ASWAJADEWATA.COM |
Islam begitu sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Bahkan Islam memberikan ganjaran yang besar bagi penuntut ilmu. Status pencari ilmu ketika meninggal dunia setingkat dengan orang mati syahid. Bahkan Nabi pernah bersabda bahwa menuntut ilmu wajib hukumnya bagi muslim laki-laki dan perempuan.
Maka, tidak mengherankan para sahabat begitu memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu. Hal ini diikuti oleh gernerasi selanjutnya: tabiin, tabiit tabiin dan seterusnya. Ulama kita yang hidup pada masa lalu pun juga begitu. Salah satunya adalah Habib Ali Bafaqih yang bertempat tinggal di Loloan Barat Jembrana Bali.
Habib Ali Bafaqih dilahirkan pada tahun 1882 di Kampung Arab, Lateng, Kabupaten Banyuwangi dari pasangan Habib Umar Bafaqih (Wafat di Banyuwangi pada usia 150 Tahun) dan Syarifah Nur bin Abdullah Al-Haddad, seorang Hafidzah (Wafat di Usia 135 tahun pada 1964). Dari sepasang keturunan Rasulullah SAW inilah beliau sejak kecil dididik dengan baik, sampai bisa menguasai nahwu sharaf di usia 7 tahun dan menghafal Al-Qur’an di usia yang sama. Hal ini mengingatkan kita pada kisah Imam Syafi’i.
Setelah dididik kedua orang tuanya, beliau melanjutkan studinya ke para ulama lainnya seperti Habib Muhammad Ba’abud dan Kyai Soleh Lateng. Kemudian pada usia 15 tahun beliau belajar ke Bangkalan untuk berguru pada KHR. Muhammad Khalil (Syaikhana Khalil).
Sosok yang dikenal sebagai Syaikhana Kholil Bangkalan ini memang terkenal dengan kealiman, kezuhudan dan kewaliannya, sehingga tak heran dari tangan dinginnya mampu mendidik ulama besar di Tanah Jawa seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahab Hasbulloh, (Pendiri Nahdatul Ulama) KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansyur (Pendiri Muhammadiyyah), KH. Syamsul Arifin dan putranya KH. As’ad Syamsul Arifin (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo, Banyuputih, Situbondo), KH. Munawwir (Pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak), KH. Abdul Karim atau Mbah Manaf (Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo), dan ulama besar lainnya.
Sesampai di Bangkalan dari perjalanan panjang dari Banyuwangi, dengan penuh suka cita Syaikhana Khalil menyambutnya. Terlebih beliau dari kalangan habaib yang berkenan menimba ilmu padanya. Habib Ali Bafaqih ketika itu dikenal cukup cerdas. Maka hanya dalam waktu seminggu beliau mondok, Syaikhana Khalil langsung memintanya membantu mengajar para santri.
Setelah 3 Bulan lamanya Habib Ali Bafaqih nyantri di sana, beliau diminta keluar karena ilmunya sudah cukup. Hal ini juga diluar kebiasaan karena umumnya santri Syaikhana baru empat sampai lima tahun mereka baru diperbolehkan pulang. Saat kepulangan Habib Ali dari pesantren, beliau diberikan wasiat oleh Syaikhana Kholil.
“Bib, sampean sudah alim, dan Insya Allah bisa pergi haji sampai 7 kali”
Doa tersebut akhirnya terkabul, ketika menjelang usia 17 tahun atau sekitar tahun 1899, Habib Ali berlayar menuju tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya kepada beberapa ulama tersohor ketika itu, seperti Sayyid Abbas Al Maliky Al-Hasani, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Ayah Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani), Syaikh Umar Hamdan Al-Mahrusy, Syaikh Nawawi Al-Bantani dan banyak guru lainnya. Keberangkatannya ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Ali dari Pulau Sapeken, Madura. Selama di Makkah, Beliau bermukim di Syiib Ali (Mekkah) selama kurang lebih tujuh tahun lamanya.
Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air, beliau sempat nyantri di Pondok pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasbullah, ayahanda KH. Wahab Hasbullah. Selain mendalami ilmu Agama, di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh. Setelah itu, Beliau sempat mengajar di Madrasah al-Khairiyah selama setahun di tanah kelahirannya Banyuwangi. Sebelumnya studi di Mekkah beliau juga sempat lama mengajar di madrasah.
Demikianlah, apa yang telah diajarkan Habib Ali Bafaqih kepada kita yang hidup masa kini. Semangat menuntut ilmu dengan berguru kepada banyak ulama ini menunjukkan bahwa habib begitu mencintai ilmu pengetahuan. Maka marilah kita mencintai beliau, karena salah satu tanda mencintai ilmu adalah dengan cara mencintai orang yang mempunyai ilmu.
Oleh: Muhammad Sofi Zihan, Dosen STIT Jembrana/Pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jembrana