ASWAJADEWATA.COM |
Perlu kita ketahui, bahwa aliran Syiah juga meyakini tentang para nabi yang menerima kitab suci dari Allah. Kitab Taurat diturunkan pada Nabi Musa, Zabur diturunkan pada Nabi Daud, Injil diturunkan pada Nabi Isa dan al-Quran diturunkan pada Nabi Muhammad. Keyakinan ini selaras dengan apa yang diyakini oleh kelompok Ahlusunah wal jamaah. Yang membedakan Syiah dengan kelompok Ahlusunah waljamaah iman pada kitab Allah ialah: mereka meyakini bahwa imam dua belas telah membaca kitab-kitab tersebut dengan Bahasa aslinya. seperti yang dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kitab al-Kafi Syarh jami’ al-Mazindari:
اِنَّ عِنْدَنَا عِلْمَ التَّوْرَاةِ والإِنْجِيْلِ والزَّبُوْرِ وبَيَانَ مَا فِى الأَلْوَاحِ.
“Sesungguhnya kami mempunyai pengetahuan tentang Taurat, injin, zabur dan penjelasan (arti) dari apa yang terdapat di lauhil mahfudz.”
Dalam riwayat Syiah juga ada penjelasan bahwa Imam Ali pernah membacakan Bibel di hadapan seorang Kristen bernama Bariyah, lalu setelah imam Ali selesai membacakan Bibel-nya, si Kristen berkata: “Kamulah yang aku tunggu-tunggu sejak 50 tahun.” Kemudian menurut riwayat itu si Kristen masuk Islam dan menjalani ke-islamannya dengan baik dan mengatakan kepada imam Ali: “Bagaimana Anda memiliki kitab taurat injil dan kitab-kitab para nabi.” Imam Ali menjawab: “Kitab-kitab itu merupakan warisan dari nabi-nabi itu yang diberikan kepada kami. Kami membaca kitab-kitab itu sebagaimana mereka membacanya. Dan kami menyatakan tentangnya sebagaimana pernyataan mereka (para nabi): sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan seorang hujjah di bumi-Nya, yang ketika ditanyai tentang sesuatu permasalahan, kemudian dia menyatakan aku tidak tahu.”
Dari keterangan ini kita bisa menyimpulkan, bahwa konsep keimanan Syi’ah terhadap kitab-kitab Allah adalah meyakini eksistensi kitab-kitab tersebut dan keabsahan isinya. Hanya saja, Syiah berkeyakinan bahwa para imam mereka ketika memutuskan suatu ketetapan hukum yang berkenaan dengan penganut suatu kitab tertentu, maka mereka akan memutuskan dengan kitab penganut tersebut, bukan dengan al-Quran. Artinya, para imam Syiah memutuskan perkara orang Yahudi dengan Taurat, orang Kristen dengan Injil dan Islam dengan al-Quran. Hal ini ditegaskan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi pada satu topik dalam kitabnya.
بَابٌ فِى الأَئِمَّةِ أَنَّهُمْ إِذَا ظَهَرَ أَمْرُهُمْ حَكَمُوْا بِحُكْمِ دَاوُدَ وَ آلِ دَاوُدَ وَلَايَسْأَلُوْنَ البَيِّنَةَ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ
Bab menjelaskan bahwa jika para imam menghukumi suatu perkara, maka mereka menghukumi dengan hukum nabi dawud dan keluarga dawud dan mereka tidak akan menanyakan saksi.
Dalam kitab Ushulu Madzhabi as-Syiah dijelaskan bahwa al-Kulaini meriwayatkan dalam kitabnya Ushul al-Kafi, bahwa al-Quran itu bukan hujjah kecuali sebab orang yang merawat al-Quran, yaitu para imam, mentaatinya merupakan kewajiban dan al-Quran menjadi hujjah pada umat manusia setelah Rasulullah.
Dari sini kita paham, bahwa menurut Syiah al-Quran tidak bisa dijadikan hujjah kecuali merujuk pada perkataan para imam. Mereka juga bermaksud bahwa hujjah itu ada di perkataan para imam bukan dari kalam Allah, dan adanya susunan al-Quran itu sebab kekuasaan Imam Ali.
Dalam kitab al-Fushul al-Muhimmah dijelaskan bahwa perkataan para imam itu lebih fasih dari pada kalam Allah. Mereka juga meyakini bahwa hujjah itu ada diperkataannya imam, karena lebih jelas dari pada penjelasan al-Quran. Dari ini, mereka mendefinisikan bahwa al-Quran itu adalah kitab yang tidak bisa bicara (diam) sedangkan imam adalah al-Quran yang bisa bicara (nathiq). Mereka juga meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali pernah berkata: “al-Quran adalah kitab Allah yang diam. Sedangkan aku adalah kitab Allah yang bisa bicara.”
Oleh: Dede Febiyan Hidayat | Annajahsidogiri.id