Berpuasa di Era Disruptif

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM | 

Oleh: Dadie W. Prasetyoadi

Menahan lapar dan dahaga adalah ritual ibadah utama saat bulan suci Ramadhan. Secara biologis tujuannya agar manusia menahan nafsu badaniyah selama sebulan penuh sembari menjalankan ibadah lain untuk lebih meningkatkan kedekatan spiritual kepada sang Khaliq.

Layaknya laku meditasi yang mengistirahatkan sebagian organ tubuh, puasa menumbuhkan kesadaran diri manusia atas keberadaannya selaku hamba ciptaan Allah SWT. Selain itu puasa juga meningkatkan pola interaksi antar sesama umat manusia menjadi lebih baik dan humanis. Dengan menahan segala ephoria emosional, seseorang dapat mudah berempati, saling menghargai, hingga tanpa disadari terpupuk tenggang rasa sosial diantara mereka.

Dibalik rewards surgawi yang telah dijanjikan oleh Allah SWT atas umatnya yang menjalankan ibadah spesial ini, nyatanya tidak semua dan memang sangat sulit dihindarkan masih banyak yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga belaka. Diistilahkan dalam banyak teks dalil sebagai golongan yang merugi, atau “zonk”.

Era disrupsi teknologi saat ini dengan segala bid’ahnya mungkin telah membuat sebagian kebutuhan hidup manusia menjadi lebih mudah dijalani. Penulis menyebut bid’ah karena pada masa Nabi banyak hal yang terpikirkan orang pun waktu itu rasanya tidak, sekarang ini menjadi prilaku keseharian kita. Seperti pemanfaatan Artificial Intelligent (kecerdasan buatan), Virtual Reality (realitas maya), yang kini hampir semua orang melakukannya. Namun siapkah kita untuk menerima itu semua sebagai faktor handicap tambahan dalam ibadah puasa kita?

Dengan gadget yang tak pernah lepas dari genggaman kita, semua informasi dan interaksi yang dilakukan atasnya menjadi sangat personal. tak ada kontrol sosial secara langsung terhadap penggunanya yang bisa mengingatkan bahwa kita sedang menjalani ibadah suci.

Terutama saat bersosial media yang sarat konten hiburan dan berita beraneka ragam. Bayangkan saja, dengan sekali klik kita bisa terbawa larut dalam suasana marah, sedih, atau senang lewat sebuah postingan. Tak jarang pula kita tak kuasa menahan diri untuk berkomentar. Celakanya, jika komentar-komentar yang terlontar tersebut memunculkan perdebatan panas netizen yang berlanjut menjadi saling caci, saling hina, dan saling merendahkan diantara mereka. Belum lagi jika akhirnya hal itu menjadi topik ghibah saat berbuka puasa bersama orang-orang terdekat.

Jika kita perhatikan, umat generasi akhir zaman ini rasanya mungkin akan lebih berat menjalani ibadah puasa Ramadhan daripada umat-umat terdahulu. Kesadaran diri yang paripurna sangat dibutuhkan ketika bersinggungan dengan realitas maya karena segalanya sangat tak terukur.

Pun demikian juga, kecakapan digital dan olah emosional harus selalu ditingkatkan untuk membentuk standarisasi cara bersikap, agar kita tidak dengan mudah terjerumus didalamnya terutama saat berpuasa. sehingga menjadikannya ibadah yang sia-sia. Karena mau tidak mau, siap tidak siap, kita semua harus menjalaninya.

Wallahu a’lam

diunggah oleh:

Picture of Aswaja Dewata

Aswaja Dewata

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »