ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Zainul Arifin
“Kembali kepada Alqur’an dan Hadits”, jargon inilah yang sering kita dengar belakangan ini. Sepintas kalimat itu memang benar dan tak ada yang bisa menyangkalnya. Karena Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber hukum dan sumber pokok ajaran agama Islam. Bahkan jika berani mengingkarinya, kita bisa digolongkan orang yang kafir.
Sehingga tak khayal jika kita yang sering menentang jargon tersebut dibilang kafir, anti Islam, tidak percaya Al Qur’an dan Hadits, dan seterusnya. Namun pemahaman Al Qur’an dan Hadits siapa yang perlu kita ikuti. Haruskah kita ikuti Al-Qur’an dan Hadits sesuai pemahaman dan kepentingan mereka, atau sesuai pemahaman dan tujuan kita sendiri yang pada akhirnya kita akan jual agama, promosi dagangan, bahkan berpolitik pun akan berbaju agama.
Memahami, menafsirkan, dan mengambil hikmah dari Al Qur’an dan Hadits bukan perkara mudah. Kita harus punya kemampuan untuk memahami dan menggali maksud Tuhan yang tertera pada ayat-ayat tersebut. Bahkan tak jarang kita jumpai di dalam kitab-kitab tafsir, pembahasan tentang ‘Basmalah’ saja sampai sekian halaman. Belum lagi maraji’ dan perpaduan antara hadits agar tidak bertentangan dengan ayat karena Al- Qur’an dengan bahasa globalnya (umum) tak bisa dipahami kecuali dengan adanya Hadits.
Di samping itu, ilmu lain yang perlu kita miliki untuk menafsirkan ayat Tuhan itu adalah ilmu alat yakni ilmu tentang tata letak kalimat yang biasa kita kenal dengan ilmu Nahwu-Sharf. Ilmu tentang gaya bahasa yakni ilmu Balaghah-Mantiq. Pertama kita harus kuasai ilmu-ilmu tersebut, agar kita bisa mengetahui mana ranah Ilmu Ushuluddin yang kaitannya dengan Tauhid dan mana ranah Ilmu Ushul Fikih yang ranahnya dengan kemaslahatan ummat.
Belum lagi kita harus memahami Sirah Nabawiyah (sejarah Nabi) agar kita bisa mengetahui dan memiliki gambaran situasi dan kondisi saat ayat itu di turunkan yang sering kita kenal dengan istilah Sababun Nuzul dan hadits itu di sampaikan oleh Baginda Nabi yang sering kita kenal dengan istilah Sababul Wurud. Di tambah ilmu Maqashidud Syari’ah yaitu penggalian maslahat (kebaikan) apa yang terkandung didalamnya. Karena Allah tak mungkin menurunkan ayat tanpa ada maslahat yang tersimpan di dalamnya.
Ambil saja satu contoh, kita sebagai orang awam saja tahu kalau sholat yang lima waktu itu wajib, dari mana kita tahu. Tentunya ada alqur’an dan haditsnya. Yang saya tanyakan adalah redaksi al qur’an yang langsung mengatakan “asshalatu waajibun” takkan ada. Yang ada hanya redaksi “aqiiimusshalah” itu saja. Andai kita tak punya dasar tentang memahami Al qur’an dari mana kita akan memahami kewajiban shalat itu.
(Penulis adalah Ketua Rijalul PC GP Ansor Buleleng)