Hukum Seorang Lora/Gus Menikahi Syarifah

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Hingga saat ini masih ada yang mempersoalkan pernikahan antara orang biasa dengan keturunan darah biru. Terutama yang masih sangat santer, yaitu pernikahan seorang laki-laki biasa dengan syarifah. Bahkan ada yang sampai berteriak benci, karena seorang lora/gus menikahi syarifah.

Ok, kita harus menyikapi demikian dengan ilmu. Dalam hal ini, kita berbicara tentang kafaah. Nasab juga bagian dari kafaah. Pertanyaannya, apakah nasab ini menjadi keharusan yang sangat penting dalam pernikahan? Ada beberapa pendapat.

Pertama, menurut Malikiyah, unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dalam konsep kafaah adalah addin wal hal. Yang dimaksud dengan addin adalah at-tadayyun yang berarti seorang muslim yang tidak fasiq. Sedangkan, yang dimaksud dengan hal adalah bebas dari cacat (kekurangan) yang bisa dijadikan suatu ukuran bolehnya khiyar (opsi) dari suami, seperti lepra, gila dan lain sebagainya.

Kedua, menurut Hanafiyah unsur kafa`ah adalah agama, Islam, merdeka (bukan budak), nasab, harta dan profesi. Ketiga, menurut Syafi’iyah adalah Islam, iffaah (terjaga agamanya), merdeka, nasab, selamat dari ‘aib, dan profesi. Keempat, menurut Hanabilah, unsur kafaah adalah Islam, merdeka, nasab, harta dan profesi.

Dari jabaran di atas tampak pendapat para ulama’ yang sangat beragam dalam memasukkan unsur-unsur yang terdapat dalam kafaah. Mereka hanya sepakat dalam soal unsur agama, sedangkan untuk komponen yang lain masih belum ditemukan kata sepakat di antara mereka. Misalnya, masalah nasab, profesi dan kemerdekaan tampaknya mazdhab yang berani tidak memasukkan unsur-unsur tersebut hanyalah kalangan Malikiyah. Sementara ulama’ lainnya begitu mengikat kuat untuk menjadikan unsur tersebut sebagai bagian dari kafaah.

Berkenaan dengan pembahasan kita kali ini yaitu soal nasab, berarti ada dua pendapat yang berlawanan. Lalu pendapat mana yang lebih layak kita jadikan rujukan? Menanggapi dualisme pemikiran di atas, menarik untuk kita kaji analisis yang disampaikan oleh ulama’ kontemporer, Dr. Wahbah Zuhaili. Menurut beliau, pendapat yang diusung kelompok Malikiyah tampak lebih unggul dibanding yang lain. Kenapa? Ya, karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan (al-musawah). Islam memusuhi segala bentuk diskriminasi atas nama golongan, ras dan sesamanya. Islam hanya memandang derajat dan keutamaan manusia pada tingkat ketakwaannya kepada Allah.

Sealur dengan kerangka pemikiran di atas, sebuah keterangan yang dipetik dari ulama’ besar, Imam Ghazali. Beliau menyatakan bahwa kemuliaan nasab dapat dicapai melalui tiga aspek. Pertama, nasab yang bersambung pada baginda Nabi Muhammad Saw. Kedua, nasab yang bertemu dengan Ulama’ sebagai pemegang tongkat estafet perjuangan para Nabi. Ketiga, nasab yang bersambung pada orang-orang shaleh.

Dari uraian di atas, setidaknya kita sudah sampai pada titik kesimpulan bahwa, kafaah bukanlah sebuah keharusan untuk mengabsahkan akad pernikahan. Rasulullah sendiri menyamaratakan semua umat muslim, dalam sabdanya:

اَلَّناسُ سَوَاْسِيَةٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِنَّمَا الْفَضْلُ بِالَّتقْوَى

“Manusia itu pada prinsipnya mempunyai sifat ekualitas (persamaan) sebagaimana ratanya gigi sisir, tiada kelebihan bagi seorang arab atas orang luar arab, kecuali dari aspek ketaqwaannya”.

Dengan demikian, ukuran kafaah hanya bermuara pada sejauh mana tingkat pemahaman dan komitmen dengan agama (ketakwaan). Maka, jangan jadikan nasab untuk merasa lebih tinggi dan mulia dari orang lain. Sehingga berteriak kata tidak pantas kepada orang lain.

Selengkapnya baca: Fikih Progresif

Oleh: Enha Muhammad

 

diunggah oleh:

Picture of El Muhammad

El Muhammad

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »