Bertahan di Tengah Badai Fitnah

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM – Jangankan disaat sekarang dimana kebenaran dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai kepentingan dan ambisi politik, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (Infokom), badai fitnah sudah terlebih dahulu melanda para pemimpin pemerintahan Islam di penghujung zaman Khulafaur Rasyidin.

Tercatat dalam sejarah Islam kemelut dalam pemerintahan jelang terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.

Berawal dari Abdullah bin Saba’, seorang oposan dan pemberontak yang terus melakukan provokasi pada ummat Islam untuk melakukan makar dan melawan semua kebijakan khalifah Utsman, dimana provokasi dilakukan dengan menggunakan ayat-ayat Qur’an.

Seperti yang tercatat dalam riwayat bahwa saat Khalifah Utsman membuat kebijakan tentang pembatasan ladang bagi umum untuk unta-unta sedekah, kelompok Abdullah bin Saba’ mendatanginya dan menentang keputusan itu dengan menggunakan QS. Yunus 59 sebagai alat legitimasi.

Dengan garangnya mereka bertanya kepadanya,  “Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah engkau telah mendapatkan izin dari Allah untuk melakukan hal ini? Engkau telah melakukan tindakan yang mengada ada terhadap hal yang tidak ditentukan Allah.”

Seperti dikatakan oleh para ahli sejarah, Khalifah Utsman dengan tenang menjawab, “Ayat tersebut diturunkan dalam konteks yang lain, bukan dalam masalah seperti ini. Umar bin Khatthab sudah melakukan hal ini sebelumnya. Dia membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat lalu aku menambahnya untuk unta sedekah yang semakin banyak”.

Para oposan yang telah terkungkung oleh teks dan mabok agama ini tak dapat menerima penjelasan sang Khalifah dan terus menerus melakukan tindakan provokasi dengan mengobarkan fitnah dan permusuhan terhadap pemerintah sah seraya mengobral ayat-ayat al Qur’an yang berujung dengan terbunuhnya sang Khalifah sahabat Nabi Saw ini, dan tercatat sebagai korban pertama dari aksi demonstrasi sepanjang sejarah Islam

Tak berbeda dengan Khalifah Utsman, Sayyidina Ali bin Abu Thalib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Rasulullah Saw mengalami perlakuan yang sama dan wafat di tangan Abdurrahman ibn Muljam. Seorang muslim yang digambarkan oleh sejarawan Islam, Adz-Dzahabi, sebagai sosok ahli ibadah, hafal dan ahli baca Qur’an, hingga mendapat julukan al-Muqri’.

Disini dapat dilihat bahwa fitnah dapat menimpa siapa saja dan berasal darimana saja. Pemahaman keagamaan yang tekstual skripturalis telah menimbulkan sikap keras pada diri Ibn Muljam, sehingga menganggap sayyidina Ali sebagai orang kafir yang layak dibunuh karena tidak menjalankan hukum Islam.

Alangkah berbahayanya fitnah yang dibiarkan dan terus menerus dilakukan, ditambah dengan dalil-dalil agama yang disampaikan secara serampangan seperti yang sekarang banyak terjadi di Indonesia.

Indikasi  ini menunjukkan bagaimana peran agama mulai dikerdilkan dengan semakin gampangnya para ‘ustadz’ dan ‘ulama’ mengobral ayat-ayat al Qur’an serta mempengaruhi orang-orang awam untuk menolak keberadaan pemerintah sebagai Ulil Amri yang wajib ditaati selama tidak menggunakan kekuasaannya untuk hal-hal yang membawa mafsadat.

Menempatkan al Qur’an sesuai kesuciannya dan menjadikannya panduan agung universal untuk beribadah kepada Allah SWT haruslah menjadi pedoman setiap muslim dalam berlaku agamis, tidak hanya sekedar tekstual namun harus lebih menyelami konteks yang dicerminkan secara aktual dalam kehidupan sehari-hari.

menurut Al Zastrow Ngatawi, seorang budayawan dan dosen Pasca sarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan untuk membendung fenomena tersebut seperti yang termuat di laman NUonline

Para ulama telah melakukan upaya membendung politisasi ayat yang melahirkan sikap intoleran dan destruktif ini. Mereka menyusun berbagai argumen dan pemahaman teologis yang juga bersumber dari al-Qur’an dan hadits untuk melawan tindakan kekerasan atas nama agama ini.

Paham keagamaan tekstual puritan yang radikal dan intoleran ini terus menggerogoti pemikiran dan kesadaran umat Islam. Seperti virus dan racun menggerogoti saya tahan tubuh.

Seperti halnya melawan virus dan racun dalam tubuh, maka untuk melawan pemahaman tekstual puritan yang intoleran dan penuh kekerasan diperlukan daya tahan diri yang kokoh melalui penanaman ideologi Islam yang rahmatan lil’alamin. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mensosialir secara massif pemahaman keagamaan yang toleran, manusiawi dan penuh kedamaiaan.

Kedua, membangun keadaban kritis masyarakat terhadap penggunaan simbol, ritual dan ayat ayat suci dalam praktik politik melalui data-data sejarah. Sebagaimana disebutkan di atas secara historis ayat-ayat dan simbol agama sangat rentan dimanipulasi dan dijadikan topeng untuk memenuhi ambisi politik dan tindak kekerasan.

Ketiga, melakukan tindakan tegas terhadap upaya penyebaran virus dan racun kekerasan agama. Ini perlu dilakukan sedini mungkin, sebelum virus dan racun ini menyebar ke masyarakat sehingga sulit dikendalikan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, tindakan deteksi dini dan memberangus virus ini merupakan keniscayaan. Karena virus radikal dan intoleran yang penuh dengan tindakan kekerasan ini tidak saja mengancam kebhinnekaan tetapi juga kemanusiaan. Tindakan tegas perlu dilakukan sebelum bangsa ini hancur terjebak konflik yang tidak terkendali.

(dad)

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »