ASWAJADEWATA.COM | Sebagai putra kiai besar dan kharismarik, KHR. Ach. Fawaid As’ad dididik untuk selalu tawaduk dan menghormati orang yang berilmu. Menghormati guru dan putra-putra guru adalah bagian penting tata cara seseorang mengimplementasikan sikap tawaduk.
Hampir semua santri yang ada di pondok pesantren mendapatkan bimbingan dan binaan agar menjadi orang yang pandai dan mampu menampilkan sosok muslim yang rendah hati, apalagi kepada gurunya. Bimbingan yang diberikan Kiai As’ad terhadap putranya, Kiai Fawaid, sama dengan cara Kiai As’ad mendidik santri2nya di pondok pesantren.
Kiai As’ad adalah salah satu dari santri Kiai Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Sikap dan teladan Kiai As’ad dalam menghormati putra-putra gurunya selalu istikomah dilalukan. Bukan hanya putra guru, terhadap cucu Kiai Hasyim Asy’ari pun Kiai As’ad selalu takdhim dan hormat.
Publik, terutama warga NU hampir pernah mendengar sikap politik Kiai As’ad terhadap kepemimpinan Gus Dur dalam menahkodai NU, yang kita kenal dengan mufarroqoh.
Namun, bagi Kiai As’ad, Gus Dur adalah cucu gurunya yang tetap harus dihormati.
Menurut sumber santri-santri senior Kiai As’ad, tidak pada biasanya Kiai As’ad mengantarkan tamu-tamunya sampai ke mobil dan dibukakan pintu. Walau mufaroqoh kepada Gus Dur, Kiai As’ad tetap cium tangan dan takdhim terhadap Gus Dur.
Kiai Fawaid pernah menyampaikan kepada saya perihal sikap hormat Kiai As’ad terhadap Gus Dur sekalipum mufaroqoh, menurutnya ketika Kiai As’ad melihat Gus Dur, yang hadir adalah Kiai Hasyim Asy’ari, bukan sekedar Gus Dur sebagai cucu.
Bagaimana dengan Kiai Fawaid terhadap Gus Dur? Saya menjadi bagian orang yang sering menyaksikan sikap Kiai Fawaid ketika berhadapan dengan Gus Dur. Beberapa kali Kiai Fawaid selalu terdiam dan hanya pasif mendengarkan ketika bertemu Gus Dur, padahal jauh sebelumnya sudah diniati untuk menyampaikan berbagai hal tentang dinamika politik. Pada saat bertemu, ternyata ide dan gagasan Kiai Fawaid tidak tersampaikan, saya ketiban tugas berat untuk menyampaikan dinamika politik itu kepada Gus Dur.
Selesai bertemu Gus Dur, saya mencoba bertanya kepada Kiai Fawaid, mengapa kiai tidak langsung berbicara sendiri kepada Gus Dur? Ketika saya bertemu Gus Dur dan berniat menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan dinamika politik, yang tampak dalam pandangan saya adalah sosok abah, Kiai As’ad, sehingga saya tidak sampai hati dan tidak berani, demikian Kiai Fawaid menyampaikan kepada saya.
Sikap Kiai Fawaid kepada Gus Dur dengan tidak mau dan enggan berbicara langsung empat mata dengan Gus Dur, hampir sama sikap Kiai As’ad terhadap Gus Dur sebagai cucu pendiri NU. Teladan bagaimana menghormati guru bagi kalangan pesantren tdk hanya diwujudkan dengan guru yang langsung mendidiknya, tetapi terhadap putra dan cucu guru pun tetap dianggapnya sebagai guru itu sendiri, sehingga cara menghormatinya pun sama dengan guru yang mendidik secara langsung.
Semoga teladan guru-guru kita dalam menghormati guru tetap dapat terpatri dalam hati kita semua dan diberi kemampuan melaksanakan.
Kepada Kiai As’ad, Gus Dur, dan Kiai Fawaid al fatihah…
Sumber : FB Maskuri Ismail (Santri Senior PP. Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo)