacau dan nyaris tak terkendali. Tetapi begitu Imam Malik tiba di lokasi, suasana jadi senyap seketika. Imam berkata pada Farrukh: “Hai Pak Tua, rumah lain selain rumah ini siap menampung anda.”

“Lha, ini rumahku kok,” jawab Farrukh. “Aku ini Farrukh, maulanya bani fulan,” lanjutnya.

Mendengar pernyataan terakhir ini, istri Farrukh yang sejak tadi berada di dalam kamar terperanjat dan segera beranjak keluar. Ia terperangah saat melihat sosok suaminya di hadapannya, “Lha, ini suamiku,” katanya setengah berteriak. Lalu sambil menunjuk pada Rabi’ah, “Dan ini anaknya yang ditinggalkannya saat masih dalam kandungan.”

Mendengar pernyataan ini keduanya pun saling berhamburan satu sama lain dan berpelukan erat. Erat sekali. Karuan saja suasana berbalik jadi haru. Sejenak kemudian, bapak, ibu dan anak itu masuk ke dalam rumah.

“Jadi ini anakku ya? Masyaallah,” kata Farrukh bangga sembari memandangi sekujur tubuh Rabi’ah.

“Iya,” jawab sang istri.

“Baik, coba keluarkan harta yang ada padamu. Dan aku bawa sekarang 4.000 dinar lagi.”

“Harta aku simpan dengan baik, akang, dan beberapa hari lagi akan aku keluarkan.”

Setelah itu Rabi’ah keluar ke halqahnya di

Masjid Nabawi untuk mengajar. Halqah adalah sebutan untuk sebuah forum pengajian di mana guru duduk di kursi atau di lantai, sementara murid-muridnya membentuk setengah lingkaran di hadapannya. Tampak Imam Malik dan beberapa ulama serta tokoh-tokoh Madinah lainnya, al. Ibn Abi Ali al-Lahabi, Al-Masahiqi, menyempatkan diri hadir ke halqah itu. Satu hal yang menunjukkan sikap hormat mereka terhadap Rabi’ah dan halqahnya.

Tak lama kemudian, atas saran istrinya,

Farrukh pun keluar ke masjid untuk shalat. Tiba di sana, sebuah halqah besar menyita perhatiannya karena dihadiri sangat banyak orang. Farrukh mendekat ke halqah itu, lalu berdiri di belakang para santri, sementara sang guru mengajar sambil menundukkan kepala.

“Siapa syaikh ini,” bisik Farrukh pada salah seorang santri.

“Ini Syaikh Rabi’ah ibn Abi Abdirrahman,” jawab si murid.

Farrukh ternganga nyaris tak percaya,

“Haaa… ini Rabi’ah? Masyaallah, Allah telah mengangkat derajatmu, anakku,” batinnya.

Pulang dari masjid, Farrukh berkata pada istrinya, “Ternyata anakmu kini, masyaallah, dalam posisi sangat terhormat yang tak diperoleh oleh ulama lain yang mana pun di kota suci ini.”

“Nah, sekarang mana yang lebih kau sukai, harta senilai 30.000 dinar itu atau apa yang kau lihat di masjid tadi?”

“Ya pasti yang kulihat tadilah.”

“Nah, sekarang kukatakan bahwa 30.000 dinar itu telah ku habiskan semuanya untuk membiayai pendidikan anakmu itu.”

“Subhanallah, sungguh kau telah mendermakan harta itu dengan sangat tepat. Terima kasih, sayang.”

Dan keduanya pun berpelukan erat. []

 

Oleh: KH. Zainul Mu’in Husni (Rais Syuriyah PCNU Situbondo)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »