ASWAJADEWATA.COM- Salah satu syiar Islam adalah ulama. Insan pilihan memiliki kuwalitas ilmu agama yang tinggi atau yang berkompeten. Selain itu, memiliki keistimewaan dalam ibadah. Artinya, tidak hanya memiliki ilmu yang tinggi, tapi juga mengamalkan ilmunya dengan istiqamah.
Seseorang yang memiliki gelar ulama, tentu akan mendapatkan derajat tinggi dari Allah. Allah memuliakan mereka dengan memberi keistimewaan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang tidak berilmu. Oleh sebab itu, orang yang tidak memiliki ilmu atau ilmunya lebih tinggi dari ulama, apalagi orang yang berguru kepada beliau, harus bersikap ta’zhim dan berhati-hati.
Namun ada standart bagi ulama yang benar-benar harus dihormati atau diagungkan. Standart yang paling utama adalah harus berkarakter khasyyah billah (takut kepada Allah). Ulama yang seperti inilah yang mendapatkan keistimewaan dari Allah. Wujud keistimewaannya, ketika orang berjumpa atau berinteraksi dengan beliau, hasilnya mampu menambahkan rasa takwa bagi orang tersebut. Ketika bertutur, ungkapannya mampu merubah hati yang gelap menjadi terang, seolah-olah dari untaian kata-katanya mencuatkan cahaya yang menembus ke relung hati yang terhijab oleh dosa-dosa. Bahasa gampangnya, setiap ungkapannya mampu menyadarkan orang-orang.
Lumrahnya, jika ada orang berjumpa dengan ulama yang agung di atas, orang tersebut merasakan ada sesuatu yang menyentuh hatinya ketika menatap wajah beliau, sehingga sepontan dia berkata, “hati saya merasa sejuk ketika menatap wajah beliau” atau, “duduk bersama beliau rasanya sangat damai dan tentram” atau, “aura keulamaan beliau tampak dan kuat”
Berbeda dengan ulama yang gelar ulamanya hanya sebagai label semata. Ulama inilah yang dikhawatirkan ulama su’, ulama dunya, dan ulama manshab (ulama pangkat). Biasanya ulama seperti ini ulama oknum yang sengaja mengotori kesucian gelar ulama. Semisal oknum atau kelompok tertentu yang menjadikan ulama sebagai label demi semata kepentingan misi jabatan atau pangkat.
Tentu, ulama oknum tersebut tidak akan mampu memberi hasil rasa takwa bagi orang yang berjumpa dan berinteraksi dengannya. Bahkan bisa saja ulama seperti ini membawa umat ke jalan yang sesat, atau membuat umat menjadi berpecah belah.
Menyikapi ulama su’
Lalu bagaimana menyikapi ulama yang seperti ini, apakah harus menjelek-jelekannya dengan cara menghina?
Kita sebagai orang yang memiliki ilmu lebih rendah darinya atau tidak memiliki ilmu, jangan sampai menghina ulama yang seperti itu. Kita harus tetap menghormatinya. Kita menghormati beliau karena ilmunya. Masalah sikap atau kelakuannya, kita sadari saja bahwa beliau manusia yang juga tidak lepas dari ujian Allah. Mungkin saja dia tidak menyadari dengan keilmuannya sendiri sehingga ketika diuji oleh Allah dia tidak mampu. Akibatnya dia merasa tidak bersalah atau berdosa dengan memanfaatkan gelar keulamaannya.
Ketika melihat atau mendengar orang lain terjerumus ke dalam keburukan, kesalahan, atau dosa-dosa, kita tidak boleh menjelekkan atau menghina dengan ucapan caci-maki, apalagi orang tersebut adalah ulama, lebih-lebih guru kita. Sikap yang bijak adalah mendoakan mereka, terutama jika guru kita yang melakukan kesalahan, meskipun kesalahan itu nyata apalagi sekedar dugaan yang kadang kita tidak tahu alasannya, dan apalagi sekedar mendapat informasi yang tidak jelas sumbernya.
Kita harus berhati-hati dengan informasi yang kadang memiliki misi untuk menjatuhkan seorang ulama atau guru kita. Kita jangan begitu saja menerima informasi atau malah terpengaruh dengan informasi yang beredar. Kita harus tetap menjaga hati kita untuk tetap ta’zhim kepada beliau. Jangan sampai malah ikut-ikutan mengeruhkan keadaan. Sekai lagi, ketika kita mendengar informasi yang jelek tentang ulama’ atau guru kita, kita diam saja seraya mendoakan jika memang itu benar semoga Allah segera menyadarkannya dan mengemabalikan ke jalan yang benar.
Contoh sikap antar ulama su’ yang nyata di masyarakat
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa ulama su’ adalah ulama dunya, dan ulama manshab (ulama pangkat). Contoh kelakuan ulama su’ di masyarakat semisal tidak mengagungkan ulama yang lain atau malah menjelek-jelekkannya. Ulama tersebut biasanya karena takut kalah saing atau ada konflik yang membuat dirinya tersinggugng. Sehingga untuk membalasnya, mereka melakukan dengan cara seperti itu. Saking dendamnya, dia mengatakan pada santrina, “jika kamu pindah mengaji ke sana, saya tidak akan mengakui kamu sebagai santri saya” atau, “saya tidak rela dunia akhirat jika kamu mengaji ke sana” atau “haram jika kamu mengaji ke sana”
Atau karena demi mendapatkan kedudukan, entah kedudukan social atau pemerintahan. Tentang hali ini, ulama su’ mengelompokkan masyarakat menjadi golongan-golongan yang berada di bawah kekuasaannya. Jadi, ketika ada pesta politik semisal pemilihan presiden, mereka mendatangani masyarakat yang berada di bawah kekuasaanya untuk memberitahu siapa yang menjadi pilihannya. Jika tidak mengikuti perintahanya, dia mengancam, “jika kalian tidak memilih pilihan saya, berarti kalian tidak berguru pada saya”
Ulama yang berkelakuan di atas pasti saling sikut-menyikut, saling menyalahkan dan menjelekkan agar yang satunya jatuh, hanya demi mendapatkan kedudukan atau pangkat semata. Mungkin dalam hal politik sudah dianggap maklum keburukan seperti ini. Namun dalam hal memajukan lembaga pendidikannya, apakah harus dengan cara saling menjatuhkan hanya karena takut kalah saing atau hanya karena sekedar sakit hati? Bukankah lembaga pendidikan itu adalah wadah yang dijadikan fasilitas mengembangkan keilmuan? Pertanyaan terakhir, apakah ilmu dapat diperoleh dengan saling menjatuhkan?
Mungkin santri atau siswa yang sulit mendapatkan ilmu atau malah menjadi orang tidak benar, karena kelakuan ulama’ atau pengelolanya. Ini disebabkan karena dalam dirinya tidak ada karakter khasyyah billah.
Ulama yang agung namun tidak berpengaruh pada sebagian orang
Ulama’ su’ jelas tidak akan memberi cahaya kepada orang-orang yang berjumpa atau berinteraksi dengannya. Hanya ulama yang berkater khasyyah billah yang mampu memberikan cahay kepada orang-orang. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak merasakan cahaya dari ulama agung tersebut, atau tidak merasa ada tambahan ketakwaan ketika berjumpa atau berinteraksi dengan beliau, apakah ulama agungnya yang tidak memancarkan cahaya atau orang-orang tersebut yang tidak bisa menerima cahaya?
Jawabannya, ada sebagian orang yang hatinya tidak bisa menerima cahaya dari ulama agung, karena dia tidak menyambungkan hatinya pada ulama, sehingga ketika dia berjumpa atau berinteraksi, hatinya sama sekali tidak menangkap cahaya dari ulama agung dan dia pun tidak merasakan adanya tambahan rasa takwa. Atau, hatinya memang sudah ditutup oleh Allah untuk menerima cahaya dari ulama, sebagaimana Abu lahab yang tidak bisa menerima cahaya iman dari Rasulullah, karena Allah telah menutup hatinya. Na’udzubillah.
Lepas dari takdir tentang hati yang ditutup oleh Allah. Kita kembali pada sunnatullah. Dalam ketetapan sunnatullah bahwa orang yang berusaha akan mendapatkan hasil yang diusahakannya. Begitu juga tentang hati yang bisa menerima cahaya dari ulama agung. Jika orang tersebut memang berusaha menyambungkan hatinya dengan ulama, semisal santri menyambungkan hatinya denga kiainya, pasti dengan izin Allah hatinya akan bersambung erat, sehingga sangat mudah mnerima cahay yang memancar dari kiainya tersebut.
Begitu juga dengan santri yang sulit mendapatkan ilmu atau malah menjadi orang tidak benar. Jangan salahkan kiainya yang agung ketika dia sperti itu. Bisa saja dia saperti itu karena dia tidak melakukan usaha-usaha yang membuat dirinya bisa mendapatkan ilmu dengan gampang dan menjadi orang yang saleh.