ASWAJADEWATA.COM – Pengejawantahan definisi Konsep Islam Nusantara yang setidaknya hingga saat ini tercatat memiliki 8 rumusan (Luthfi 2016, 4-6) dipadatkan ke dalam narasi berikut: “Bahwa (1) Islam Nusantara adalah (hanya) sebuah sistem nilai yang sudah berlangsung sekian lama di bumi Nusantara (baca: sejak zaman Wali Songo) dan merupa dalam wujud keberislaman yang khas. Tanpa disadari, (2) Islam Nusantara memiliki corak hukumnya sendiri yang cenderung moderat, akomodatif terhadap kemaslahatan umum di satu sisi dan terhadap budaya lokal di sisi lain. Dengan sifatnya yang demikian, (3) aktualisasi Islam Nusantara di Indonesia di wilayah esoteris bersifat heterogen sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah dalam mengejawantahkan Islam sebagai sebuah agama”.
Kompleksitas narasi di atas membuatnya rawan digagal-fokusi, apalagi jika dibaca secara skimming sehingga keywords yang dijadikan tolak ukur penilaian kurang tepat. Gambaran dari gabungan kata-kata kunci seperti “sistem nilai”, ”Wali Songo”, “moderat“, ”maslahat“, ”budaya”, ”esoteris”, “Rahmatan Lil ‘alamin”, “pendekatan kultural”, “toleransi” dan “anti-radikalisme”, jika tidak diikat secara koheren, berpotensi mengaburkan apa yang seharusnya dibicarakan dan dinilai dari “Islam Nusantara”, sebagai sebuah wacana keilmuan.
Namun sejujurnya, anggapan bahwa Islam Nusantara adalah “dagangan“ kaum Nahdhiyyin sangat sulit dibantah, apalagi jika sinyal yang merujuk pada klaim tersebut terlalu jelas. Sebut saja diusungnya Islam Nusantara dalam Muktamar NU tahun 2015, munculnya nama Walisongo, pembelaan terhadap tradisi, serta yang paling sederhana, dimulainya kata Nusantara dengan dua huruf sakral: NU. Dari titik ini, pembacaan Najib bahwa Islam Nusantara adalah sebuah ekspresi exceptionalism warga Nahdhiyyin (Burhani 2017a) bisa dibenarkan.
Konsep orisinil kaum Nahdliyin ini sekarang tak bisa dipungkiri menjadi secercah raut wajah Islam yang ramah, sejuk, dan bahkan menarik perhatian dunia, Dibuktikan dengan banyaknya masyarakat muslim dari berbagai belahan dunia dibuat penasaran dan berdatangan ke Indonesia sekedar untuk melihat dan meneliti secara langsung proses aplikasinya di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Fungsi moderasi yang tersirat dari aplikasi yang jadi pola pikir kaum Nahdliyin disini sangat kental terasa, terutama dari basis ulama-ulama yang memiliki pesantren dengan jumlah santri besar. Sehingga cepat menyebar di masyarakat luas.
Bahwa Islam Nusantara menuntut sikap hati-hati terhadap pemakaian simbol-simbol keagamaan berbau Arab, jangan diartikan bahwa yang pertama membenci dan menentang keberadaan yang kedua di Indonesia secara membabi-buta. Sebagaimana ditunjukkan Najih, konfrontasi antara Islam Nusantara dan Islam Arab memang niscaya dalam konteks penguatan identitas Islam Nusantara sebagai yang indigenous dari Indonesia (Burhani 2017b). Islam Nusantara hanya ingin diakui sama otentiknya dengan Islam Arab (Bruinessen 2018, 5). Dengan kata lain, membaca pembenturan keduanya secara ketakutan, apalagi dikaitkan dengan slogan “anti-Arab”, adalah terlalu berlebihan.
Di saat yang sama, bahwa dalam beberapa titik Islam Nusantara berjumpa dengan Islam Liberal jangan juga diartikan bahwa yang pertama adalah kepanjangan tangan dari yang kedua. Tulisan Najih jelas menunjukkan kekhawatiran jika islam Nusantara akan menyemai benih-benih “pluralisme agama” di satu sisi, sekaligus “budaya abangan” di sisi lain (Maimoen 2018), ide-ide yang menurut Najih sudah mengakar pada figur-figur liberal. Acapkali, nama-nama terkait justru yang dijadikan pertimbangan utama untuk terburu-buru menilai Islam Nusantara, alih-alih mencernanya pelan-pelan. Tulisan-tulisan Sjafril misalnya menggambarkan ketergesa-gesaan itu lewat kritiknya yang mencoba menembak dua sasaran sekaligus (Islam Nusantara dan Islam Liberal, Sjafril 2015).
Bisa jadi, kesalahan utama memahami Islam Nusantara lewat penampakan-penampakannya yang muncul di permukaaan adalah terlalu ideal dan sempurnanya gambaran yang dihasilkan. Klaim bahwa Islam Nusantara adalah solusi taktis atas krisis Timur Tengah, nampaknya juga harus lebih hati-hati dipakai karena klaim ini sudah sejak dulu dikritisi (Hoesterey 2013) dan tentu saja belum terbukti benar.
Sebaliknya, kadar kesempurnaan itu akan berkurang jika Islam Nusantara ditempatkan sebagai produk dari sebuah upaya tafsir kontekstual dari teks suci agama Islam yang juga memiliki batasan-batasan metodologis, di antaranya adalah batasan historis dalam melacak sejarah Islam yang otentik, batasan interpretasi ketika merumuskan nilai Islam yang universal, serta batasan subyektifitas dalam mengaktualisasikan nilai tersebut secara kontekstual di Indonesia, di Arab dan di belahan dunia manapun.
(dad)
sumber: pcinu.de (Mu’ammar Zayn Qadafy)