Dialog Politis KH. Hasyim Asy’ari dengan KHR. As’ad Syamsul Arifin Tentang Kelahiran NU

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: H. Bagenda Ali

Masih banyak di antara kaum Nahdhiyyin terutama generasi Nahdhiyyin Milenial yang belum memahami benar tentang akar sejarah lahirnya NU setelah seratus tahun (1 abad) berlalu dari awal kelahirannya. Hal ini memang perlu diklirkan agar bisa menjadi papan tolakan dalam mengembangkan amanat para muassis NU sebagaimana tujuan awal NU itu sendiri dilahirkan.

Sebetulnya NU ( Nahdhatul Ulama) sebagai suatu organisasi keagamaan di Nusantara ketika harus lahir bukan tanpa alasan yang logis, jika kita telisik cerita lisan Hadratus Syekh KH.R. As’ad Syamsul Arifin tentang pembicaraan beliau saat berdialog politis dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari sebagai gurunya yang rekamannya sudah lama terposting di You tube (edisi bahasa Madura) bahwa peristiwa yang diceritakan itu terjadi sekitar tahun 1924, seputar rencana pendirian sebuah organisasi yang menghimpun Ulama yang rencana awalnya bernama “Jam’iyatul Ulama”. Sebelum kemudian nama Nahdhatul Ulama yang pertama kali diusulkan oleh KH. Mas Alwi Abdul Aziz akhirnya disepakati penggunaannya hingga saat ini.

Ketika rencana itu tersebar luas di kalangan Ulama di Nusantara lalu sempat dipertanyakan oleh Kiyai As’ad kepada gurunya, “Untuk apa jam’iyah yang akan kita dirikan ini Kiyai (Guru) ? padahal kan sudah ada organisasi pergerakan Islam seperti halnya Syarikat Islam dan Muhammadiyah.”

Jawaban Mbah Kiyai Hasyim, dalam bahasa kiasan atau kinayah (personifikasi), “Bahwasanya saya hanya ingin memberi tahu kepada ummat Islam khususnya kaum Ahlussunnah wal jamaah di tanah air bahwa di luar sana telah ada banyak anjing yang sedang menggonggong yang siap menggigit mereka,” yang kira kira maksudnya bahwa ada sekelompok berpaham keagamaan radikal yang sebentar lagi akan mengacaukan perjuangan dan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah ini, padahal paham ini telah dibangun semenjak abad ke 15 oleh para walisongo, khususnya antara lain Raden Rahmat Sunan Ampel. Maka perlu adanya sebuah benteng pertahanan yaitu suatu organisasi keagamaan yang bisa mengakomodir dan membangkitkan semangat dan menjamin kepentingan perjuangan para ulama Nusantara.

Tidak lain maksud dari pernyataan itu adalah bahwa sudah adanya indikasi kuat akan hadirnya kelompok “Wahabi” yang pengaruhnya telah masuk di Nusantara. Bukankah kelompok Wahabi ini telah pernah memporak-porandakan dan membantai sejumlah besar Ulama dan warga Ahlussunnah Wal Jama’ah di semenanjung Arabiyah (hijaz) dalam peristiwa sejarah kelam dan fitnah keji terhadap kaum ASWAJA ketika itu. Dimana organisasi tersebut disokong ajarannya oleh pemerintah kerajaan Ibnu Saud di bawah bayang-bayang British Raya (Inggris).

Hal ini adalah bukti juga akan adanya trauma sejarah bagi KH. Hasyim Asy’ari yang secara politis beliau sampaikan kepada muridnya KHR. As’ad Syamsul Arifin.

Demikianlah akar sejarahnya kenapa perlunya kemudian didirikan NU tersebut, dan sebetulnya dari aspek geopolitik tanah air ketika itu memang sudah waktunya upaya mendirikan ormas yang bisa membendung pengaruh Wahabi yang telah dirancang bangun ajarannya untuk disebarluaskan oleh Pemerintahan Ibnu Saud (Raja Abdul Azis) ke seluruh dunia Islam termasuk di Nusantara Indonesia dari era itu.

Hal ini juga tercermin dalam pandangan Kiyai Hasyim yang tertuang dalam kitab Risalah Ahlu sunnah Wal Jamaah karya KH. Hasyim Asy’ari sendiri yang menceritakan situasi dan kondisi pandangan tokoh keagamaan Islam di Nusantara pada kisaran tahun 1930-an. Tulisannya sebagai berikut :
ثم إنه حدث في عام ٱلف وثلاثمائة وثلاثين ٱحزاب متنوعة وآراء متدافعة وٱقوال متضاربة ورجال متجاذبة فمنهم سلفيون قائمون علي ما عليه أسلافهم من التمذهب بالمذهب المعين والتمسك بالكتاب المعتبرة المتداولة ومحبة ٱهل البيت والٱولياء والصالحين والتبرك بهم ٱحياء وٱمواتا وزيارة القبور وتلقين الميت والصدقة عنه و إعتقاد الشفاعة ونفع الدعاء والتوسل وغير ذلك
Artinya : “Kemudian, pada tahun seribu tiga ratus tiga puluh hijriah, atau (1912 Masehi) terjadi berbagai pihak berdebat pendapat, saling bertentangan pendapat, dan ada pula orang-orang yang saling berbantahan (adu argumen) maka di tengah-tengah itu di antaranya adalah kaum “Salafi” ( bukan Salafi sekarang) yang konsisten dengan apa yang dipegang oleh para pendahulu mereka dari kepatuhan terhadap madzhab tertentu dan kepatuhan terhadap kitab-kitab yang diakui yang terstandar dan tersebar luas, cinta kepada ahli bait, para wali dan orang-orang saleh, dan bertabarruk kepada mereka yang hidup dan yang telah wafat, berziarah kubur, membacakan talqin buat orang meningggal, bersedekah untuk orang mati, meyakini adanya syafaat, adanya manfaat do’a orang hidup bagi mayyit, bertawassul dan lain sebagainya.
(KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, 2011 hal. 7 )

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama waktu itu tentu didirikan juga atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem dalam pemahaman agama Islam. Yaitu : kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Pemerintahan Mustafa Kemal Attartuk di Turki saat itu.

Maka tidak mengherankan jika kemudian kelahiran Nahdlatul Ulama di tahun 1926 M. itu sejatinya merupakan simbol perlawanan Ulama Nusantara terhadap dua kutub ekstrem tersebut. Dalam hal ini maka kelompok Wahabilah yang jadi titik fokus permasalahan utama yang dihadapi saat itu, bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang hingga sampai seratus tahun kemudian saat ini.

Bagaimanapun juga apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu (di wilayah Hijaz) yang turunannya adalah eksistensi kelompok Salafi Wahabi sekarang ini merupakan goresan noda hitam dalam sejarah pengembangan dakwah Islam termasuk pengaruhnya secara menyeluruh di Nusantara.

Penolakan kehadiran kelompok Wahabi di lingkungan mayoritas penganut ASWAJA AN NAHDHIYAH di tanah air ternyata bukan kasus isapan jempol semata, tapi menjadi bukti kongkrit akan adanya bahaya disintegrasi muslim tanah air karena perilaku serangan verbal kelompok Wahabi itu sendiri terhadap ajaran dan amalan Aswaja An Nahdhiyah yang tak kunjung usai. Misalnya peristiwa pembakaran masjid di Bagek Nyaka Lombok Timur, penutupan masjid di Nyalabuk Laok Pamekasan Madura, pembubaran pengajian Wahabi di Ketapang II, Banda Aceh, penolakan warga setempat terhadap pembangunan gedung pendidikan Yayasan Nidaul Islam ( Wahabi Salafi) di depan Masjid Raya Negara Jembrana Bali
dan seterusnya.

Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah yang awalnya moderat dan toleran menjadi terkesan sangat radikal dan keras dalam memaksakan ajarannya kepada orang lain.

Di sini pula, setidaknya kita bisa melihat akan adaya dua bagian tipologi Wahabi Salafi yang muncul di tanah air kita yang senantiasa memaksakan kehendak atas pemikirannya/missinya kepada warga muslim Nusantara.

Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan cara menyerang siapapun yang berbeda pemahaman keagamaan dengannya dan mengklaim kepada lawan mereka sebagai kelompok ahli bid’ah, murtad, musyrik, kafir dan seterusnya. Padahal klaim kebenaran sepihak mereka hanya berdasarkan tafsir tafsir teks agama. Sementara pihak lain juga mempunyai argumen yang tentu muatannya kredible.

Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara mengamputasi, melakuan pemukulan dan bahkan pembunuhan terhadap lawan, hal ini kita bisa lihat seperti yang terjadi di beberapa negara muslim Timur Tengah dan Afrika. Ironisnya, Wahabi ini menyebut apa yang dilakukannya itu sebagai dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar yang menjadi intisari dari ajaran Islam menurut mereka.

Secara resmi bahwa proses awal lahirnya NU memang diawali dengan pertemuan ulama ASWAJA yang diberi nama Komite Hijaz diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari. Komite Hijaz inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya NU untuk membahas berbagai macam persoalan keagamaan. Jadi lahirnya NU merupakan respons positif dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial masyarakat Islam Nusantara.

Intinya bahwa NU lahir tidak semata mata untuk kepentingan ulama saja tapi untuk kepentingan ummat Islam keseluruhan.
NU saat itu kemudiaan berkembang dengan cepat bahkan pada awal tahun 1940-an sampai sekarang sudah tampil sebagai organisasi Islam terbesar di tanah air. Sehingga terkenal di manca negara dengan banyaknya pengikut. Bahkan bisa jadi NU adalah Ormas Islam terbesar di dunia saat ini.

Belum pernah terjadi dalam sejarah dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin oleh para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyaknya. Walaupun NU pada awal berdirinya adalah sebagai Ormas Islam yang konservatif, wadah perjuangan kaum santri sarungan kemudian menjadi sebuah Ormas Islam yang modern dan “keep growing” (terus melaju) sampai saat ini apa lagi NU beberapa bulan lalu telah berhasil memprakarsai terselenggaranya dan berkibarnya bendera Forum Agama R20 atau Religion of Twenty (R20) di Nusa Dua Bali. Suatu forum yang merepresentasikan Ulama Internasional dan tokoh agama lain dari berbagai negara di dunia khususnya negara Islam, menjadikan panggung NU lebih melebar dan tersohor lagi di manca negara.

Semoga di perhelatan peringatan HUT ke 1 abad kelahiran NU saat ini generasi muda milenial NU dapat menjadikan momentum tersebut sebagai ajang untuk merefleksikan diri atas kiprah yang selama ini telah dilakukan oleh Kaum Nahdhiyyin. Serta selalu berupaya memperkokoh lagi semangat kebangsaan dan perubahan peradaban ke arah yang lebih baik dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara amin ….

diunggah oleh:

Picture of Aswaja Dewata

Aswaja Dewata

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »