ASWAJADEWATA.COM – Secara istilah ilmu fikh najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah sholat. Para fuqaha dalam kitab-kitabnya membagi najis dalam 3 (tiga) kategori, yaitu najid mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah, hal ini sebagaimana dalam kitab Safiinatun Najja
فصل النجاسات ثلاث: مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات
Artinya : “Fashal, najis ada tiga macam : mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah. Najis Mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.
Baca Juga : Tiga Macam Najis dan Cara Menyucikannya
Masing-masing kategori najis tersebut memiliki cara tersendiri untuk mensucikannya. Selain tiga kategori najis terdapa pula dua istilah najis yang perlu di ketahui, yakni “najis ‘ainiyah” dan “najis hukmiyah”.
Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki wujud dan dapat dirasakan dari warna, rasa dan bau. sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang tidak memiliki wujud dan tidak memiliki warna, rasa dan bau namun secara hukum masih dihukumi najis
. Lebih jelas pada penjabaran tata cara mensucikan najis.
Berikut adalah tata cara mensucikan najis
1. Najis Mukhaffafah / Najis Kecil
Najis yang masuk dalam kategori najis mukhaffafah / najis kecil adalah air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain dari ASI dan belum berumur dua tahun. Najis ini dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis.
Cara memercikkan air harus dengan percikan yang kuat dan air harus mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang dipercikan juga harus lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut, setelah itu barulah diperas atau di keringkan. Tidak disyaratkan air yang digunakan untuk mensucikan najis ini harus air mengalir.
2. Najis Mutawassitah / Najis Sedang
Najis Mutawassitah dapat disucikan dengan cara menghilangkan terlebih dahulu najis ‘ainiyah-nya, yakni menghilangkan wujud najis (warna, bau dan rasa dari najis tersebut. Setelah benar-banar tidak ada lagi warna, bau dan rasa dari najis, baru kemudian menyiram tempatnya dengan air suci dan mensucikan.
Sebagai contoh, disebuah masjid tiba-tiba ada ayam membuang kotoran (tahi) lantai dihalaman masjid, maka cara mensucikannya adalah dengan membuang terlebih dahulu kotoran (tahi) ayam yang di lantai sampai tidak ada lagi wujud najis (warna, bau, rasa). Dengan ini najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan hanya tersisa najis hukmiyah. Maka selanjutnya menyirkan air ke lantai yang terkena najis.
3.Najis Mughalladhah / Najis Besar
Najis yang masuk dalam kategori najis mughalladhah adalah anjing dan babi beserta anakkan hasil salah satu dari keduanya. Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satu basuhannya dicampur dengan debu. Sebelum membasuh dengan air terlebih dahulu membersihkan najis ‘ainiyah atau wujud najisnya. Setelah wujud najisnya hilang dan secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau, dan rasa najis tersebut, maka secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada, baru kemudian di basuh dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu basuhan dicampur dengan debu.
Dalam pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara :
Pertama, mencampur air dingan debu secara bersama baru kemudian dibasuhkan pada tempat yang terkena najis, cara ini adalah yang utama di banding dengan cara lainnya.
Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh
Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan dicampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
Mengetahui macam-macam najis dan tata cara mensucikannya adalah salah satu ilmu yang mesti diketahui oleh setiap muslim, ini mengingat hal tersebut merupakan syarat bagi keabsahan sholat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Wallahu a’lam (Asy)