ASWAJADEWATA.COM
Pada suatu hari, kawanan semut hitam melakukan rihlah ke negeri seberang nan jauh di sana. Derap langkah ala pasukan semut terus berjalan tiada henti. Namun naas, di tengah perjalanan salah satu diantara mereka “tercecer” dari barisan.
Seekor semut hilang entah kemana. Seekor pun diantara kawanan semut tidak ada yang tahu rimbanya. Tanpa disadari, ternyata si semut hinggap di lengan baju Pak Amin. Bergegas Pak Amin naik ke mobil menuju Bandara Blimbingsari Banyuwangi karena pesawat tujuan Jakarta akan segera take off.
Dalam hitungan satu jam lebih, Pak Amin akhirnya tiba di ibu kota. Setibanya di Jakarta, meeting yang dijadwalkan purna memakan waktu tidak lebih dari satu jam. Beberapa menit kemudian, Pak Amin memutuskan untuk bertolak kembali ke Banyuwangi. Praktis, perjalanan udara pulang-pergi Banyuwangi ke Jakarta tidak membutuhkan waktu melebihi bilangan jam.
Setibanya di rumah, ternyata si semut masih menempel di baju Pak Amin. Takjub dan heran menyelimuti perasaan si renik semut. Di luar dugaannya, dia telah melakukan traveling ke Ibu kota hanya dalam hitungan beberapa jam saja. Di luar nalar dunia semut, perjalanan ajaib baru saja dialaminya.
Tanpa berfikir panjang, si semut bergegas mencari kawanannya. Tidak sabar, ia ingin segera menceritakan traveling menakjubkan ke Ibu kota. Di tengah kerumunan semut, si semut mulai mengisahkan perjalanannya dengan penuh keyakinan. Namun sayang, di akhir cerita, dia justru dihujat dan di-bully.
Satu ekor semut pun tidak ada yang percaya dengan apa yang telah dikisahkannya. Dalam logika dunia semut, sangat tidak mungkin seekor semut renik bisa menempuh perjalanan seribu kilo lebih dalam hitungan jam. Jelas ini adalah kebohongan dan hayalan ungkap semut-semut lain dengan kompak.
Alih-alih disambut respon positif, si semut hitam justru dihantam oleh caci-maki dari semut lainnya.
Nampaknya, kawanan semut masih terbelenggu oleh rasionalitas kodratnya. Rasionalitas mereka tidak mampu berfikir melebihi kemampuannya sebagai mahluk yang teramat kecil. Rasionalitas bahwa di atas kekuatan mereka ada kekutan lain yang kemampuannya jutaan ribu kali lipat lebih besar. Mereka tidak “sadar” bahwa si semut kecil tidak traveling sendirian melainkan dibawa oleh kekuatan besar tersebut, yaitu manusia.
Kisah semut kecil di atas adalah perumpamaan sederhana tentang kondisi Israk Mikraj yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw. Dalam logika manusia, sangat tidak mungkin jasad nabi bisa sampai ke “pangkuan” Allah swt di langit ke tujuh dalam hitungan beberapa jam saja.
Tidak mungkin terjadi kalau traveling nabi ke langit ke jutuh diukur dengan kekuatan manusia yang sangat terbatas. Sebagian besar orang Arab waktu itu masih terbenggu oleh rasional kodratnya sebagaimana kisah semut di atas.
Parahnya lagi, peristiwa Israk Mikraj terjadi disaat bangsa Arab mengalami krisis kepercayaan kepada nabi. Kondisi ini tentu membuat psikologi orang-orang yang tidak beriman semakin sinis dengan dakwah nabi. Pasca Isra Mikraj, orang arab semakin menjadi-jadi memusuhi nabi. Mereka mengatakan nabi gila dan pembohong besar.
Jika seekor semut kecil bisa menempuh berjalanan Banyuwangi-Jakarta dalam hitungan jam berkat kekuatan manusia maka begitu juga dengan nabi yang bisa sampai ke langit ke tujuh berkat kekuatan tuhan. Dalam logika semut, tidak mungkin semut bisa sampai Jakarta dalam waktu sesingkat itu. Sama halnya dengan nabi, dalam logika manusia tidak mungkin nabi bisa sampai ke langit ke tujuh sesingkat itu. Di sinilah arti penting kekuatan lain yang kekuatannya di atas yang lainnya.
Itulah alasan kenapa surah al-Isra’ ayat 1 menggunakan redaksi “أَسْرَىٰ” “ (Dia) telah memperjalankan… ”Artinya, Allah swt menegaskan bahwa dirinyalah yang telah menahkodai perjalanan nabi. Ketika Allah yang menjadi nahkoda, itu artinya nabi pasif. Traveling nabi ke langit ke tujuh murni dalam kuasa tuhan. Bagi Allah, tentu perjalanan ke langit ketujuh sangatlah mudah dan tidak perlu memakan waktu lama sebagaimana dalam logika manusia.
Siapa yang diperjalankan oleh Allah swt?
Pada lanjutan surah al-Isra’ ayat 1 tersebut, Allah swt menggunakan redaksi “bi a’bdihi/ بِعَبْدِهٖ” (hamba-Nya). Allah swt telah memperjalankan hambanya yang bernama Muhammad saw.
Dari sini, dapat diambil isyarah bahwa setiap manusia yang telah sempurna penghambaannya (ubudiyah) terhadap tuhannya akan diberikan kekuatan untuk melakukan mikraj.
Sebutan “bi a’bdihi” diredaksikan sebagai bentuk pengakuan Allah swt bahwa Nabi Muhammad sebagai hamba-Nya. Beliau diakui sebagai hamba-Nya karena nabi telah mencapai puncak dari ubudiyahnya sehingga nabi dimikrajkan.
Term mikraj di kalangan sufi kemudian digunakan untuk menerjemah pengalaman spiritual menuju tuhan sebagaimana yang dialami nabi.
Ibnu Arabi dalam “Futuhat al-Makkiyah” menulis;
“Setiap pandangan ke arah alam semesta dari diri seseorang maka ia disebut nuzul (turun). Setiap pandangan ke ‘arah’ tuhan dari diri seseorang maka disebut ‘uruj (mikraj)”
Setiap hamba akan mengalami pencapaian mikraj sesuai dengan kapasitas kehambaannya. Jika mikraj nabi secara fisikal ruhaniyah, maka selain nabi hanya bersifat ruhaniyah saja.
Ibnu ‘Ajibah dalam “Al-Bahrul Madid” mengatakan:
“Sesungguhnya seseorang yang telah sempurna penghambaanya, tentu akan mendapatkan bagian dari Isra Mikraj. Hanya saja Isra Mikraj fisikal-ruhaniyah hanya untuk nabi saja, sementara yang lain hanya ruhaniyah saja sesuai dengan kapasitas purifikasi terhadap runya masing-masing. Imajinasi dan ruh mereka melakukan perjalanan mikraj hingga ke ‘Arsy. Tenggelam dalam lautan alam jabarut dan cahaya-cahaya alam malakut. Para Wali-wali Allah mengalami ini sesuai dengan takhallai dan tahallinya”
Oleh-oleh salat lima waktu yang dibawa nabi setelah bertemu Allah swt dalam peristiwa Isra Mikraj memberikan pesan bahwa hamba-hamba Allah lainnya bisa merasakan sensasi perjalanan spiritual bertemu dengan Allah swt via salat lima wakktu.
Seorang hamba yang benar-benar totalitas dalam salat dapat bermunajat merasakan kehadiran tuhan sehingga dalam salatnya terbangun “dialog” antara ia dengan tuhan. Inilah yang dimaksud dengan hadis nabi:
الصَّلَاةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِ
“Salat itu adalah mikraj orang mukmin”
Hemat penulis, inilah salah satu keistimewaan perintah salat dibanding ibadah-ibadah mahdhah lainnya. Perintah salat di bawa dalam momentum Isra Mikraj karena salat kelak akan menjadi wasilah mikraj hamba-hamban Allah swt yang saleh. Salat akan menjadi jembatan spritualitas menuju tuhan.
Oleh: Doni Ekasaputra, Dosen muda Ma’had Aly Sukorejo Situbondo