ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Muhammad Taufiq Maulana
Membangun dan menjaga eksistensi fikih minoritas butuh beberapa upaya. Akulturasi atau merawat tradisi lokal diantaranya. Termasuk upaya menjaga narasi sejarah, cakap memposisikan diri, dan menjalin komunikasi dengan masyarakat mayoritas. Untuk yang terakhir inilah yang dilakukan Gus Dur di Bali.
Maka terwujudnya fikih minoritas tidak cukup dengan hanya duduk membahas lalu memutuskan tentang problem muslim minoritas, tetapi lebih jauh lagi bagaimana bisa membangun fikih minoritas pada masyarakat mayoritas non muslim hingga menjadi sistem. Sebagaimana Gus Dur, tokoh yang dikagumi masyarakat Hindu Bali ini dengan sangat cerdas telah berhasil membangun sistem fikih minoritas di Bali. Tanpa menimbulkan gesekan samasekali antar penganut agama berbeda.
Bagaimana hal itu terjadi? Upaya Gus Dur ini tidak saja dilakukan dalam sehari, sebulan, atau setahun. Gus Dur sepanjang hidupnya giat menjalin komunikasi dengan masyarakat Hindu di Bali. Setiap datang ke Bali, Gus Dur lebih senang “main” ke puri, pura, ashram, dan bersilaturahim bersama para tokoh-tokoh Hindu. Upaya ini berhasil, dengan bukti masyarakat Hindu Bali sangat terkesan dengan “bahasa” Gus Dur itu. Hubungan batin Gus Dur dan masyarakat Bali menguat lebih dari sekedar sahabat, lebih tepatnya keluarga dekat.
Sehingga di Bali ini, jika menyebut nama Gus Dur, akan langsung diakui sebagai saudara oleh masyarakat Hindu. Bahkan ada istilah di sini, “Islam yang diterima di Bali adalah Islamnya Gus Dur”. Hal ini disampaikan oleh tidak sedikit masyarakat.
Tokoh-tokoh Bali saat menyampaikan pendapatnya tentang Islam yang baik, Islam yang toleran, pastilah Gus Dur yang disebut sebagai teladan. Kok bisa? Karena pinsip Gus Dur adalah kemanusiaan, kesetaraan, dan keharmonisan. Dekat dengan nilai nilai filosofi kehidupan adat yang berlaku di masyarakat Bali.
Sebagaimana dawuh Gus Dur yang populer, “Agama jangan jauh dari kemanusiaan” atau “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”, dan “Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan”
Sistem fikih minoritas tidak akan berhasil jika hanya dilakukan dengan “duduk” saja, tetapi harus dibarengi blusukan untuk “menyapa dan ngopi bersama” sebagaimana yang telah dilakukan Gus Dur.
Maka dengan dibangunnya pola komunikasi yang baik antara minoritas dan mayoritas, fikih yang menjadi dasar beragama bagi muslim minoritas yang tidak hanya menjadi pedoman bagi muslim sendiri. Tetapi juga dapat menjadi pedoman bagi mayoritas non muslim untuk bersikap.
Maksud sistem fikih minoritas adalah kepahaman mayoritas terhadap minoritas dalam beragama. Jika hal ini terbangun, maka bisa dipastikan akan terwujud keramahan mayoritas terhadap minoritas. Wujud akhir dari semuanya adalah kesalingan yang membentuk keharmonisan.
(Sekedar diktat Halaqah Fiqih Peradaban di Buleleng 19 November 2022)