Friday 04th October 2024,

Amanah Hari Santri 2021, Ketum PBNU Ajak Para Santri Refleksikan Kembali Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Amanah Hari Santri 2021, Ketum PBNU Ajak Para Santri Refleksikan Kembali Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Share it

ASWAJADEWATA.COM | 

Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj mengingatkan bahwa Islam di Indonesia pada dasarnya bersifat dinamis karena tidak berwajah tunggal dan selalu terbuka.

Hal tersebut disampaikan olehnya saat menyampaikan Amanah Hari Santri 2021: 1.000 Khatmil Qur’an pada malam Malam Puncak Amanat Hari Santri Nasional (HSN) 2021, yang ditayangkan secara langsung dan serentak melalui 500 lebih akun Youtube dan Facebook pada Jumat (22/10) malam.

Kiai Said Aqil Siradj dalam kesempatan tersebut juga mengajak para santri untuk merefleksikan kembali sejarah masuknya peradaban Islam di Indonesia yang saat itu kebudayaan Hindu dan Buddha telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan.

Kiai Said mengingatkan, islamisasi yang terjadi kala itu tumbuh melalui proses sosial budaya yang terjadi secara bertahap. “Namun uniknya, penyebaran Islam yang demikian cepat tidak mengindikasikan adanya cara-cara paksaan atau penaklukkan agama. Proses islamisasi nusantara tidak memunculkan pemisahan tegas antara Islam dan non-Islam, sebaliknya tradisi lokal Hindu, Budha dan Islam saling mengisi,” lanjutnya.

Dengan mengutip firman Allah, Said Aqil Siradj mengatakan bahwa setiap umat memiliki kebanggaannya masing-masing, baik itu bahasa, agama, maupun seni budayanya. Untuk itu, setiap orang harus saling menghormati dan tidak saling mencaci.

Islamisasi awal para Wali di Indonesia

Tak boleh dilupakan, bahwa sejarah menggambarkan karakter Islam yang dibawa oleh pendakwah tidak menekankan aspek hukum fikih semata, melainkan juga karakter sufi yang kuat sehingga masalah moral akhlak dan hakikat agama menjadi perhatian ulama Islam tasawuf.

“Islam sufi atau sufistik menekankan prinsip pokok agama seperti hubungan dengan Tuhan, menyempurnakan akhlak, dan keseimbangan hidup tanpa meninggalkan aspek syariat Islam,” kata Aqil Siradj.

Karakter inilah yang menurutnya menjadikan proses islamisasi menjadi lentur, namun berdampak bagi masa depan. Keluwesan itu dapat dilihat dari sikap para wali yang tidak melarang pertunjukan wayang sekalipun itu merupakan hasil karya pujangga Hindu, melainkan memodifikasi alur cerita dan memaknai kembali simbol dan karakter dalam narasi yang disampaikan.

Kelenturan lainnya, semisal dalam aspek politik di mana wali dan ulama terdahulu tidak membangun subordinat kekhalifahan Islam sebagaimana di Timur Tengah, melainkan meneguhkan kekuasaan penguasa lokal dengan mengangkat mereka sebagai pemimpin agama di wilayah masing-masing.

Keterbukaan para wali dalam menerima keragaman budaya pada akhirnya melahirkan pola pemahaman Islam yang kaya dan beragam. Namun bagaimana keterbukaan dan keberagaman itu dimaknai hari ini?

Islam di Indonesia Hari Ini, Refleksi di Hari Santri

Kiai Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam di Indonesia tidak pernah berkembang secara seragam.

“Munculnya keragaman dalam penghayatan Islam merupakan keniscayaan sosiologis dari proses interaksi kultural. Setiap kelompok dari berbagai strata sosial dan subkultur memiliki kekuasaan mengekspresikan pemahamannya sendiri. Hasilnya, masing-masing kelompok dengan sendirinya terdorong untuk bersikap moderat dalam beragama,” ujarnya.

Ia menggarisbawahi, sumbangan penting dari metode dakwah para wali dan ulama terdahulu adalah model keberagamaan yang plural, terbuka dan toleran terhadap peradaban Islam Nusantara yang sangat besar.

“Bahkan bisa dikatakan, ketika sikap beragama ini merupakan pilar kebudayaan santri Indonesia, berlandaskan prinsip pluralitas, keterbukaan dan toleransi, maka Indonesia akan mampu membentuk paham keislaman yang sangat kaya, tidak hanya terbatas pada model keberagamaan di Timur Tengah,” tandasnya.

Saat ini, umat Islam di Indonesia masih menemui tantangan dengan munculnya kalangan yang mempertentangkan kesesuaian tradisi tertentu dengan Islam. Inilah yang melahirkan lahirnya sikap menghakimi suatu tradisi dengan vonis sesat, syirik, bidah, bahkan kafir. Sikap ini merupakan hambatan serius bagi kemajuan kebudayaan di Indonesia.

“Sebuah bangsa akan lestari, langgeng, dan abadi karena ketinggian peradaban dan kebudayaannya. Ketika peradaban dan budaya mereka dekaden, maka bangsa itu akan lenyap dan sirna,” ujar Kiai Said.

Nasionalisme religius ala Indonesia

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said juga menanggapi isu pendirian khilafah dan pemecah-belah kelompok beragama yang masih terus diwacanakan. “Di sinilah upaya menjaga momentum Hari Santri dalam rangka menghidupkan komitmen hubungan antar agama dan negara harus dimaknai, diharapkan menjadi jembatan bagi arah baru transformasi politik dimana aspek-aspek terkait dengan negara Islam diakhiri,” katanya.

Yang wajib dilakukan oleh umat Islam khususnya ulama dan santri adalah meneguhkan nasionalisme yang substansial.

“Yaitu menegakkan politic civic seperti kesejahteraan, keadilan, kecerdasan kehidupan berbangsa. Isu-isu ini sudah seharusnya menjadi concern bagi elit pemerintahan dan tokoh agama,” terangnya lagi.

Terakhir, beliau menekankan kembali bahwa komitmen luhur pendiri bangsa Indonesia yang terus dipertahankan adalah kepercayaan bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, melainkan negara yang berdiri tegak berlandaskan prinsip religiusitas tanpa pelembagaan agama atau menjadikan agama sebagai konstitusi formal.

“Kebangsaan dan sistem kenegaraan NKRI dewasa ini bisa digambarkan dengan kata sederhana yakni nasionalisme religius yang bercita-cita mewujudkan kesejahteraan, kemajuan, dan keadilan,” tandasnya.

Mengutip Imam Ghozali, Kiai Said mengingatkan, kerusakan atau kehancuran agama dari orang yang membelanya tapi tidak dengan cara yang benar lebih besar dari kerusakan agama dari orang jelas-jelas memusuhi Islam. (*)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »