ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Adjie Tara Syaputra
Pembunuhan merupakan salah satu dari tindak kriminal. Bahkan pelaku pembunuhan tidak dapat lagi disebut sebagaimna manusia yang seutuhnya, karena manusia yang sudah pernah melakukan pembunuhan kepada sesamanya tak ubahnya seperti penguasa rimba yang tidak memiliki akal dan hati nurani.
Di Indonesia tindak kriminal pembunuhan masuk ke dalam kategori hukum pidana. Dan di negara Indonesia tindak krimininal pembunuhan telah diatur dan tertera di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 338 yang berbunyi “Barang siapa yang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”.
Ini hukum di negara Indonesia. Yang dikenai hukum hanya pelaku tidak dengan korban pembunuhan. Namun, di dalam agama Islam pidana atau hukuman tindak kriminal pembunuhan tidak hanya dibebankan kepada pelaku, tetapi juga dibebankan kepada korban. Ketetapan ini didasari berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw:
الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ
“Pelaku dan korban pembunuhan keduanya sama-sama masuk neraka”.
Kutipan hadis ini sering didengar di kalangan Pesantren yang bernotabene salaf atau di dalamnya terdapat kajian kitab turats klasik. Jika dilihat secara sekilas, secara dzahir nash, maka pelaku dan korban pembunuhan apa saja, seperti apapun bentuknya atau dasar penyebabnya, semuanya akan masuk ke dalam kutipan hadis ini. Namun, sebenarnya pada hadis ini masih ada kalimat sebelum dan lanjutan setelahnya. Di dalam Sunan Ibnu Majah salah satu dari tujuh kitab rujukan mengenai hadits disebutkan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ؛ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ” قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: “إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ”.
“Menceritkan kepada kami Ahmad Bin Sinan, menceritakan kepada kami Yazid Bin Harun dari Sulaiman At-Taimi dan Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qatadata dari Al-Hasan dari Abi Musa, Abi Musa berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila ada dua orang muslim saling menyerang menggunakan pedang keduanya, maka orang yang membunuh (pelaku) dan orang yang dibunuh (korban) sama-sama masuk neraka”. Lalu para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah ini pelaku, lalu bagaimana hukuman untuk korban sama seperti pelaku?”. Rasulullah menjawab: “Karena dia (korban) juga ingin membunuh musuhnya (pelaku).”.”
Imam Al-Khattabi di dalam kitab Fathul Bari Jus 12 halaman 197 berpendapat bahwa “Ancaman dalam redaksi hadis di atas berlaku bagi orang yang melawan musuhnya dalam perkara yang sifatnya duniawi atau berusaha mendapatkan kepemilikan. Sementara orang yang melawan pemberontak atau menghindari ancaman lalu terbunuh, maka tidak termasuk ke dalam ancaman ini. Karena syariat melegalkan untuk melawan pemberontak atau menghindari ancaman musuh”.
Syekh Sihabuddin Ar-Ramli penutup ahli tahkik di Mesir, Hijaz dan Syam di dalam Syarah Sunan Abi Daud Juz 17 halaman 12 juga memaparkan penjelasan yang sama seperti Syekh Al-Khattabi, hanya saja ada tambahan dari beliau tentang perlawanan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi tidak termasuk dalam ancaman ini.
Dari kutipan hadits di atas dan penjelasan dari para ulama dapat disimpulkam bahwa yang masuk ke dalam kategori الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ adalah ketika pelaku dan korban pembunuhan sama-sama berniat untuk membunuh, dan perlawanan untuk mendapatkan perkara yang sifatnya duniawi.
Sehingga ketika korban melakukan perlawanan untuk perkara yang sifatnya agama, melawan pemberontak atau hanya melakukan pembelaan dan tidak ingin membunuh, maka tidak masuk ke dalam kategori potongan hadits ini.
(Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnian Jember)