KH. Abdul Azis, Menggerakkan NU Karena Terinspirasi Oleh Perjuangan Kiai As’ad

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Dadie W. Prasetyoadi

Awal mengenal Nahdlatul Ulama pada tahun 1997, waktu itu KH. Abdul Azis menghadiri undangan di suatu forum pertemuan pengurus masjid. Tidak tahu bagaimana, ternyata di forum itu ada pemilihan pengurus NU. Forum tersebut dihadiri sekitar 51 orang, dan 49 orang diantaranya menunjuknya untuk menjadi ketua MWC NU Kuta Selatan.

Sebagai orang baru di daerah Kuta Selatan, Kiai Azis bingung apa yang harus dilakukan. Selama lebih kurang satu tahun, dirinya berpikir seperti apa sih NU ini sebenarnya.

Dan kebetulan, saat mengantarkan seorang adiknya mondok ke Sukorejo, Kiai Azis mendapat buku biografi Hadratussyaikh Kiai As’ad. Setelah membaca dan menghayatinya, dirinya mulai mengerti tentang bagaimana NU.

“Di buku itu, isinya benar-benar menerangkan bagaimana proses perjuangan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Tidak hanya beliau sebagai pengasuh, tetapi juga bagaimana perjuangan jati diri beliau menghadapi tentara jepang, dan termasuk diceritakan bagaimana mengabdi di Nahdlatul Ulama, mulai dari proses berdirinya Nahdlatul ulama, kata Kiai Azis dalam sebuah wawancara.

Dari buku kisah kiai As’ad itulah, Kiai Azis bercerita bahwa setiap malam ia menangis merenung. Hingga tak lama kemudian, merasa terinspirasi dan mendapat kekuatan untuk mengabdikan diri kepada Nahdlatul Ulama sepenuhnya.

“Apapun yang kami miliki, dari pemikiran, waktu, materi dan lainnya kami korbankan untuk NU. Dengan memahami kisah perjuangan Kiai As’ad, itu semua tidak apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Beliau,” ujarnya.

Setelah didaulat menjadi ketua MWC NU Kuta Selatan, berangkat dari buku kisah kiai As’ad tersebut, Kiai Azis berusaha untuk menghidupkan NU disana. Tantangannya saat itu memang sangat berat, yaitu bagaimana NU di daerah ini bisa dikenal.

Kiai Azis bercerita jika saat itu kalau melihat satu simbol NU saja, bangganya luar biasa. Akhirnya untuk mengenalkan NU kepada masyarakat, ia membeli simbol-simbol NU dan dibagikan kepada masyarakat, khususnya orang NU. Targetnya adalah, orang yang berjamaah di masjid ada yang mengenakan simbol NU.

“Dan alhmdulillah, tujuan itu tercapai, dan sudah ada khatib yang mengenakan baju NU saat itu,” kenang Kiai asal Sampang, Madura itu.

Kiai Azis menjadi ketua MWC NU selama dua priode. Suatu saat, dirinya bertemu dengan Kiai Musirin dari Sukorejo. Salah satu tokoh yang turut memberinya motivasi dan semangat untuk mengabdi dan berjuang di NU. Bersama beliau lah Kiai Azis bisa melakukan lebih banyak kegiatan-kegiatan amaliyah Nahdlatul Ulama di masyarakat. Program rutin yang dibuatnya, yaitu pengajian Dzikrul Ghafilin selama bertahun tahun selalu dihadiri dan dipimpin langsung olek Kiai Musirin.

Dalam perjalanannya, tahun 2007 Kiai Azis terpilih sebagai Ketua PCNU Kabupaten Badung. Saat itulah, karena penguatan ke-NU-an sudah cukup ada dalam dirinya dan terus membaca buku Kiai As’ad yang selalu membuatnya menangis, akhirnya pada tahun 2009 bersama teman temannya, Kiai Azis mendirikan Madrasah Tsanawiyah al-Maarif. Gagasan ini dimunculkannya bersama pak Sulaimi, Sekretaris PCNU Badung saat itu.

Latar belakang berdirinya madrasah ma’arif ini menurut Kiai Azis sebenarnya adalah hasil sowan dan kunjungan silaturahminya ke beberapa ulama dan kiai. Termasuk Hadratussyakh Kiai Sofyan Miftahul Arifin.

“Awalnya saya menyampaikan tentang pendirian sektretariat PCNU. Ketika saya matur, beliau ketawa. Beliau senyum lalu menyampaikan bahwa beliau lebih senang kalau saya mendirikan Lembaga Pendidikan. Padahal waktu itu kami tidak ada rencana untuk mendirikan Lembaga Pendidikan. Beliau menegaskan lagi, sekretariat itu penting, tapi beliau lebih suka kalau saya membangun Lembaga Pendidikan,” ungkap Kiai Azis.

Tahun 2008 dibangunlah kantor sekretariat. Setelah enam bulan berjalan, sekretariat itu hanya ditempati sebulan sekali. Hanya digunakan untuk kegiatan rutin dan rapat-rapat. Sehingga dari sana muncul ide untuk mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Sekolah tersebut berjalan hingga sekarang dilanjutkan oleh para pengurus PCNU Badung.

Kiai Azis mendapat amanah selama dua periode sebagai Ketua PCNU Badung hingga 2018. Namun di tengah perjalanan, pada tahun 2015 dirinya diminta untuk menerima Amanah sebagai ketua PWNU Bali. Keputusan tersebut diambilnya setelah melalui banyak pertimbangan. Sebenarnya saat itu tokoh-tokoh di Badung ingin dirinya tetap sebagai ketua PCNU Badung karena beberapa pertimbangan.

Pada konferensi PWNU 2015 akhirnya Kiai Azis terpilih menjadi Ketua PWNU. Pada periode pertamanya sebagai ketua dijalaninya dengan mengabdikan diri sepenuhnya.

“Saya selalu berprinsip bahwa mengabdi di organisasi jangan hanya menyisakan bekas begitu saja. Tetapi harus memberikan kontribusi yang sifatnya berkesinambungan dan bisa dirasakan oleh generasi penerus. Dan alhamdulillah bersama pengurus PWNU yang lain, akhirnya bisa mendirikan Institut Sains dan Teknologi Nahdlatul Ulama Bali (ISTNUBA),” tuturnya.

Dan saat ini, di periode kedua masa jabatannya sebagai Ketua PWNU Bali,  sedang memiliki program perluasan lahan tanah untuk Gedung PWNU Bali. Baik untuk difungsikan sebagai kantor, sekaligus juga untuk kampus ISTNUBA.

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »