ASWAJADEWATA.COM | Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984 memang mempopulerkan istilah Khittah NU. Namun, jauh sebelumnya, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi NU yang beliau tulis, menyebutkan bahwa ketika NU sudah tidak lagi berada dalam garisnya, maka harus kembali ke khittati salaf, garis para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dengan ihsan (kebaikan).
Ini disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Salfiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo, KH. Ahmad Azaim Ibrahimy dalam Silaturahmi Dzuriyah Masyayikh, Ulama, Kiai, dan Habib yang didakan oleh Komite Khittah 1926 NU (KK26NU) di pesatren tersebut pada Rabu (21/11). Acara ini dihadiri oleh ratusan ulama, kiai, dan habaib dari berbagai daerah di Indonesia yang hadir untuk merembukkan format perjuangan dalam mengembalikan NU kepada relnya.
Saat berbicara dalam acara ini, cucu Kiai As’ad Syamsul Arifin ini menyebut bahwa terselenggaranya acara berangkat dari amanah mulia dari penggagas KK26NU, KH. Salahuddin Wahid.
“Bahwa apa yang kita cita-citakan adalah satu hati, merindukan jamiyyah NU kembali kepada ajaran pokok semula yang dituturkan dan dipraktikkan oleh pendiri dan pendahulu yang kemudian disebut dengan Khittah,” ungkap Kiai Azaim.
Ia juga menyebut bahwa perjuangan dalam mengembalikan NU pada Khittahnya, sudah dimulai sejak KH. Hasyim Asy’ari yang menuturkan. Kemudian Kiai Azaim menjelaskan, “Gus Abdurrahman Hasan Genggong menyampaikan bahwa dalam kitabnya, Kiai Hasyim menjelaskan arah perjuangan jam’iyah Nahdlatul Ulama yaitu, ketika NU sudah tidak sesuai dengan yang digariskan, maka harus kembali kepada Khittati Salaf.”
“Khittati Salaf ini ya para ulama salaf, yaitu sahabat, tabiin, tabiit tabiin, tapi ada biihsanin ila yaumiddin. Segala sesuatu itu harus biihsan. Untuk sekarang ini biihsan kita ya mengembalikan NU kepada Khittahnya,” tambahnya.
Ia memaparkan bahwa Khittah NU juga populer pada tahun 1950an oleh KH. Ahyat Chalimi, tahun 1962 di Solo, tahun 1971 oleh KH. Wahab Chasbullah, tahun 1881 oleh KH. Ahmad Shiddiq, KH As’ad Syamsul Arifin dan sejumlah pemuda NU di Asembagus Situbondo, dan akhirnya dapat diputuskan pada 1984, yaitu pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
“Menurut Gus Dur, kelompok khittah pada saat pergolakan itu, terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu khittah murni, khittah plus, dan khittah minus. Lah kita ini yang mana? Semoga kita termasuk yang khittah NU murni,” jelas Kiai Azaim lagi.
Mengacu pada cerita pendirian NU, di mana Kiai As’ad Syamsul Arifin mengemban amanah dari Syaikhona Kholil Bangkalan untuk memberikan tasbih beserta perangkat wirid “Ya Jabbar Ya Qohhar”, Kiai Azaim menyebut bahwa tasbih itu sekarang ini sudah berputar.
“Seperti ada yang dibersihkan, tapi tasbihnya tidak sampai rusak. Terus tidak lepas (butir tasbihnya) tapi kotorannya yang lepas. Yang kami cita-citakan khidmah kepada pendiri NU. Itulah yang membuatkan kami siap dengan penuh senang hati mengadakan acara ini, dengan satu harapan, tersenyumnya Kiai Syamsul Arifin, senyumnya Kiai As’ad, Kiai Fawaid, terlebih senyumnya para muassis (pendiri) NU. Dan semoga Insyaallah Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga rida,” pungkasnya. (dad)
Sumber: mahadaly-situbondo.ac.id