ASWAJADEWATA.COM | Amalan Aswaja an Nahdliyah yang dianut sekitar 80 % penduduk muslim Indonesia menurut survei yang dilakukan Alvara Research Center pada Oktober 2018 ternyata juga dilakukan oleh masyarakat muslim negara Brunei Darussalam.
Hal ini diungkapkan oleh KH. Ahmad Dhofir, Ketua PCINU Brunei Darussalam yang berkesempatan berkunjung ke kantor redaksi Aswajadewata.com (6/11).
Saat ditanya tentang awal mula terbentuknya Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di negara kerajaan tetangga itu, Kiai Dhofir menjelaskan bahwa NU sudah dikenal sejak 20 tahun lalu di Negara itu.
“Para pekerja migran menyuarakan bagaimana NU bisa kita terapkan di sini sejak 20 tahun yang lalu. Ini karena melihat bahwa kegiatan seperti Tahlilan, Yasinan, Sholawatan hingga Khaul sudah lama sekali dilakukan oleh masyarakat di Brunei,” ujarnya.
Hanya saja menurut Kiai Dhofir, pada awalnya NU belum begitu signifikan keberadaannya. “Belum ada struktural kepengurusan dengan program kegiatan-kegiatan tertentu waktu itu, jelasnya.
Baru sejak tahun 2010 PCINU Brunei dibentuk secara resmi, dikukuhkan oleh mantan Menpora Imam Nachrowi, dan tiga hari sesudah dikukuhkan langsung dilantik oleh Almarhum Slamet Effendi Yusuf disertai penyerahan SK dari PBNU. Kemudian setelahnya, PCINU melakukan kegiatan-kegiatan keaswajaan layaknya di tanah air yang sebenarnya hanya melanjutkan apa yang sudah biasa dilakukan oleh para pekerja migran tersebut sebelumnya di perantauan.
Seiring perjalanan waktu, PCINU Brunei juga melakukan MOU dengan UNISMA Malang untuk dapat memberi beasiswa bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai buruh migran di Brunei. MOU itu ditandatangani langsung oleh Kiai Masykur yang datang ke Brunei bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional.
“Pada saat Kiai Masykur datang ke Brunei, ribuan masyarakat NU disekitar Bandar Sri Begawan datang untuk memperingati Hari Santri Nasional. Kiai Masykur sangat terkejut dengan begitu banyaknya warga NU di Brunei ini,” tutur alumnus Pondok Bahrul ‘Ulum Tambak Beras, Jombang ini.
Kiai Dhofir juga menambahkan bahwa setiap kegiatan yang diadakan PCINU itu sendiri sampai sekarang tidak pernah mendapat teguran dari pemerintah setempat, karena Kerajaan Brunei Darussalam juga domainnya adalah Ahlussunah wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’iyah sama dengan warga NU di Indonesia.
“Sebenarnya undang-undang di Brunei sangat ketat. Brunei masih menerapkan Undang-undang th. 1968 yang berbunyi; ‘Apabila ada perkumpulan yang melebihi dari enam orang tanpa izin dapat ditangkap’. Disebabkan waktu itu pernah terjadi pemberontakan di Brunei. Namun di setiap kegiatan yang diadakan oleh PCINU tidak pernah diawasi atau bisa dikatakan dibiarkan oleh pemerintah setempat, papar Kiai asal Gresik, Jawa Timur ini.
Walaupun pemerintah Kerajaan Brunei tidak pernah mempermasalahkan keberadaan dan kegiatan PCINU itu, para pengurus sebisa mungkin tetap mengikuti segala peraturan yang ada disana. Dengan tetap mengutamakan kegiatan yang sifatnya amaliyah saja, untuk menghormati dan menjaga hubungan antar dua negara.
Reporter: A. Yaqin
Foto: Amin Akbarinsyah
Editor: Dadie W. Prasetyoadi